'Sepertinya aku kurang memperingatkannya,' gumam Tytan dalam batin dengan kesal.
Pria itu tidak menyembunyikan tatapan tajamnya pada Gabriella. Meski auranya mengintimidasi, ketika melihat keberadaan Tytan, rasanya Leticia telah selamat dari sesuatu yang lebih berbahaya. Ia baru saja hendak berdiri dan menghampiri, tetapi dia lebih dulu bergegas mendekatinya.Berbeda dengan Leticia yang lega, ekspresi Gabriella kembali menegang ketakutan. Dia segera menyingkir tanpa berpikir dua kali, dan tanpa mengatakan apapun pergi keluar begitu saja. Setelah sebelumnya menatap tajam ke arah Leticia. Sudah Leticia duga jika wanita itu sama sekali tidak tulus."Apa kau masih tidak mengerti cara kerja gelangnya?" tanya Tytan setelah ia mengalihkan semua atensi pada gadis itu.Leticia menatap gelang tersebut sebentar sebelum kembali mendongak pada Tytan. Ia memberikan senyuman sebelum menjawab, "Aku paham, tetapi tidak ada yang membahayakan. Dia tidak melakukan apapun karena kau datang."Tytan tidak memperpanjang lagi pembicaraan tersebut. Dia kemudian berlutut di hadapan Leticia, lalu menyingkap sedikit gaaunnya hingga memperlihatkan sepatu gadis itu. Leticia kembali tidak bisa terkejut dengan tindakan Tytan.Ketika melihat sebuah sandal lembut dan dia melepas sepatu hak-nya, ia mengerti apa yang hendak dilakukan pria ini. Entah darimana sandal tersebut dan dengan alasan apa Tytan sangat memperhatikan dirinya. Leticia sedikit malu dan canggung sekarang."Maaf jika aku tampil seadanya. Dua orang perias itu sudah pergi, jadi aku mengenakan pakaian dan sepatu tadi, dan aku hanya membasuh wajahku saja. Aku janji tidak akan memalukanmu nanti di altar.""Tytan, a-aku baik-baik saja," ucap Leticia kembali yang membuat Tytan menaikkan pandangannya. Kali ini ekspresinya jelas menunjukkan raut ketidaksukaan.Leticia menurunkan senyumnya ketika mengetahui jika ia tampaknya telah mengecewakaan Tytan. Pria ini pasti tidak suka jika pengantinnya akan terlihat pincang ketika berjalan di altar. Meski tubuh Leticia ditempelkan gaun dan aksesoris mahal sekalipun."Kau yakin bisa berjalan dengan baik di altar dengan sepatu tinggi ini?" tanya Tytan semakin dingin dan memperkeruh ekspresi ketidaksukaannya."Maaf." Hanya itu yang bisa dikatakan olehnya.Tytan berhenti menatap dan mamarahi Leticia yang telah menciut. Ia kembali memakaikan sandal padanya. Setelah selesai, Tytan berdiri dan mengulurkan tangannya pada gadis itu."Ayo," ajaknya dengan nada yang sedikit lebih lembut, tidak sedingin sebelumnya.Leticia menerima uluran tangan Tytan dan berdiri dengan hati-hati. Meski kesakitan, ia berusaha berdiri dan berjalan dengan normal. Tidak lupa Leticia juga mengendalikan ekspresi wajahnya agar berhenti menyerngit kesakitan.Ketika Tytan tak kunjung melangkah, ia mendongak untuk menatap wajahnya. Leticia tersentak karena pria itu ternyata diam-diam memperhatikannya secara intens. Sekali lagi netra mereka bertabrakan dan terkunci satu sama lain."Ayo pergi." Leticia membuang wajah ke depan sembari memindahkan tangannya menggandeng lengan Tytan.Tidak hanya mengendalikan ekspresi wajah dan menahan sakit, ia juga harus menahan dan mengendalikan degup jantungnya. Leticia memulai langkah lebih dulu, lalu Tytan akhirnya mengikuti, dan menyamakan ritme berjalannya dengan gadis itu."Jika aku tahu kau belum mengobatinya, aku pasti membawa kotak obat kemari." Jantung Leticia semakin berdegup kencang ketika mendengar kalimat tersebut. Ia berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri jika telinganya tidak salah mendengar."Leticia," panggil Tytan yang reflek membuat gadis itu menoleh menatapnya."Iya?" sahutnya."Berjanlanlah senyamanmu," kata Tytan dengan nada perintah yang kentara."Terima kasih, berkat sandalmu aku sudah cukup nyaman." Pembicaraan singkat yang cukup manis itu membuat Leticia menjadi lebih nyaman dan relax kembali."Dan kau sekarang sudah cukup cantik, Leticia." Kali ini pipi Leticia bersemu merah bersamaan dengan perutnya yang terasa tergelitik.Tanpa menatap wajahnya pun, Leticia sangat yakin jika Tytan mengucapkannya dengan wajah datar itu. Pujian ini bukanlah apa-apa, jadi ia mengingatkan dirinya agar membatasi perasaannya. Setelah mendapat bantuan yang sangat besar, tidak boleh ada keserakahan lain.Langkah pelan dan pasti mereka akhirnya sampai di lorong yang akan menuju pintu utama gereja. Seharusnya Tytan berada di altar menunggunya, sementara yang mengantar adalah ayahnya. Namun, mengingat situasi ini, semua kekacauan dan keanehan tidak membuat Leticia mempermasalahkannya.Rasa gugup tiba-tiba saja melanda Leticia, semakin dekat mereka menuju pintu. Meski di dalam pernikahan ini tidak ada kebahagiaan ataupun kesedihan, tetap saja ini adalah pengalaman pertama. Sekalipun hanya ada sebuah kepentingan dan tujuan dari masing-masing pihak."Gabriella?" gumam Leticia pelan saat netranya menangkap sosok sang ibu tiri di deretan kursi tamu."Dia tidak akan bisa menghentikan pernikahan ini," ucap Tytan pelan berhasil menenangkan Leticia.Sekali lagi Leticia meyakinkan dirinya. Sebelum ia melangkah maju masuk ke dalam aula, Leticia menarik napas dan menghembuskannya pelan. Ia mendongak pada Tytan yang lebih tinggi darinya. Kali ini tatapan pria itu lurus ke depan, penuh percaya diri tanpa keraguan atau kegugupan sedikitpun. Kepercayaan diri itu entah bagaimana menular pada Leticia. Tiba-tiba Tytan menunduk dan sekali lagi netra mereka bertemu."Ayo." Bibir Tytan membentuk sebuah senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Di sepanjang langkah mereka, Leticia terus memikirkan apakah matanya salah melihat atau tidak. Pria yang ia pikir dingin dan kejam, ternyata memiliki sisi yang hangat. Hanya sebatas itu, sampai Leticia tadi baru saja melihat sisi lainnya. Dia lebih dari bisa tersenyum, meski itu senyuman tipis yang perlu benar-benar diperhatikan."Tytan, aku pikir kamu tampan saat tersenyum." Leticia yang ingin mengatakannya di dalam hati, tanpa sengaja mengucapkannya di bibir.Jantungnya mencelos sebelum berdegup kencang karena panik. Untung saja diucapkan dengan pelan nyaris seperti bisikan. Leticia hanya bisa berharap jika telinga tajam Tytan tidak mendengar apa yang ia gumamkan. Saat sampai di altar, berdiri berdampingan dengannya menghadap pendeta, ia bahkan tidak bisa menatap wajahnya.Tatapan Leticia yang ke depan ke arah mimbar, ia melihat sebuah kotak beludru berisi sepasang cincin. Ia sedikit terkejut karena Tytan tampak seakan sudah mempersiapkan hal ini dalam waktu singkat. Dia bahkan tidak tahu ukuran jarinya, tetapi memiliki sebuah cincin."Ya, saya bersedia." Doa-doa yang diucapkan pendeta tidak terlalu terdengar di telinga Leticia, tetapi saat Tytan mengeluarkan suaranya, ia menoleh padanya. Kemudian sang pendeta mengajukan pertanyaan yang sama padanya."Ya, sa-saya bersedia," jawab Leticia setelah beberapa lama terdiam lebih dulu.Selanjutnya sang pendeta menuntun mereka berdua untuk masing-masing mengucapkan ikrar sumpah pernikahan. Secara bergantian satu persatu. Tatapan gadis itu tidak bisa fokus pada Tytan yang terlihat begitu sangat serius.Leticia sekarang merasa cukup berdosa karena telah mempermainkan ikrar suci pernikahan di depan Tuhan. Meski ia bukan manusia yang cukup taat, ia tetap merasa bersalah. Jika bukan untuk bukti di depan Gabriella yang ternyata masih di sini, menyaksikan pernikahan ini."Selanjutnya ritual pemasangan cincin untuk satu sama lain." Setelah pengucapan ikrar sumpah, pendeta mengintrupsi lagi.Sepanjang ritual, pendeta tidak berhenti memberikan doa-doa. Leticia memasangkan cincin lebih dulu pada Tytan. Lalu bergantian pria itu padanya. Saat cincin tersebut perlahan tersemat, Leticia tidak mengira ukurannya bisa sangat pas.“Sekarang, silahkan berciuman untuk menyelesaikan sumpah.” Belum sempat ia puas memperhatikan cincinnya, Leticia terkejut mendengar sang pendeta.Leticia lupa tidak memperkirakan hal ini sebelumnya karena semua terjadi secara mendadak. Ia hanya bisa menoleh ke arah Tytan di sampingnya untuk bernegosiasi, berharap tidak melakukannya. “Ty-tytan …”Pria ini justru telah menghadap Leticia, seolah siap melakukan apa yang dikatakan pendeta. Netra obsidian miliknya melirik ke arah beberapa orang yang duduk di kursi tamu, menyaksikan semua ini, termasuk Gabriella salah satunya. Sudah sejauh ini, Tytan seolah sudah memperkirakan dan siap. Itu berarti, tidak ada pilihan bagi Leticia sekarang, 'kan?"To-tolong jangan di bibirku," pinta Leticia berbisik ketika wajah mereka telah saling berhadapan.---To be continued"Apa kau tidak akan ke kantormu?" tanya Leticia mengusir suaminya dengan halus, setibanya mereka di gedung kantornya."Kau yakin akan mengusirku sekarang?" tanya Tytan kembali memastikan. "Kau bilang kau merindukanku. Aku siap menemanimu bekerja, lho."Leticia berbalik menghadap Tytan yang sudah berdiri tepat di belakangnya. Sementara di sisi lainnya, meja menghimpitnya sehingga membuatnya terjepit. "Jangan konyol, Tytan!""Kau juga punya tanggung jawab. Sangat banyak. Cepat pergi dan selesaikan. Aku ingin segera berhenti dan menikmati masa kehamilanku dengan tenang!" omelnya sambil berusaha mendorong tubuhnya menjauh."Ada hal yang ingin kau ketahui lagi?" Alih-alih menjauh, Tytan justru semakin mendekat dan tangannya sudah ada di pinggangnya."Kita bisa bicarakan lagi di rumah malam nanti. Sekarang bukan waktunya." Leticia membuang muka karena merasa pipinya memanas. Pada saat itulah Tytan akhirnya melepaskannya. Namun, ucapannya selanjutnya semakin membuat pipinya memerah, "Baiklah
Suara alarm yang cukup keras dari ponselnya membangunkan Leticia. Ia meraba-raba kasur, mencari benda pipih tersebut untuk mematikan alarmnya. Namun, setelah berusaha mencari dengan tangannya dan tidak kunjung menemukannya, ia pun membuka mata.Baru ketika melihat sekeliling kasur, akhirnya Leticia menemukan ponselnya dan segera mematikan suara bising itu. Ia lalu duduk merenung selama beberapa saat. Ia menyentuh bibirnya yang berciuman dengan Tytan di dalam mimpi semalam. Ia seolah masih merasakan kehangatannya seakan itu nyata.Ting!Tiba-tiba bunyi nyaring dari ponselnya membuyarkan lamunannya. Leticia yang masih memegang ponselnya, melihat layarnya yang memperlihatkan sebuah notifikasi email kantor. Di detik itulah semua pikiran dan perasaannya terdistraksi karena kenyataan kembali menariknya."Ayo segera bersiap-siap," gumamnya seraya beranjak dari kasur.Leticia masuk ke dalam pintu kamar mandi, memulai ritual paginya. Selanjutnya, ia memilih pakaian, memoles wajahnya, menata ra
Hari sudah menjadi gelap ketika Leticia mengurus Sofia di kantor polisi. Untungnya, berkat pengacaranya, semua berjalan dengan baik. Dan ia pun yakin dengan bantuan pria berbakat itu, Sofia akan dijatuhi hukuman yang berat di persidangan nanti."Nyonya Muda," panggil Diego sesampainya mereka di rumah.Leticia pun menoleh pada Diego yang menunjuk D'angelo. "Kenapa pria ini bersama Anda sejak tadi?""Aku juga tidak tahu padahal urusan kita sudah selesai. Apa kau tidak akan kembali ke tempatmu?" tanya Leticia langsung kepadanya, mengusirnya secara halus."Begini kah caramu membalas jasaku?" tanya balik D'angelo dengan nada tidak terima."Jasamu? Kau menculikku kalau kau lupa," kata Leticia menunjuknya.Diego yang berdiri di belakangnya dan mendengar Leticia, dengan cepat maju dan meraih kemejanya. "Aku sudah curiga sejak kau bersama Nyonya Muda. Kau penculiknya!""Diego, hentikan!" Leticia menahannya."Tidak!" serunya yang untuk pertama kalinya membantah ucapan Leticia."Semua rencana Tu
"Tytan, tidak! Tunggu dulu!" seru Leticia berusaha mencegah D'angelo menutup telponnya.Leticia berusaha meraih ponselnya, tetapi pria itu dengan cepat menariknya dan menjauhkannya darinya. Ia menatap sengit dirinya karena tidak memiliki kesempatan lagi. Kalau tidak mau memberikannya waktu untuk mengobrol dengan suaminya, kenapa menelponnya sejak awal?!"Jangan melihatku seperti itu! Kita ini bukan musuh, kan?" katanya santai tanpa rasa bersalah setelah apa yang dilakukannya."Apa seorang penculik pantas berbicara seperti itu?" tanya Leticia ketus."Aku sudah bilang jika aku hanya membawamu." D'angelo menatap Leticia, menunjuk dirinya. "Aku bahkan tidak mengikatmu, mengurungmu, ataupun menyiksamu."Leticia yang kadung kesal dan tidak percaya sejak awal, memutar bola matanya, menganggap omongannya angin lalu. Ia pun duduk kembali sambil melipat kakinya. Ia mulai menggigiti kukunya dengan gelisah karena semakin mencemaskan suaminya yang tadi terdengar kesakitan."Tingkahmu itu tidak akan
Suara dering ponsel di antara Tytan dan Massimo memecah keheningan di ruangan tersebut. Tytan masih tidak bergerak. Sementara Massimo seolah tidak mempedulikan dirinya. Suara dering itu terus berbunyi hingga mati sebelum akhirnya kembali berbunyi sekali lagi."Kau tidak berniat mengangkatnya?" tanya Massimo yang akhirnya buka suara. Ia berbalik bersama senjata yang telah dipilihnya. Ia menatap Tytan dan melanjutkan, "Senjata ini tidak akan membunuhmu sekarang, tetapi panggilan itulah yang mungkin akan membunuhmu lebih dulu."Tytan semula tidak memahaminya, tetapi segera setelah menerima telpon dari Diego yang mengawal Leticia, saat itulah ia menyadari apa maksudnya. "Katakan ada apa dengan Leticia?""M-maafkan saya, Tuan Muda, Ny-nyonya Muda-""Katakan dengan cepat apa yang terjadi pada Leticia, Diego!" Tytan memotong ucapannya dengan cepat secara tidak sabar.Kekehan Massimo yang terdengar tidak mengalihkan atensi Tytan. Tanpa melihat wajahnya pun, ia tahu kepuasan yang jelas dirasak
"Anda baik-baik saja, Tuan Muda?" Gaspar yang menyetir, melihat khawatir bagaimana bosnya itu begitu kelelahan, tertekan, dan sangat stres."Kapan misi terakhirku? Dan berapa lama aku meninggalkan Leticia?" Alih-alih menjawab, Tytan bertanya balik."Itu beberapa bulan lalu. Anda meninggalkan Nyonya Muda selama kurang lebih sebulanan." Raut wajahnya menjadi semakin frustasi ketika mendengar jawaban tersebut.Untuk pertama kalinya Tytan merasa sangat enggan apalagi berhasrat menyelesaikan sebuah misi. Padahal di sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memprotes atau terpaksa melakukannya. Semua perubahan ini disebabkan hanya karena seseorang yang masuk ke dalam kehidupannya. Dan karena seseorang itu juga, banyak hal lainnya berubah."Apa aku bisa kembali pada Leticia dengan selamat jika aku membunuh Massimo sekarang?" tanyanya lagi dengan suara gumaman."Jangan lupa kita sudah ada di Sisilia, Tuan Muda." Gaspar mengingatkan mulut bosnya itu, kalau-kalau ia melupakan di mana mereka sekarang.