David tertegun menatap layar gawainya. Wajah sang gadis pujaan ditatapnya lekat dalam keheningan malam itu. Ditemani segelas kopi, David hanya bisa terpaku di teras di malam minggu nan kelabu. Hembusan nafas berat dan rasa kecewa masih menggelayuti hatinya. Sejak Riana melihat foto itu, sikapnya benar-benar berubah. David sudah mencoba berbagai cara untuk meminta maaf, membujuk, dan melunakkan hati Riana, tetapi semuanya belum membuahkan hasil. Riana menjauh begitu saja, bahkan tidak mau menatap wajah David. Bukan hanya Riana saja, sikap Mario juga tidak seperti biasanya. "Semua gara-gara Tante Sandra!" keluh David. "Tumben anak Mama di rumah saja malam ini?" tanya Mama David yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. "Mau kemana lagi, Ma?" ujar David lemas. "Rasanya kemarin kamu sangat bersemangat, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu?" tanya Mama David. David mendengus kesal, lalu berkata, "Kami sudah putus, Ma," "Putus? Cepat sekali? Ada
Sandra tercengang, wajahnya terlihat panik dan pucat. Ia tidak menyangka keponakannya akan masuk begitu saja ke dalam rumah. 'Ini pasti karena bibi lupa mengunci pintunya," rutuknya. Namun Sandra mengangkat wajahnya, ia tidak boleh kalah dengan bocah ingusan itu. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan tersenyum angkuh. "Kamu! Apa kamu tidak pernah diajar oleh orang tuamu mengenai sopan santun saat bertamu? Seharusnya kamu mengetuk pintu dan tetap menunggu di luar sampai ada yang membukakan kamu pintu," ujar Sandra geram. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Tante! Rahasia dan kecurangan Tante sudah terbongkar! Tante tidak perlu duduk di kursi roda itu dan berpura-pura sakit lagi. Karena aku akan menceritakan semuanya pada Om Hadi dan semua orang," jawab David sambil menendang kursi roda itu karena kesal. "Jangan macam-macam kamu!" teriak Sandra. David mengambil ponsel dari sakunya dan bersiap untuk merekam kejadian itu. David yakin itu akan menjadi bukti yang tepat untuk membu
Saat David masih termenung, tiba-tiba ponselnya berdering. David berjalan ke sudut ruangan, lalu ia merogoh sakunya dan melihat nomor asing di layar benda pipih itu. "Halo," sapa David. "Halo, Keponakanku. Kamu sudah melihat sebagian kecil peringatan dari Tante," kata Sandra. David mengerutkan keningnya, ia mulai mengenali suara wanita di seberang sana. "Ta-tante. Apa Tante ada hubungannya dengan kecelakaan Mario dan Riana?" tanya David. "Ini semua kesalahanmu, Anak manis. Kamu yang menantang Tante dan mencoba bermain api," ucap Sandra. David tercekat, ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tidak menyangka jika Sandra lebih berbahaya dari apa yang terlihat olehnya. "Tante, jangan main-main! Aku bisa melaporkan Tante ke polisi. Aku tidak takut pada Tante," gertak David. "Sayang, apa setelah ini kamu masih mau mengajak Tante bermain? Kamu bisa melihat sendiri, bahwa Tante mempunyai kekuatan yang lebih besar dari yang kamu duga. Dan rasanya ini barulah peringatan kecil. Kalau k
Pagi itu Hadi sedang bersiap berangkat ke kantornya. Ketika Hadi sedang sarapan, dengan sengaja Sandra menampilkan wajahnya muram dan sendu. Hadi menatap istrinya dan merasakan ada yang tidak beres. "Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu muram seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Hadi. "Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran dan mengganjal di hatiku. Aku berusaha memendamnya, agar tidak mengganggumu, Mas," jawab Sandra. "Katakan saja, apa yang membuatmu sedih seperti ini? Apa kamu bosan tinggal di rumah saja? Kamu ingin kita pergi ke suatu tempat atau berlibur?" tanya Hadi. "Nanti malam saja kita bicarakan, Mas. Aku takut akan menganggu konsentrasimu saat bekerja. Jangan terlalu cemas! Aku baik-baik saja, Mas," ucap Sandra. Hadi melihat jam tangannya, ia memang sudah hampir terlambat. "Ya sudah, aku berangkat kerja dulu, ya. Aku akan segera pulang, Sayang," kata Hadi sambil mengecup kening Sandra. Hadi mempunyai beberapa usaha yang sudah lama ia rintis. Hadi memiliki us
Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Mario sudah bisa berjalan kembali dengan normal tanpa bantuan tongkat.Beberapa bulan berikutnya, Mario dan David sudah lulus dari bangku SMA. Kini Mario bersiap untuk memulai aktivitas sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Mario dan David akan kuliah di sebuah kampus yang berlokasi di luar kota. Mario akan kuliah di Jakarta, sedangkan David memilih menempuh pendidikan di Surabaya, karena ada saudara yang tinggal di sana. Dengan berat hati Riana melepas kepergian kakaknya. Perpisahan ini merupakan saat yang berat bagi Riana, yang sejak kecil selalu dekat dengan kakaknya. Malam itu, Riana menemani Mario membereskan barang-barangnya, karena ia akan pergi besok pagi. Wajah Riana muram sejak beberapa hari sebelumnya. Setelah memasukkan pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Mario menatap adiknya yang masih tertunduk dan membisu. "Hei, kenapa sedih?" tanya Mario. Setetes air mata bening yang mati-matian ditahan oleh Riana mulai mem
"Ja-jadi selama ini kamu membohongi aku dan semua orang?" tanya Hadi terduduk di tempat tidurnya. Sandra duduk dengan santai di depan Hadi sambil tersenyum sinis. Sandra berucap keras, "Gak semuanya kebohongan, Mas. Aku memang mengalami kecelakaan itu dua puluh tahun yang lalu. Aku juga mengalami hilang ingatan dan gak bisa berjalan selama beberapa tahun. Kamu tahu bagaimana keadaanku? Bagaimana aku harus menghadapi itu semua? Bertahun-tahun aku menderita dan sendirian, Mas. Sendirian!" "Itu karena aku dan semua orang menyangka kalau kamu sudah meninggal, San," jawab Hadi. "Yang paling membuatku membenci kamu adalah karena dengan mudahny kamu menerima wanita lain sebagai penggantiku dan menikah dengannya, Mas! Mengapa semudah itu kamu jatuh cinta? Padahal kita sudah akan menikah?" tanya Sandra. Hadi mengatur nafasnya karena tiba-tiba ia merasa sesak. Ia berusaha menjawab Sandra, "Kamu salah, San. Sangat sulit bagiku untuk melewati semua proses itu. Aku juga sangat menderita dan t
Riana dan Hana berpacu dengan waktu, sesakit apapun hati mereka di masa lalu, Hadi tetap menjadi bagian istimewa dalam hidup mereka. "Itu rumahnya, Bu," tunjuk Riana. "Kamu sudah tahu?" tanya Hana sambil melirik anaknya."Mm.. Aku dan Mas Rio pernah kemari, Bu. Setelah Ayah pergi dari rumah. Saat itu kami penasaran, dan masih berharap ayah akan memilih kembali pada kita," jawab Riana. Hana menghela nafas panjang, kedua anaknya memang keras kepala, namun berhati baik. Mereka berdua segera turun dari mobil. Hana berulang kali menelepon Hadi, tetapi tidak ada jawaban darinya. "Koq sepi?" tanya Hana pada Riana. Riana mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Jangan-jangan tadi memang jebakan dari Tante Sandra, Bu?" kata Riana. "Tapi tadi Ibu benar-benar mendengar suara ayahmu meminta tolong," jawab Hana. "Ya sudah, kita coba ketuk dulu," Riana mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Sudah beberapa kali Riana dan Hana bertemu d
"Menyebalkan! Aku benci wanita itu!" teriak Riana di dalam mobil saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Hana hanya menghela nafas dan tetap melihat lurus ke jalan di depannya. "Seharusnya kita gak perlu datang, Bu. Aku gak suka bertemu dengan Tante Sandra lagi. Dia sangat menyebalkan dan munafik. Sepertinya selama ini dia berbohong pada semua orang mengenai kondisi tubuhnya. Lihat! Dia sangat sehat dan lidahnya sangat tajam menghina kita," cerutu Riana. "Sudahlah, Ria! Kita datang untuk menolong ayah. Abaikan saja wanita itu!" ujar Hana, walaupun ia juga merasa geram dengan tingkah dan ucapan wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya itu. "Kalau Mas Rio tahu bahwa kita masih mau datang menolong ayah, entah apa yang akan dia ucapkan. Pasti Mas Rio akan sangat kesal pada kita, Bu," ucap Riana. "Sayang, kendalikan amarahmu! Sabar, Nak!" kata Hana. "Mengapa ayah sampai meminta pertolongan pada kita? Apa ayah sengaja membuat kita bertemu dengan wanita licik itu?" geram Riana.