"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
"Jahat kamu! Ini balasanmu untuk kesetiaanku selama ini?" suara ibu siang itu terdengar menyayat hati. Riana dan Mario, kakak beradik anak dari Pak Hadi Setia Atmaja dan Ibu Hana baru saja pulang dari sekolah. Baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah, langkah kaki mereka terhenti sejenak mendengar keributan dari dalam rumah itu."Mas, ibu kenapa? Gak biasanya ibu dan ayah bertengkar, " bisik Riana.Mario hanya bisa mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Berjuta tanya tak terjawab timbul dalam benak Riana dan Mario. Sepanjang pernikahan orang tua mereka, rasanya tidak pernah mereka mendengar pertengkaran seperti ini. Ayah dan ibu mereka saling mencintai, sehingga keluarga mereka dikenal harmonis dan bahagia.Mereka melangkah dengan cepat, masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, ibu dan ayah duduk berhadapan. Ibu menangis, sementara ayah hanya bisa diam dan tertunduk lesu."Bu, Yah, ada apa ini?" tanya Mario penasaran."Tanyakan saja pada ayahmu! Apa yang dia lakukan di belakang ki
"Mas yakin?" tanya Riana sambil menatap kakaknya."Iya. Apapun akan aku lakukan untuk ibu. Apa kamu tega melihat ibu disakiti seperti itu? Kita harus merebut kembali ayah dari tangan pelakor itu," ujar Mario yakin."Tapi ibu tidak ingin kita melakukan itu, Mas. Bagaimana kalau sampai ibu tahu kita menemui ayah dan wanita itu?"Mario melirik ke arah kamar ibu, lalu meletakkan jari telunjuk di bibirnya, ia berbisik, "Ssst... Pelankan suaramu! Ibu gak akan tahu kalau kita gak memberi tahu dia. Ayo kita pergi sekarang, selagi ibu masih tidur!" "Tapi kita belum tahu dimana ayah sekarang. Apalagi alamat wanita itu, darimana kita bisa mendapatkannya?" tanya Riana."Coba kamu buka dan cari informasi di ponsel ibu!" kata Mario.Riana menuruti saja permintaan kakaknya. Ia membuka pintu kamar ibu dengan sangat hati-hati, lalu mengambil ponsel dari atas meja. Riana keluar dari kamar itu sambil menggenggam ponsel milik ibu.Dengan mudah Riana membuka layar benda pipih itu, karena ibu memang tidak
"Ayah jahat! Aku benci Ayah!" seru Riana sambil menahan tangan Mario yang terkepal.Darah muda Mario berkecamuk saat ini, ingin rasanya ia membalas ayah, atau memukuli wanita tak berdaya itu. Namun Mario masih mengingat pesan ibunya, untuk tidak melakukan hal yang mungkin bisa berbahaya atau membuat ibunya sedih. Sambil menangis Riana menarik Mario untuk menjauh, ia sangat menyesal telah datang ke rumah itu. Sikap ayah telah membuat rasa sakit dan kebencian makin meluap di dadanya."Aku gak mau bertemu denganmu lagi. Mulai sekarang, Anda bukanlah ayahku lagi!" rutuk Mario sesaat sebelum berpaling. Mario dan Riana melangkah pergi, meninggalkan rumah itu. Riana masih menoleh melihat ayah yang terduduk gemetar melihat telapak tangannya sendiri. Tangan yang telah menyakiti darah dagingnya sendiri dan menggores luka yang entah kapan bisa pulih kembali. Riana masih tersedu ketika ia duduk di atas sepeda motor. Mario masih terdiam, nafasnya memburu menahan amarahnya. Figur ayah penyayang
Bel sekolah sudah berbunyi, pertanda jam pelajaran sudah berakhir. Riana merapikan buku dan alat tulisnya, lalu memasukannya ke dalam tas. Seperti biasanya, Riana berjalan ke tempat parkir dan menunggu Mario di dekat sepeda motornya. Mario yang duduk di kelas tiga memang sering keluar lebih lama daripada Riana. Beberapa teman Riana sudah pulang lebih dulu, dan tempat parkir itu mulai lengang. Tiba-tiba Riana terkejut melihat sosok pria yang sangat ia kenal menghampiri dirinya. "Riana, anakku," kata Ayah Riana. "Ayah," ucap Riana terkejut. Mario dan David yang baru saja tiba di tempat parkir terpaku melihat ayah dan Riana sedang berdiri berhadapan."Ria, kenapa kamu masih mau bicara dengannya?" tegur Mario. "Mas, Ayah baru saja datang...." ucap Riana mencoba menjelaskan. Ayah menatap Mario dan Riana penuh harap dan berkata, "Rio, Ria, ada yang mau Ayah bicarakan,""Sudah aku katakan, aku gak sudi bertemu atau bicara dengan Anda," tolak Mario acuh. "Sebentar saja, Nak. Kita haru