Damar melangkah masuk ke dalam rumah megah itu dengan perasaan yang masih penuh kebingungan. Interior rumah ini bahkan lebih mencengangkan daripada tampilan luarnya. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menggantung, dinding marmer yang mengilap, dan perabotan mahal yang tertata sempurna.
Begitu ia berjalan melewati lorong menuju ruang utama, suara langkah lain terdengar dari atas.
Seorang wanita turun dari tangga melingkar dengan anggun, wajahnya masih menyiratkan keangkuhan seperti sebelumnya. Wilona.
Damar langsung mengenalinya sebagai wanita yang pagi tadi merobek surat cerai di hadapannya.
Wilona berhenti di tengah tangga, menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa sudah pulang?” tanyanya tanpa basa-basi.
Damar menghela napas, berusaha merespons dengan tenang. “Aku tidak enak badan.”
Wilona menyipitkan matanya, seolah mencoba membaca ekspresi Damar. Namun, ia tidak berkata apa-apa lagi dan melanjutkan langkahnya menuruni tangga.
“Aku sudah menyiapkan makanan untukmu,” katanya saat berjalan mendekat. “Pergilah makan.”
Damar tidak merasa lapar sedikit pun. Semua yang ia alami hari ini sudah cukup membuat perutnya terasa mual.
“Aku tidak berselera,” jawabnya singkat.
Mendengar itu, ekspresi Wilona langsung berubah drastis.
“Apa?!” suaranya meninggi, matanya berkilat marah. “Kau pikir aku ini apa, hah? Sejak kapan kau menolak makanan yang sudah aku siapkan?!”
Damar terkejut dengan reaksi Wilona yang meledak begitu saja. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hanya menolak makan bisa memicu kemarahan seperti ini.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah Arman Wijaya benar-benar hidup dalam rumah tangga yang seperti ini?
Wilona menatapnya penuh amarah, menunggu Damar membalas. Tapi kali ini, Damar memilih untuk tidak membalas kemarahan dengan kemarahan.
Ia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Baiklah, aku akan makan.”
Wilona tertegun.
Ia jelas tidak menyangka Arman akan menurut begitu saja. Biasanya, Arman akan membalasnya dengan kata-kata kasar atau bahkan meninggalkan meja makan tanpa peduli.
Tapi kali ini, pria di hadapannya hanya menurut tanpa perlawanan.
Damar tidak tahu harus bersikap seperti apa terhadap Wilona. Tapi satu hal yang pasti ia tidak ingin memperkeruh keadaan sebelum ia benar-benar memahami situasi yang sedang dihadapinya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju ruang makan, meninggalkan Wilona yang masih berdiri di tempat dengan ekspresi heran.
Damar duduk di kursi makan yang besar dan megah. Di hadapannya, hidangan-hidangan mewah tersaji rapi. Wilona duduk di seberangnya dengan ekspresi dingin, menyantap makanannya dengan elegan.
Saat Damar mulai mencicipi hidangan itu, ia terkejut. Rasanya luar biasa lezat. Tak disangka, wanita yang terlihat angkuh ini pandai memasak.
Tanpa pikir panjang, ia berkata dengan tulus, “Masakan ini enak sekali.”
Wilona, yang awalnya tampak tidak peduli, mendongak sedikit. Namun, matanya tetap tajam.
Damar melanjutkan makannya, lalu dengan polosnya bertanya, “Maaf, siapa nama Anda?”
Wilona langsung menghentikan gerakannya.
Suasana di meja makan berubah tegang. Wilona menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat udara di sekelilingnya terasa lebih dingin.
“Apa sekarang kau sedang bersikap seolah tidak mengenaliku?” tanyanya dengan suara rendah, tapi penuh ketajaman.
Damar terdiam. Sial. Ia baru sadar bahwa bagi Wilona, ia adalah Arman Wijaya, bukan Damar Pratama.
“Kenapa kau menjadi berbeda?” Wilona menyipitkan matanya curiga.
Damar buru-buru menelan ludah dan menyesuaikan diri. “Aku… maaf. Aku hanya tidak enak badan, mungkin karena itu aku agak linglung.”
Wilona mendengus dan tiba-tiba bangkit dari kursinya dengan kesal.
“Dari semua sikap menyebalkanmu selama ini, cara ini yang paling menjengkelkan,” katanya tajam, lalu meninggalkan meja makan tanpa berkata apa-apa lagi.
