Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir.
Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.
Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.
“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.”
*
“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.
Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”
“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”
“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.
Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menulis nama perusahaan yang berhasil lolos ke final.
“Bukannya ini aneh, Ras? Kenapa mereka mengirim surat ini di malam hari? Terlebih tidak ada tanda tangan resmi dari ketua asosiasi.”
“Kamu benar Ren, pasti ada yang tidak beres.”
“Padahal kita berada diurutan pertama, bukankah itu berdasarkan dari perolehan nilai,” imbuh Karen.
Karen tak habis pikir, ini sudah H-1 dan malam hari, panitia tiba-tiba mencoret nama perusahaan dari daftar presentasi.
Karen mencoba melayangkan protes ke pihak panitia, tetapi tidak ada tanggapan.
Sedangkan Arashi, pria itu menghubungi beberapa kolega yang masuk ke dalam jajaran orang penting di asosiasi investor tersebut.
Arashi terpaksa menggunakan nama besar marganya untuk mencari keadilan demi membantu sang adik.
Namun, kenalannya justru terkejut karena perusahaan milik Karen tiba-tiba dicoret dan diganti dengan perusahaan lain oleh panitia.
Sebagian dari mereka menyarankan untuk menemui ketua asosiasi secara langsung. Kemungkinan, ketua berkenan membantu karena semua sudah didiskusikan dan keputusan sudah diputuskan oleh ketua asosiasi.
Arashi akhirnya menghela nafas. “Tidurlah Ren, kita akan temu ketua asosiasi besok pagi.”
“Bagaimana aku bisa tidur Ras? Kondisinya seperti ini! Yang benar saja?!” ucap Karen sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya, cemas.
“Kamu tenang saja, kalau kita benar pasti ada jalan. Lebih baik kamu segera istirahat, agar besok mempunyai kekuatan untuk berperang. Ayo!”
Meski tak mau, Karen pun menurut.
Di pagi hari, keduanya bergegas menuju kantor ketua asosiasi.
Mereka memang sengaja menemui di kantor bukan di tempat pelaksanaan.
“Ada apa generasi ke-4 keluarga Takahashi sampai berkunjung secara pribadi ke kantor saya?”
Karen memandang ke arah Arashi bingung yang hanya dibalas senyuman tipis oleh pria itu.
Setelah melakukan sedikit basa-basi, Arashi menyampaikan maksud kedatangannya ke sana, lalu memberikan beberapa bukti yang dikirim melalui surel.
Ketua asosiasi juga tidak mengetahui tentang hal itu.
Ia berjanji nanti akan memberikan waktu pada Karen untuk presentasi dan memberikan hukuman yang setimpal untuk para oknum yang sudah sengaja membuat kegaduhan.
Karen bernafas lega walau kemungkinannya kecil ia masih dapat melakukan presentasi.
“Jangan khawatir kita pasti bisa presentasi.”
Hari presentasi telah tiba dan Arashi menggenggam tangan Karen yang dingin.
Wanita itu hanya menanggapi dengan anggukan.
Hanya saja, merasa ada yang memperhatikan, akhirnya Karen melihat ke depan.
DEG!
Detak jantungnya tak karuan seperti orang yang baru saja dikejutkan.
Diaz yang melihat Karen sudah melihat ke arahnya, tersenyum sinis ke arah wanita itu.
Karen segera menetralkan detak jantungnya. Beruntung, ekspresinya tak sempat dibaca oleh Diaz.
“Arashi, jangan melihat atau menengok sekarang, lihatlah ke arah jam dua belas,” bisik Karen.
“Aku sudah melihat bedebah itu saat dia masuk,” balas Arashi.
“Yang benar saja, kenapa kamu tak memberitahuku?”
“Sudah, fokuslah pada presentasi. Dan jangan terpengaruh olehnya.”
Hanya saja, Diaz yang memperhatikan itu justru salah sangka melihat kedekatan Karen dengan Arashi.
Tangan pria itu mengepal menahan emosi. “Siapa nama pria di samping Karen itu Glen, aku lupa?”
Glen melihat ke arah Karen dan Arashi yang sudah fokus ke pembawa acara.
“Arashi Takahashi.”
Mendengar itu, Diaz tertegun.
Meski tidak terlalu mengenal konglomerat di Jepang, marga itu lekat dengan keluarga pengusaha Takahashi Company Global–perusahaan yang menyangkut hajat hidup negara maju itu.
Segala sektor dikuasai oleh keluarga mereka. Sampai-sampai, ada lelucon yang mengatakan 80% negara Jepang dikuasai mereka.
“Takahashi?” ulangnya lagi sembari tersenyum, “sepertinya, aku tidak bisa meremehkanmu, Elok.”Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk