Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saat mobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala di sepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk di sampingnya di kursi mobil.
“Ini rumah siapa, Ma?”
Lydia melepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."
Adrian mengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. “Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."
“Kamu akan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.
“Ck!”
Dengan malas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subrata yang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaan bingung.
Sesampainya di depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata, dan istrinya, Vio.
“Selamat datang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak bertemu,” ucap Yusuf dengan ramah saat membuka pintu, menyambut mereka dengan senyum hangat.
Adrian masih merasa sedikit canggung dan bingung, namun ia mengangguk ringan saat Yusuf menatapnya.
“Adrian, ya?” tanya Yusuf, lalu melanjutkan, “Wah, sudah besar, ya! Kau tampan sekali seperti ayahmu.”
Adrian tersenyum tipis, sedikit canggung mendengar pujian itu.
Vio, yang sejak tadi diam sambil memperhatikan, kemudian tersenyum dan berkata, “Ayo, masuk saja. Kami sudah menyiapkan makan malam."
Mereka semua masuk ke dalam rumah, menuju ruang makan.
Saat Vio pergi menuju dapur, Yusuf melihat ke arah Subrata dan Lydia. “Jadi, bagaimana kabar kalian? Sudah cukup lama kita tidak ngobrol seperti ini.”
Obrolan ringan pun berlanjut, membicarakan banyak hal. Tak lama, Vio kembali dengan beberapa minuman dan sekotak kue kecil, kemudian memanggil putrinya yang berada di kamar.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar menuruni tangga. Seorang wanita muda muncul, usianya tampak sebaya dengan Adrian. Rambutnya terurai rapi, gaun simpel berwarna pastel membalut tubuhnya dengan elegan namun tidak berlebihan. Ia tersenyum ramah, lalu melangkah mendekat.
"Selamat malam, Om, Tante," sapa Melani sopan kepada Subrata dan Lydia, sambil sedikit membungkuk dengan hormat.
Lydia tersenyum lebar, kemudian menatap ke arah Adrian. “Bagaimana calon istrimu, Adrian? Cantik, kan?”
Sontak, Adrian yang sedang menyandarkan diri di kursi langsung menegakkan punggungnya. Matanya membesar. “C-Calon istri?” pekiknya, setengah terkejut, setengah protes.
Suasana seketika menjadi canggung. Namun Subrata tetap tenang, menyandarkan diri di kursinya sambil melirik Yusuf, lalu kembali menatap Adrian.
“Papa dan Om Yusuf sudah membicarakan ini sejak lama,” ujar Subrata dengan serius. “Melani gadis baik, dan kamu…” Ia menatap Adrian intens. “Usiamu juga sudah cukup matang untuk menikah.”
Adrian hendak menyela, namun Subrata melanjutkan cepat, “Papa tidak akan memaksamu. Tapi sudah saatnya kamu pikirkan masa depan. Papa juga ingin segera menimang cucu.”
Lydia tersenyum mengiyakan, mencoba mencairkan suasana. “Kita nggak minta langsung nikah besok, kok. Tapi nggak ada salahnya kan kenalan lebih dekat dulu…”
Adrian membuka mulut, jelas ingin memprotes. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. Seorang wanita masuk ke ruang makan, membuat Adrian seketika membeku.
“Eliana, kemarilah,” panggil Yusuf sambil tersenyum hangat. “Ini keponakanku, Eliana. Baru pindah ke sini dua minggu lalu.”
Subrata dan Lydia tersenyum ramah, bangkit sedikit dari duduk mereka.
“Ayo, sapa Om Subrata dan Tante Lydia,” titah Yusuf, memberi isyarat sopan.
Eliana mengangguk kecil lalu membungkuk ringan. “Selamat malam, Om, Tante."
“Malam,” ujar Subrata ramah.
Namun sebelum Eliana sempat duduk, Yusuf kembali menimpali, “Oh ya, sapa juga calon suami Melani di sana.”
Eliana sontak menoleh ke arah yang dimaksud Yusuf, dan pandangannya langsung bertaut dengan sepasang mata yang sangat familiar—yang bahkan dalam mimpi pun sulit ia lupakan.
Adrian.
Waktu seolah berhenti. Dan tanpa sadar, tatapan mereka saling mengunci dalam keheningan yang membekukan ruang.
Melani, yang duduk di samping Adrian, menyadari ketegangan aneh itu. Ia melirik bergantian antara keduanya dengan dahi sedikit berkerut. Lalu dengan penasaran, ia bertanya, “Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?”
Setelah semalaman menyisir setiap sudut kamar, membongkar laci, bahkan memeriksa kolong ranjang dan sela-sela lemari, liontin itu tetap tak ditemukan. Mata Eliana tampak sayu pagi harinya, namun ia tetap turun ke ruang makan seperti biasa.Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ia bertanya, "Melani... Apa kau melihat liontin milikku?”Melani yang sedang mengoleskan selai ke roti hanya menggeleng santai. “Nggak, aku nggak lihat. Memangnya hilang?”Eliana mengangguk samar.Melani menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki. “Mbok Inah!” panggilnya. Sang pembantu yang lewat pun menghampiri.“Mbok, lihat liontin milik Eliana?"Mbok Inah mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng. “Maaf, Non, Mbok nggak lihat. Mungkin jatuh di kamar?”Sebelum Eliana menjawab, Vio yang duduk di ujung meja ikut menimpali, “Mungkin kamu lupa naruh, El. Bisa aja terlepas waktu tidur.”Eliana hanya menunduk. Tak mungkin ia lupa. Ia tak pernah melepas liontin itu—tidak sedetik pun, bahkan saat tidur.
Selesai fitting, Adrian segera meninggalkan butik, langkahnya terburu-buru, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia membiarkan Lydia, Melani, dan Vio tetap sibuk memilih gaun, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Begitu sampai di luar, ketika hendak membuka pintu mobil, pandangannya tertumbuk pada sosok yang berdiri di tepi jalan. Damar.Adrian berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Bukankah seharusnya Damar sudah pergi bersama Eliana? Kenapa dia masih berdiri di sini, sendirian?Dengan cepat, Adrian berjalan mendekat. “Kak Damar?”Damar menoleh, tersenyum santai begitu melihat Adrian. “Kenapa kamu di sini?” tanya Adrian penasaran.Damar kembali menatap layar ponselnya. “Nunggu kolega. Ada urusan kerjaan yang ingin dibicarakan."Adrian menatap sekeliling dengan cepat, matanya mencari sosok Eliana di antara orang-orang yang berlalu lalang. “Eliana mana? Bukankah seharusnya dia pergi bareng Kak Damar?” “Eliana hanya bilang ada urusan dan menolak aku antar."Adrian hanya me
“Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“
SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan
“Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam
Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb