Share

Ini Bukan Aku

Penulis: Planet Zamzan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-07 12:16:46

Sore berganti malam dengan cepat. Setelah menghabiskan beberapa jam di ruang dosen untuk memeriksa tugas mahasiswa dan berbincang dengan Mirna, Damar akhirnya bersiap pulang.

Langit sudah gelap saat ia keluar dari gedung kampus, lampu-lampu jalanan menyala, menciptakan kilauan lembut di atas aspal yang mulai lembap oleh embun malam. Udara terasa sejuk, dan suasana di sekitar kampus sudah mulai lengang.

Damar masuk ke mobilnya, menyalakan mesin, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengemudikan kendaraannya keluar dari area kampus. Jalanan kota tidak terlalu padat, hanya ada beberapa mobil lain yang melintas.

Di dalam mobil, pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan Mirna tadi. Apa tujuan hidupmu kalau kau sesantai ini?

Ia tersenyum kecil, merasa pertanyaan itu lucu. Hidup ini tidak perlu dijalani dengan tergesa-gesa. Semua orang akan menemukan jalannya masing-masing, termasuk dirinya.

Namun, ia tidak tahu bahwa malam ini, nasibnya akan berubah total.

Saat Damar memasuki sebuah jalanan sepi di pinggiran kota, tiba-tiba sebuah truk besar muncul dari persimpangan dengan kecepatan tinggi.

Matanya melebar. Segalanya terjadi begitu cepat. Cahaya lampu truk menyilaukan matanya. Ia berusaha membanting setir, tetapi segalanya terlambat.

"BRAAAKKK!!"

Suara benturan keras memenuhi udara. Mobilnya terpental, berputar beberapa kali sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan dengan suara yang memekakkan telinga. Kaca depan pecah berkeping-keping, kantung udara mengembang, tetapi benturan keras membuat kepalanya terbentur dasbor.

Dunia terasa berputar. Pandangannya mulai buram.

Dingin.

Perlahan, suara bising sirene dan langkah-langkah orang yang berlari ke arahnya semakin samar. Napasnya terasa berat, dan kesadarannya mulai memudar.

“Apakah… ini akhir hidupku?” pikirnya.

Di detik terakhir sebelum semuanya menghilang, ia mendengar suara samar… bukan suara orang-orang di sekitarnya, melainkan suara yang terasa asing di telinganya.

"Jangan mati… Kau masih dibutuhkan di dunia ini."

Dan setelah itu, semuanya menjadi gelap.

Tiba-tiba Damar terbangun dengan napas terengah-engah. Ia merasakan tubuhnya terasa berat, tetapi bukan karena luka. Ada sesuatu yang aneh. Ia tidak merasakan nyeri dari kecelakaan yang baru saja terjadi.

Perlahan, ia membuka matanya.

Yang pertama ia lihat adalah langit-langit putih dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Ia terbangun di atas kursi dan meja di depannya. Aroma ruangan ini wangi, tetapi bukan rumah sakit.

Panik, ia segera duduk dan menatap sekeliling. Ini bukan kamarnya. Ini bukan kampus. Ini bahkan bukan rumah sakit.

Kemudian, ia menunduk dan melihat tangannya. Bukan tangannya.

Tangan itu lebih besar, lebih kokoh, dan memiliki bekas luka yang tidak ia kenali. Dengan jantung berdebar, ia bangkit dan berjalan menuju cermin besar di sisi ruangan.

Dan saat melihat bayangan dirinya di cermin. Ia membeku. Itu bukan wajahnya.

Wajah itu lebih tegas, lebih dingin, dengan sorot mata tajam yang penuh ketegasan dan kekuasaan. Bukan Damar Pratama yang ia kenal. Ia mengangkat tangan, menyentuh wajahnya sendiri. Bayangan di cermin melakukan hal yang sama.

“Ini… bukan aku.”

Lalu, sebelum ia sempat memahami situasinya, suara pintu terbuka.

Seorang wanita dengan pakaian rapi masuk, membawa berkas-berkas di tangannya. Wajahnya tampak gugup, tetapi ia tetap berbicara dengan nada formal.

“Pak Arman, akhirnya Anda bangun. Rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam satu jam.”

Damar terdiam.

“Pak… Arman?” gumamnya.

Ia tidak tahu siapa itu. Tetapi satu hal yang pasti. Ia telah terbangun dalam tubuh pria lain. Seorang pria yang sama sekali bukan dirinya.

“Kalau begitu saya keluar Pak,” ucap Karina dan menutup pintu.

Damar masih terpaku di depan cermin, menatap bayangan asing yang seolah mengejeknya. Siapa pria ini? Kenapa aku ada di tubuhnya?

Jantungnya berdetak cepat, pikirannya kacau. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang nyata. Ia mengusap wajahnya sendiri, mencoba merasakan tekstur kulit yang berbeda dari yang biasa ia kenal. Otot-ototnya lebih tegas, wajahnya lebih dingin, lebih tajam.

Matanya kemudian tertuju pada meja. Di sana, ada sebuah botol obat kosong yang tergeletak begitu saja. Ia meraihnya, tak ada label atau apa pun. Lalu matanya teralih melihat nama Presdir Arman Wijaya di papan nama.

Jadi ini nama pria ini? Aku ada di tubuhnya? Tapi bagaimana?

Sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, pintu tiba-tiba terbuka.

Karina, wanita yang sebelumnya masuk, kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi canggung namun tetap profesional.

“Pak Arman,” katanya pelan. “Nyonya Wilona ada di luar. Dia ingin bertemu.”

Damar menoleh cepat. “Nyonya?”

Karina mengerutkan kening. “Istri Anda, Pak.”

Jantung Damar nyaris berhenti. Istri?! Aku bahkan belum menikah!

Sebelum ia bisa mengeluarkan satu kata pun, seorang wanita elegan dan angkuh melangkah masuk tanpa diundang. Langkahnya mantap, seakan ia memiliki kendali penuh atas ruangan ini.

Wilona.

Rambut panjangnya tergerai indah, gaun mewah yang ia kenakan mencerminkan statusnya. Tatapannya tajam, penuh perhitungan, dan begitu masuk, ia langsung menatap Damar dengan ekspresi dingin.

"Aku menolak perceraian ini," katanya tanpa basa-basi.

Damar menatapnya dengan bingung. Perceraian?

Wilona melangkah lebih dekat, mengangkat selembar kertas di tangannya, surat cerai. Tanpa ragu, ia merobeknya di depan mata Damar dan melemparkan potongan kertas itu tepat ke wajahnya.

“Kerugiannya tidak sepadan dengan perceraian ini,” katanya dengan nada datar namun tajam. “Aku tidak akan membiarkan ini terjadi.”

Damar masih terpaku di tempat. Ia bahkan belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, tetapi kini seseorang melemparkan konflik rumah tangga ke hadapannya.

Wilona memperhatikannya dengan tatapan penuh selidik. “Aneh. Biasanya kau tidak akan diam saja, Arman. Apa ada yang salah?”

Damar berusaha menyusun kata-kata, tetapi pikirannya masih berkabut. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Namun, Wilona tampaknya tidak peduli. Ia merapikan gaunnya dan berkata, “Aku akan menyiapkan makan malam. Kita akan bersikap seolah tidak ada masalah di antara kita.”

Dengan itu, ia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Damar yang masih berdiri kaku, tenggelam dalam kebingungan yang semakin dalam.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa aku berada di sini? Siapa aku sebenarnya?” gumam Damar masih memproses semua informasi yang dia sendiri sulit untuk percaya.

Tak lama, Karina kembali masuk dan membawakan setumpuk dokumen. “Ini dokumen yang anda pinta pak. Sore ini Mr.Stuart ingin bertemu untuk membicarakan proyek sebelumnya. Apakah anda akan menerimanya?” tanya Karina.

“Pak?” tanya Karian lagi karena Damar hanya diam melamun.

“Sebaiknya saya tunda, karena anda terlihat tidak sedang sehat, apakaha rapat hari ini juga ditunda pak?” tanya Karina lagi. 

Damar menoleh dan berkata, “Tidak apa, kita lakukan sekarang saja,” ucap Damar dan bangkit dari duduknya segera keluar.

Karian pun mengikuti langkahnya. Meski pun dia merasa heran karena tidak biasanya Arman seperti ini, tapi Karina tidak bisa bertanya apa-apa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Masalah Keamanan

    “Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Ingatan Masa Lalu

    “Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Jangan Khawatir

    “Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Detektif

    "Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Berhenti

    "Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Apa Yang Terjadi?

    "Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status