Damar hanya bisa terdiam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Rumah tangga seperti apa ini sebenarnya?
Tak lama setelah Wilona pergi, suara pintu utama terbuka. Seorang gadis remaja masuk ke dalam rumah dengan langkah santai.
Damar mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu. Seorang anak perempuan berseragam SMA dengan rambut digerai, mengenakan rok yang menurutnya terlalu pendek.
Damar menatapnya dengan bingung.
“Siapa anak muda itu?” gumamnya pelan.
Wilona yang masih berada di dekat tangga mendengar perkataan itu dan langsung menatapnya dengan ekspresi penuh amarah.
“Jangan bilang kau tidak ingat anakmu sendiri, Arman,” katanya tajam.
Damar mengedip beberapa kali. “Ah… dia anakku rupanya?”
Gadis itu, yang baru saja melepas sepatunya, berhenti di tempat dan menatap Damar dengan curiga.
“Apa lagi ini, Ma?” katanya kesal. “Papa kena amnesia atau apa?”
Wilona tak menjawab, hanya menghela napas panjang lalu naik ke lantai dua dengan wajah kesal.
Damar menatap anak perempuan itu. Zizi, putri Arman.
Gadis itu baru saja ingin melangkah pergi ketika Damar menyadari sesuatu. Ia memprotes roknya yang terlalu pendek.
“Kamu tidak bisa keluar rumah dengan rok seperti itu,” katanya tegas.
Zizi, yang sudah setengah jalan menaiki tangga, berbalik dengan ekspresi tidak percaya.
“Jangan sok peduli!” katanya sinis.
Damar terkejut dengan respons tajam itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Zizi sudah melangkah cepat ke kamarnya dan membanting pintu.
Damar mengusap wajahnya dengan frustasi.
Keluarga macam apa ini?
Damar meletakkan sendoknya setelah menyelesaikan makan malamnya. Meskipun ia tidak begitu berselera, ia tetap menghabiskan makanannya demi menghindari konflik dengan Wilona.
Saat ia hendak beranjak, seorang pelayan wanita datang dengan langkah teratur, membawa nampan berisi secangkir minuman hangat berwarna kecokelatan.
“Ini minuman herbal untuk Anda, Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada sopan sambil meletakkan cangkir di hadapan Damar.
Damar menatap minuman itu dengan kening berkerut. Sejak kapan Arman minum herbal seperti ini?
“Apa ini?” tanyanya.
Pelayan itu sedikit menundukkan kepala. “Nyonya yang menyuruh untuk memberikannya pada Anda, Tuan. Katanya ini bagus untuk kesehatan.”
Damar melirik ke arah tangga, tempat Wilona tadi menghilang. Ia kembali menatap pelayan itu dengan curiga.
“Untuk kesehatan?” gumamnya. “Memangnya aku sedang sakit?”
Pelayan itu tampak bingung dan sedikit gelisah. Ia mengangguk pelan, tetapi begitu melihat ekspresi Damar yang berubah lebih keras, ia buru-buru menggeleng cepat.
“Saya tidak tahu, Tuan,” suaranya sedikit gemetar.
Damar tersadar bahwa pelayan itu ketakutan.
Sepertinya di rumah ini, Arman Wijaya bukanlah pria yang lembut dan ramah.
Ia menghela napas dan mencoba meredakan ketegangan. “Tenang saja, aku hanya bertanya.”
Pelayan itu menundukkan kepala dengan cepat, tampak lebih lega.
Damar mengambil cangkir itu dan menyesap isinya. Rasa pahit langsung menyentuh lidahnya, tapi ia memutuskan untuk menghabiskannya tanpa berpikir lebih jauh.
Begitu minuman itu tandas, ia bangkit dari kursinya. Saat hendak pergi, langkahnya terhenti di tengah ruangan.
Ia berbalik menatap pelayan itu. “Kamarku ada di atas, kan?”
Pelayan itu menatapnya dengan ekspresi bingung.
Sadar bahwa pertanyaannya terlalu aneh, Damar segera melangkah ke lantai atas tanpa menunggu jawaban.
Pelayan itu tetap berdiri di tempat, menundukkan kepala dan tak berani mengatakan apa pun.
Sementara itu, Damar terus menaiki anak tangga dengan pikirannya yang semakin penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuh ini? Kenapa pelayan itu terlihat begitu takut? Dan yang lebih penting… apa yang sebenarnya ada dalam minuman itu?
Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar
Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke
Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel
Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic
Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be
Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua