Damar kembali hidup setelah mengalami kecelakaan. Menjadi seorang penguasaha sukses bernama Arman Wijaya. Namun, di balik meja eksekutif, ia menemukan korupsi, pengkhianatan, dan permainan kekuasaan yang lebih berbahaya dari yang ia bayangkan. Di tengah itu, Rachel hadir, sekretaris cerdas dengan masa lalu yang penuh rahasia. Saat keduanya semakin dekat, cinta dan ambisi bertabrakan. Sementara Wilona, istri Arman, tak tinggal diam melihat suaminya jatuh ke pelukan wanita lain. Dengan konspirasi yang mengancam dari segala sisi, Damar harus memilih antara mempertahankan perusahaan dan keluarganya? Atau mengikuti hatinya yang mulai goyah?
View MoreDi sebuah kamar hotel yang remang-remang, Damar duduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi penuh pemikiran. Kemeja putihnya terbuka sebagian, memperlihatkan dadanya yang bidang. Dari balik cermin besar di sudut ruangan, bayangan seorang wanita tampak mendekat dengan anggun. Rachel, dengan gaun satin berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna, melangkah pelan menuju Damar.
Ia berhenti tepat di hadapan pria itu, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada tantangan di sana, ada rindu yang terpendam. Damar perlahan bangkit, tinggi badannya yang menjulang membuat Rachel harus sedikit mendongak untuk tetap menatap matanya. Dengan lembut, jari-jari Damar menyentuh dagu Rachel, mengangkat wajahnya agar sejajar dengannya.
Rachel tersenyum samar, matanya sedikit menyipit, seolah sedang menunggu langkah berikutnya. Damar mendekat, napasnya hangat di kulit Rachel. Bibirnya yang sedikit terbuka mendekati leher jenjang wanita itu, lalu menekankan kecupan singkat yang membuat Rachel menarik napas dalam. Sentuhan ringan itu seolah melepaskan sesuatu dalam dirinya.
Tangan Damar melingkari pinggang Rachel, menariknya lebih dekat. Kehangatan tubuhnya terasa nyata, sementara Rachel membiarkan tangannya menyusuri bahu hingga ke dada bidang pria itu. Senyumnya semakin dalam ketika ia merasakan jantung Damar berdegup sedikit lebih cepat.
Damar menatapnya dalam, seolah meminta izin tanpa kata. Rachel mengangguk samar, lalu ia sendiri yang menarik Damar lebih dekat, mencium bibir pria itu dengan lembut. Ciuman itu bermula penuh kelembutan, sebelum berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dan mendesak. Dunia di sekitar mereka memudar, hanya ada mereka berdua di dalam kamar itu.
Damar dengan hati-hati membimbing Rachel ke tepi tempat tidur. Saat tubuhnya menyentuh seprai putih yang dingin, Rachel mendongak, membiarkan Damar menelusuri bahunya dengan bibirnya, menyusuri setiap inci kulitnya dengan kesabaran yang menggoda. Jemarinya menarik tali gaun Rachel, membiarkannya meluncur turun dengan perlahan, memperlihatkan kulit seputih mutiara di bawah cahaya lampu kamar.
Tatapan Damar menggelap, hasrat dan kekaguman bercampur menjadi satu. Dengan lembut, ia membungkuk, mengecup kulit Rachel dengan kehangatan yang seolah membakar. Rachel menggigit bibirnya, merasakan getaran di seluruh tubuhnya. Desahan kecil lolos dari bibirnya saat ciuman Damar turun semakin dalam.
Namun, saat itu juga, sesuatu terjadi. Dalam desahannya, sebuah nama keluar tanpa sadar.
"Arman..."
Damar terhenti.
Ia menegang, tubuhnya yang semula penuh gairah kini berubah kaku. Perlahan, ia menarik diri, menatap Rachel dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Kamu bilang apa?” tanya Damar dengan nada marah.
Rachel perlahan bangun, menatapnya dengan bingung. “Ada apa, Arman? Kenapa kamu berhenti?” tanyanya, menyebut nama yang asing di telinga Damar.
Damar mengerutkan kening. “Namaku… Damar, bukan Arman!” suaranya penuh amarah dan kebingungan.
Namun, Rachel justru tertawa kecil, seolah menganggapnya bercanda. “Kamu mabuk ya, Arman?” katanya sambil tersenyum.
Damar semakin gelisah. Perasaan aneh merayapi tubuhnya. Ia menoleh ke cermin di sudut kamar dan saat itu juga, darahnya berdesir.
Wajah di dalam pantulan itu bukan miliknya. Rahang yang lebih tegas, mata yang berbeda, tubuh yang lebih kekar, itu bukan dia. Ia merasakan napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.
Siapa pria itu?
***
Suasana ruang kuliah terasa tenang. Hanya suara langkah mahasiswa yang memasuki kelas, mengambil tempat duduk mereka, dan mengeluarkan buku catatan.
Di depan kelas, seorang pria berusia 35 tahun berdiri dengan tenang, tersenyum hangat kepada mahasiswa yang mulai duduk rapi. Dialah Damar Pratama, seorang dosen filsafat yang dikenal tidak hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena kebijaksanaannya dalam mengajarkan arti kehidupan.
“Hari ini,” kata Damar sembari melipat lengannya, “kita akan membahas satu pertanyaan yang mungkin terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa sangat kompleks.”
Ia berjalan ke papan tulis dan menuliskan satu kalimat besar dengan spidolnya.
"Apa tujuan hidup kita?"
Beberapa mahasiswa saling berpandangan, sementara yang lain mulai mencatat.
Damar tersenyum. “Pertanyaan ini mungkin sudah sering kalian dengar, tetapi apakah kalian pernah benar-benar memikirkannya?”
Seorang mahasiswa di barisan depan mengangkat tangan. “Untuk sukses, Pak.”
“Bagus,” kata Damar sambil mengangguk. “Tapi, apa arti sukses menurutmu?”
Mahasiswa itu terdiam, berpikir sejenak. “Mungkin... punya banyak uang dan jabatan tinggi?”
Damar tertawa kecil. “Menarik. Tapi, bagaimana jika suatu hari kau memiliki segalanya uang, jabatan, kekuasaan tapi tidak ada yang benar-benar peduli padamu? Apakah itu tetap bisa disebut sukses?”
Kelas hening. Semua mahasiswa mulai tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
Damar melanjutkan, “Kita hidup di dunia yang penuh dengan ambisi, tapi apakah kita benar-benar hidup jika kita melupakan makna di baliknya?”
Ia menatap para mahasiswanya dengan penuh keyakinan. “Hidup bukan hanya tentang mencapai sesuatu, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalaninya.”
Setelah diskusi tentang makna hidup selesai, Damar melirik jam di dinding. Waktu perkuliahan hampir habis, tapi sebelum kelas benar-benar berakhir, ia berjalan ke meja dosennya dan mengambil beberapa lembar kertas.
“Baiklah,” katanya dengan nada tenang. “Sebelum kita mengakhiri kelas hari ini, saya punya satu tugas untuk kalian.”
Terdengar keluhan kecil dari beberapa mahasiswa. Seorang di antaranya yang duduk di barisan tengah, langsung mengangkat tangan. “Pak, baru juga minggu pertama, sudah ada tugas?”
Kelas langsung dipenuhi dengan gumaman setuju dari mahasiswa lain. Beberapa bahkan menghela napas keras seolah ingin menunjukkan ketidaksenangan mereka.
Damar hanya tersenyum, tidak terlihat kesal sedikit pun. “Saya tahu kalian sibuk. Jadi, saya beri waktu sampai minggu depan. Saya tidak butuh jawaban yang sempurna, yang saya butuhkan adalah pemikiran jujur kalian.”
Ia berjalan ke papan tulis dan menuliskan instruksi tugasnya : Tuliskan esai pendek tentang apa yang menurut kalian tujuan hidup yang sebenarnya.
“Tidak ada jawaban benar atau salah. Yang saya nilai adalah seberapa dalam kalian memahami pertanyaan ini. Kalian bebas menulis dengan gaya apa pun. Bisa serius, bisa santai, bisa dalam bentuk cerita pribadi atau bahkan dialog imajinasi. Saya ingin melihat cara kalian berpikir, bukan sekadar jawaban textbook.”
Beberapa siswa masih tampak malas, tetapi beberapa juga mulai tertarik. Seorang siswi mengangkat tangannya. "Tuan, apakah bisa dalam bentuk puisi?"
Damar mengangguk. “Tentu saja. Selama itu bisa mengungkapkan pemikiranmu.”
Kelas kembali tenang. Damar menatap mahasiswanya satu per satu. “Saya tidak ingin tugas ini menjadi beban. Anggap saja ini cara kalian mengenal diri sendiri lebih dalam.”
Dengan itu, dia mengambil bukunya dan tersenyum kecil. "Baiklah, cukup untuk hari ini. Kau boleh pergi."
Para mahasiswa mulai mengemasi barang-barang mereka. Beberapa masih mengeluh soal tugas, tetapi ada juga yang tampak penasaran dan mulai berdiskusi dengan teman-temannya.
***
Damar menatap pamflet di mejanya seminar yang ia hadiri minggu lalu. “Bagaimana hasilnya, ya?” gumamnya.
Mirna rekan kerjanya berdiri di sampingnya, “Kamu benar-benar jadi narasumber di sini? Bukankah topiknya cukup sensitif? Bagaimana bisa kamu diundang?”
“Mereka tertarik setelah membaca tulisanku.”
“Tapi ini kontroversial. Kamu nggak takut mendapat reaksi negatif?”
Damar menghela napas. “Pasti ada risiko. Tapi kalau terus menghindari topik sulit, kapan kita bisa menemukan solusi?”
Mirna menatapnya serius. “Damar, kamu sadar kalau yang kamu ungkap bisa menghancurkan perusahaan besar?” bisiknya.
Damar menatapnya lekat. “Aku tahu. Tapi lebih buruk kalau kebenaran tak diungkap.”
Mirna gelisah. “Kamu bilang banyak perusahaan sengaja menutupi kebocoran data pelanggan. Itu berbahaya, Damar!”
“Dan aku punya bukti. Mereka lebih memilih membayar denda diam-diam daripada jujur pada pelanggan.”
Mirna menatapnya khawatir. “Kamu menyebut inisial perusahaan. Semua orang tahu siapa yang kamu maksud. Hati-hatilah.”
Ia beranjak pergi, meninggalkan Damar yang menghela napas panjang. Namun, bukan seminar itu yang memenuhi pikirannya, melainkan sosok yang telah lama hilang dari hidupnya.
Ia membuka ponsel, menatap foto dirinya bersama seorang wanita. “Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Rachel?” bisiknya penuh kecewa.
“Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena
“Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard
“Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim
"Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar
"Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,
"Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments