แชร์

Aku Adalah Presdir

ผู้เขียน: Planet Zamzan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-07 12:17:49

Damar duduk di kursi besar dengan sandaran tinggi di ruang rapat yang luas. Di sekelilingnya, orang-orang berpakaian formal sibuk berbicara, membolak-balik dokumen, dan berdiskusi tentang hal-hal yang sama sekali tidak ia pahami.

Layar proyektor di hadapannya menampilkan grafik dan angka-angka keuangan yang berderet-deret. Beberapa pria berjas rapi membahas strategi bisnis dengan penuh keseriusan, tetapi Damar tidak bisa fokus.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam tubuh pria lain. Arman Wijaya, begitu yang tertulis di botol obat yang ia temukan tadi pagi. Seorang Presiden Direktur atau mungkin seorang penguasa kejam, jika melihat sikap orang-orang di sekitarnya yang begitu kaku dan serius.

Damar menundukkan kepala, tangannya saling menggenggam di atas meja. Siapa aku sebenarnya sekarang? Kenapa aku bisa berada di tubuh pria ini? Apakah aku benar-benar sudah mati?

Lamunannya buyar ketika sebuah suara lembut namun tegas memanggilnya.

“Presdir?”

Damar mendongak dengan kaget. Karina, sekretaris yang sejak tadi bersikap profesional, kini menatapnya dengan ekspresi bingung.

“Presdir, apakah Anda mendengarkan?” ulang Karina.

Damar masih terkejut, lalu dengan refleks menjawab, “Ada apa ya, Nona?”

Seketika, suasana di ruangan itu berubah hening.

Semua orang menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. Beberapa bahkan tampak nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Damar mengerutkan kening, bingung dengan reaksi mereka. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?

Karina juga tampak kaget, tetapi ia segera menutupi ekspresinya dengan kembali bersikap profesional. “Saya bertanya, apakah Anda sudah menyimak laporan keuangan yang baru saja dipresentasikan?”

Damar melirik layar proyektor yang masih menampilkan angka-angka yang sama sekali tidak ia mengerti. Dengan cepat, ia mengatur ekspresinya dan menarik napas dalam.

“Aku merasa kurang enak badan,” katanya, mencoba terdengar tenang. “Rapat ini kita tunda dulu. Aku akan pulang.”

Sekali lagi, suasana berubah hening. Para eksekutif saling berpandangan dengan ekspresi penuh kebingungan.

Namun, tidak ada yang berani membantah. Begitu Damar berdiri, semua orang di ruangan itu langsung ikut berdiri dan memberi hormat. Damar menatap mereka dengan kaget. Apa ini? Kenapa mereka bersikap seperti ini?

Karina, yang selalu cekatan, segera maju dan membukakan pintu ruang rapat untuknya. Ia berjalan lebih cepat, mendahului Damar yang tampak terburu-buru.

Begitu mereka sampai di depan lift, Karina menekan tombol dan berkata, “Saya akan memanggil sopir untuk menjemput Anda di lobi, Presdir.”

Damar hanya mengangguk cepat. Pintu lift terbuka, dan ia segera masuk. Sebelum pintu tertutup, Karina kembali memberikan hormat dengan sopan. Damar hanya bisa menatapnya dengan kebingungan hingga akhirnya pintu lift tertutup, membiarkannya tenggelam dalam pikirannya yang semakin kacau.

Damar berdiri di dalam lift, matanya menatap kosong pada angka-angka yang turun satu per satu di panel digital. Kepalanya masih penuh dengan kebingungan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana aku bisa berada di tubuh pria ini?

Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia mencoba mengingat kecelakaan yang menimpanya truk besar, suara tabrakan, dan sensasi dingin yang merayap di tubuhnya. Seharusnya ia mati. Tetapi, sekarang ia justru hidup dalam tubuh seorang pria asing bernama Arman Wijaya.

Damar menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, seberapa keras pun ia berusaha, kenyataan ini tetap terasa tidak masuk akal.

"Ding!"

Suara lift berbunyi, menandakan pintu akan terbuka.

Saat langkahnya keluar dari lift dan menuju lobi, ia kembali dikejutkan oleh reaksi para pegawai yang ada di sana.

Semua orang yang melihatnya langsung berhenti dari aktivitas mereka dan memberikan penghormatan.

Beberapa menundukkan kepala dengan penuh hormat, sementara yang lain berdiri tegap dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Mereka tidak berbicara, hanya menunggu Damar lewat seolah ia adalah seorang raja yang sedang berjalan di antara rakyatnya.

Damar semakin tidak nyaman. Apa semua orang selalu bersikap seperti ini terhadap Arman? Ia mencoba untuk tetap berjalan dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati, ia ingin segera keluar dari tempat ini.

Begitu tiba di luar gedung, angin sore menerpa wajahnya. Tapi sebelum ia bisa menarik napas lega, seorang pria berseragam hitam langsung bergerak sigap. Supir pribadinya sudah bersiap.

Pria itu membukakan pintu mobil dengan hormat, menundukkan kepala seolah Damar adalah seseorang yang tidak boleh disentuh sembarangan.

Damar tertegun sejenak, merasa seperti orang asing di tengah kehidupannya sendiri. Ia menoleh, melihat ke arah gedung megah yang barusan ia tinggalkan. Gedung itu tinggi, kokoh, dengan logo perusahaan besar terpampang di atasnya.

“Jadi, aku adalah seorang presdir” pikirnya.

Namun, status itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Semua ini terlalu besar, terlalu berlebihan. Ia hanya seorang dosen biasa yang mencintai ketenangan, bukan seorang pria kejam yang hidup di tengah lingkungan penuh formalitas dan ketakutan.

Tapi, untuk saat ini, ia tidak punya pilihan selain mengikuti alur.

Dengan langkah ragu, ia masuk ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, supir langsung mengambil posisi di belakang kemudi, menghidupkan mesin, dan mobil mulai melaju menjauh dari gedung.

Damar bersandar pada kursi, menatap keluar jendela. Kota yang ia kenal masih ada di luar sana, tetapi hidupnya tidak lagi sama. Dan ia belum tahu apa yang akan menunggunya selanjutnya.

Mobil melaju mulus di sepanjang jalanan kota, tetapi Damar masih tenggelam dalam pikirannya. Kepalanya bersandar pada sandaran kursi, matanya menatap kosong ke luar jendela. Semua ini masih terasa seperti mimpi, mimpi yang terlalu nyata untuk diabaikan.

Setelah beberapa menit perjalanan, mobil memasuki sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari besi hitam berornamen rumit. Gerbang itu terbuka otomatis begitu kendaraan mendekat, seolah sudah mengenali siapa yang ada di dalamnya.

Damar menegang saat melihat apa yang ada di balik gerbang itu.

Sebuah jalan panjang membentang lurus sejauh 500 meter, dengan halaman yang luas di kiri dan kanannya. Rumput hijau terbentang sempurna, tanpa satu pun ilalang yang tumbuh sembarangan. Pohon-pohon mahal berjejer rapi, menciptakan suasana mewah dan berkelas. Beberapa patung marmer berdiri gagah di beberapa sudut taman, menambah kesan bahwa tempat ini bukan sekadar rumah biasa, ini sebuah istana.

Damar menelan ludah. Seberapa kaya pria ini sebenarnya?

Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah dengan pilar-pilar tinggi yang menopang balkon di lantai dua. Dindingnya putih bersih dengan aksen emas yang berkilauan terkena lampu-lampu luar.

Sebelum Damar sempat mengatur napasnya, pintu mobil langsung dibuka dari luar.

Di hadapannya, berdiri barisan pelayan dengan seragam hitam-putih yang berjejer rapi.

Begitu ia melangkah keluar, semua pelayan menundukkan kepala dan memberikan penghormatan.

"Selamat datang di rumah, Tuan," ujar seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah kepala pelayan.

Damar berdiri diam, merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini seumur hidupnya. Semua orang di tempat ini menundukkan kepala seolah dia adalah seorang raja.

Jantungnya berdegup kencang. Apa sebenarnya yang sudah aku masuki?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Informasi Yang Mengejutkan

    Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Bayangan Masalalu

    Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Pertengkaran Kecil

    Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Sifat Yang Sulit Dirubah

    Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Kehidupan Yang Tak Dikenal

    Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Mencari Jati Diri

    Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status