Share

04. Hati Salsa Menangis

Salsa dengan asyik memberikan Asi -nya, seketika bayi itu kembali tenang dalam dekapan ibu kandungnya sendiri. Bu Citra  melihatnya dengan begitu haru, ada rasa kasihan kepada Salsa yang dipaksa untuk menyerahkan  bayi itu untuk Desi agar dia bisa mendapatkan seorang anak tetapi dia pun menjadi orang tua egois untuk kepentingan anak perempuannya agar bisa hamil dengan cara merawat bayinya Salsa.

“Cepat bawa bayi itu di kamar kamu, hari ini kamu bisa tidur dengan dia, Desi sepertinya sangat kewalahan mengurus bayi itu sendiri,” ucapnya sambil menatap bayi itu yang begitu tenang tetapi mulutnya masih bergerak dengan lahap menyusu.

 

“Bu, bolehkah Salsa merawat bayi Salsa sendiri? Atau biarkan Mbak Desi tinggal di sini atau Salsa yang tinggal di rumah Mbak Desi selama tiga  bulan saja ?”

“Ibu jangan khawatir masalah pekerjaan rumah tetap Salsa yang kerjakan, Bu tidak akan Salsa repotkan. Kasihan jika Mbak Desi membawa bayi Salsa keluar malam-malam begini,” pintanya.

“Oh ... kamu mulai berani mengatur saya, Salsa memang siapa kamu, apa hak kamu menggurui saya?” bentaknya dengan nada kasar.

“Salsa hanya memberikan pendapat, dan itu harus Ibu terima, hal ini sudah menyangkut nyawa bayi ini jika sampai terjadi sesuatu dengan bayi Salsa kalian lah yang akan bertanggung jawab!” tegasnya lagi.

“Wah hebat kamu Salsa, berani sudah membentak saya dengan masalah sepele ini?”

Sadam! Sadam!” panggil Bu Citra tak kalah nyaringnya membuat kedua mata kecil itu terbangun lagi. Salsa kembali mengayun buah hatinya agar kembali terlelap. Baru saja di ayun bayi begitu tenang dalam dekapan sang ibu, Salsa pun membawanya ke dalam kamar.

Bu Citra  mengekorinya dari belakang dan melihat anaknya masih terlelap dalam tidurnya dengan memeluk guling besar.

“Sudah malam Bu, jangan membangunkan semua tetangga, nanti ibu saja yang malu sendiri,” ucapnya dengan tenang.

“Kamu mulai mengancam saya, Salsa , sejak kapan kamu mulai bertindak kurang ajar seperti ini?”

“Ibu yang sudah keterlaluan, memisahkan bayi dengan ibu kandungnya sendiri untuk kepentingan Mbak Desi, Ibu nggak lihat apa yang dilakukan sama Mbak Desi, baru lima hari bayi Salsa di rumahnya  itu, tetapi dia sendiri tidak bisa menjaga ASI Salsa dengan baik, itu baru Asi, bagaimana dengan yang lain?”

“Maaf Bu, saya tutup pintunya, mau istirahat!”

Salsa lalu menutup pintu kamarnya dengan pelan agar tidak membangunkan bayinya kembali.

Salsa sangat bersyukur setiap dia memanjatkan doanya  selalu menjadi kenyataan untuk bisa memeluk dan mencium bayinya yang baru saja di lahirkannya.

Salsa kembali menatap sang buah hati secara bergantian, sungguh rasa lelahnya sepanjang hari sebagai Ibu rumah tangga sangat melelahkan, bahkan jam tidur ya pun tidak menentu, tetapi ter bayarkan ketika Salsa menatap lekat buah hatinya yang tertidur dengan pulas.

 

Wanita itu termenung, sesekali matanya melirik ke sang suami yang begitu damai dalam tidurnya. Bahkan suara mendengkur terdengar jelas di telinga Salsa.

“Sampai kapan aku mengalah di dalam setiap masalah,  Mas Sadam?”

“Aku begitu lelah menghadapi egois kalian, tidak mau mengerti perasaanku. Apalagi kamu, Mas.”

“Apakah ini alasannya kamu melarangku memakai  alat KB apa pun agar aku bisa hamil dan memberikan bayi kita ke tangan Mbak Desi?”

“Apakah memang ini rencana kalian hanya untuk bisa memberikan seorang bayi untuk Mbak Desi, sedangkan baru lima hari saja bersamanya bayiku juga tidak terurus dengan baik, padahal semua pekerjaan rumah aku yang menyelesaikannya.”

Salsa beranjak dari duduknya di tepi ranjang, berdiri mematung  melihat pantulan cermin hias itu.  Betapa buruknya tubuhnya yang lemas, kulit kusam seakan-akan menua dini dari umur, kurus kerempeng  seperti hanya terbungkus dengan tulang. Pakaian yang terlihat lusuh bahkan banyak tambalan di mana-mana.

“Siapa aku ini?”

“Apakah ini diriku?”

“Aku sudah sangat berubah, tidak terurus, ini kah diriku?” tanyanya dalam hati.

“Ah ... seandainya waktu itu ...

“Tidak! aku tidak mau hamil lagi, dia saja terlihat sangat cuek dan aku tidak mau menderita lagi, sudah cukup  aku bertahan dengan rumah tangga seperti ini.”

“Semakin lama di diamkan mereka semakin keterlaluan, kasihan jika anak-anakku tidak terurus hanya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah ini,” batinnya berkata.

“Mas Sadam harus mengerti aku juga, dia sebagai kepala rumah tangga tetapi dia sangat lemah jika Ibu dan Mbak Desi yang bersuara.”

“Aku harus memakai alat KB , aku tidak ingin kebobolan lagi, sudah cukup!”

“Kalian tidak bisa lagi membuatku menderita, kalian belum tahu siapa aku!”

“Aku bertahan hanya untuk melihat anak-anakku bahagia, bahkan aku juga bisa membiayai hidup mereka tanpamu, Mas!” lanjutnya lagi.

 

Salsa  mengecup kening ketiga anaknya, dia akhirnya bisa tidur terlelap walaupun hanya sebentar sebelum aktivitas rutin menyambutnya.

 

 

Menjelang Subuh Salsa terbangun sendiri dan langsung  mengecek bayinya yang ternyata sudah bangun. Bayi itu seolah-olah tahu akan keberadaan sang ibu sehingga bayi itu memberikan senyuman lucunya membuat Salsa menjadi gemas.

“Ah, anak Mamah sudah bangun juga ya, mau mimik? Bentar ya dek ... Salsa lalu menyusunya kembali. Bayi itu tidak menangis dia terlihat tenang, setelah tidur kembali Salsa harus segera ke dapur.

Dia ingin ketika bayinya bangun lagi dia sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Mulai dari mencuci pakaian milik keluarganya maupun milik Mbak Desi dan suaminya. Ada tiga keranjang besar sudah menunggu di depan matanya.

Itu sudah hak yang biasa bagi Salsa, setelah melahirkan pun tidak ada waktu istirahat,  ibu mertuanya langsung memberikan pekerjaan seperti biasa.

Tepat jam lima subuh cucian telah selesai dan tinggal di jemur, dia melakukan aktivitasnya yang kedua  yaitu memasak.

Lagi-lagi masakan ini harus di makan juga oleh Mbak Desi dan suaminya. Bu Citra  terlalu memanjakan putri kandungnya sehingga setelah menikah dia pun masih di manja.

“Selamat pagi Mah,” ucap  gadis kecil itu dengan tersenyum.

“Selamat pagi, Sayang ,” sahut Salsa membalas senyuman anaknya.

“Sheila, sudah salat belum?”

“Ini baru mau ambil air wudu.”

“Mah, ada dedek di kamar masih tidur, tadi bangun sebentar terus di tenangi sama Sarah.”

“Oh ya, makasih ya Sayang, Mamah harus selesai semuanya  sebelum dedek nangis, tadi malam Tante Desi ke rumah dan membawa dedek lagi nangis makanya dedek ada di rumah ini,” jelasnya sambil tangannya dengan cekatan menggoreng telur ceplok.

“Mah, kenapa nggak kita aja sih yang merawat dedek, Tante Desi itu jahat, jutek, Sheila nggak suka sama dia , nanti kalau ada apa-apa kasihan dedek,” protes Sheila gadis kecil yang kini sudah berusia delapan  tahun itu.

“Sayang nggak boleh ngomong gitu ah, nggak  baik, sudah sana salat nanti kesiangan, bangunkan juga Papah ya biar salat sama-sama.”

“Nggak ah malas, Papah itu kalau dibangunin bawaannya marah, kasihan dedek nanti terganggu tidurnya,” jawabnya dan berlalu begitu saja dan pergi ke kamar mandi.

Salsa hanya bisa menghela napas panjang saat putri pertamanya ini sudah bisa menilai orang di sekitar lingkungannya. Walaupun dia hanya seorang gadis kecil tetapi anak itu sangat peduli dengan Salsa.

Gadis kecil yang berani, dan tidak takut dengan siapa pun, dia akan berontak jika ada yang menyakiti ibu dan adiknya. Gadis kecil itu seolah-olah sebagai perisai untuk ibunya.

Selain pintar di sekolah tak jarang Sheila dan Sarah akan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, walau sering dimarahi oleh ibunya agar tidak ikutan, tetapi dua kakak beradik itu tidak ingin ibunya menjadi pembantu di rumah sendiri. Sebisa mungkin mereka akan mengerjakan apa yang bisa mereka lakukan.

“Salsa!” teriak Mas Sadam memekik sampai luar kamar.

Sadam mendatangi Salsa dan Sheila yang sibuk menjemur pakaian di halaman belakang.

“Ada apa Mas, kenapa pagi-pagi sudah teriak,” protes Salsa sedikit kesal.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status