Share

Bab 6

Author: Sarana
last update Last Updated: 2025-04-23 01:16:46

"Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" 

"Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.

Prang!

Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. 

"Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.

Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. 

"Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.

Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. 

"Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.

Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."

Eliana menoleh, sempat ragu, namun akhirnya mengangguk pelan. 

"Baik, Tante." Ia menatap Mbok Inah dengan penuh pengertian. "Mbok, hati-hati ya. Jangan sampai kena pecahan kacanya."

“Baik, Non,” jawab Mbok Inah lega, masih membungkuk sambil membersihkan sisa sup di lantai.

Eliana pun melangkah keluar dari ruang makan, meninggalkan keheningan yang sempat menggantung.

Sepanjang kepergian Eliana, mata Adrian tak pernah lepas darinya. Tatapannya seolah menyimpan tanya yang belum sempat terucap—campuran kebingungan, kenangan, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bahkan saat Melani menoleh padanya, Adrian tidak bergeming.

"Adrian?" panggil Melani.

Adrian akhirnya mengedip, seolah tersadar dari lamunan. 

“Huh? Iya?”

Melani tersenyum kaku. 

“Kamu nggak apa-apa?”

Adrian mengangguk singkat, tapi pandangannya kembali tertuju ke arah lorong tempat Eliana menghilang. 

***

Eliana menatap dirinya di pantulan kaca setelah membasuh tangannya yang terkena sup panas. 

"Adrian... calon suami Melani?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara desahan napas yang tak beraturan. Tatapannya terpaku pada bayangan dirinya sendiri yang tampak linglung dan tak siap menghadapi kenyataan.

Entah takdir sedang mempermainkannya—atau ini bentuk lelucon pahit semesta. Dari semua pria yang ada di dunia ini, kenapa harus Adrian yang akan menjadi suami sepupunya? 

Keningnya berkerut. Ia menyentuh dadanya sendiri, seolah mencoba menenangkan debaran jantung yang mendadak tak karuan. Rasanya mustahil bersikap biasa setelah tahu fakta itu. 

Tok.. Tok.. Tok..

"Non Eliana? Bagaimana dengan tangannya?" suara lembut Mbok Inah terdengar dari balik pintu.

Eliana segera keluar dari kamar mandi dan membuka pintu. 

"Baik, Mbok. Nggak parah kok."

"Maaf ya, Non… Mbok benar-benar nggak sengaja. Ini obat olesnya, tadi Mbok ambil dari kotak P3K."

Eliana menerimanya sambil tersenyum tipis. 

"Terima kasih."

"Oh iya, Tuan Yusuf dan Nyonya Vio sudah menunggu di ruang makan."

Eliana terdiam sejenak. Tatapannya mengarah ke lantai, sementara pikirannya sibuk menimbang-nimbang. Ia ragu, antara kembali ke ruang makan atau tetap diam di kamarnya. Hatinya belum siap menghadapi suasana canggung yang mungkin terjadi di antara mereka.

Tiba-tiba, dering telepon memecah lamunan. Nama Kirana tertera di layar. Eliana segera mengangkatnya.

"Halo, Kirana?"  

"El, kamu sibuk? Aku lagi di dekat sini. Bisa ketemu sebentar?"  

Senyum spontan terukir di wajah Eliana. 

"Tentu. Aku akan ke sana sekarang."

Setelah menutup telepon, Eliana berbalik pada Mbok Inah.

"Mbok, tolong sampaikan pada Tante Vio, aku ada perlu sebentar di luar. Nanti aku kembali lagi."

Mbok Inah mengangguk mengerti. 

"Baik, Non. Hati-hati ya."

Eliana segera mengambil tas kecilnya dan melangkah keluar kamar. Namun, baru beberapa langkah di lorong, langkahnya terhenti saat melihat sosok Adrian muncul dari arah berlawanan.

Mereka berpapasan.

“El—”

Namun, sebelum namanya sempat selesai diucapkan, Eliana buru-buru menempelkan ponselnya ke telinga dan berkata cepat, seolah sedang berbicara dengan seseorang, “Ya, aku sedang menuju ke sana sekarang.”

Padahal, panggilan dari Kirana sudah lama terputus.

Eliana sengaja melakukannya—menghindari kontak mata, menghindari percakapan, menghindari kemungkinan perasaan yang kembali mengganggu. Baginya, lebih mudah berpura-pura sibuk daripada harus mendengar apa pun yang mungkin akan keluar dari mulut Adrian.

***

Eliana dan Kirana duduk bersebelahan di bangku plastik kecil di depan minimarket, masing-masing memegang es krim favorit mereka. 

“Aku jadi ingat masa-masa SMA,” ucap Kirana sambil tersenyum kecil, menatap langit malam. “Kita dulu sering banget kabur ke minimarket cuma buat beli es krim ini, ingat nggak?”

Namun, Eliana hanya mengangguk samar, matanya menatap kosong ke arah jalan. Sekilas ia tersenyum, namun tak benar-benar menanggapi. 

Melihat Eliana yang tampak melayang entah ke mana, Kirana menghela napas kecil lalu mengayunkan sendok es krim ke arah sahabatnya itu.

“Hup!”

Eliana terkejut, matanya membulat, dan sempat tersedak kecil sebelum tertawa lirih.

“Astaga, Kirana!”

“Kalau kamu lagi ada masalah, cerita aja. Jangan dipendam sendiri. Aku nggak mau kamu tiba-tiba pergi tanpa jejak, kayak dulu lagi.”

Eliana tak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, mengaduk-aduk es krimnya yang mulai mencair. 

Kirana menunggu, menahan diri untuk tidak mendesak. Ia tahu, Eliana butuh waktu.

Beberapa detik kemudian, Eliana bertanya, “Na… aku boleh nginap di rumah kamu malam ini?”

“Tentu saja boleh. Kamu nggak perlu tanya, El. Kapan pun kamu butuh tempat pulang, rumahku selalu terbuka buat kamu.”

Belum sempat Eliana membalas, suara laki-laki dari arah parkiran membuat keduanya menoleh.

“Eliana?”

Seorang pria berpakaian rapi baru saja keluar dari mobil yang terparkir di depan minimarket. Eliana menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok itu dari kejauhan.

Kak Damar? batinnya menebak, sedikit terkejut.

Pria itu mendekat. 

"Benar kamu Eliana, kan?"

Eliana berdiri ragu. Ketika Damar mengulurkan tangan untuk bersalaman, Eliana hanya mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Damar langsung menarik kembali tangannya dan tersenyum canggung. “Maaf,” ucapnya cepat, merasa sedikit kikuk.

“Gimana kabarmu, El? Baik-baik aja, kan?”

“Baik, Kak. Alhamdulillah.”

Damar tersenyum, matanya memperhatikan Eliana sejenak seolah ingin memastikan sendiri bahwa gadis itu memang baik-baik saja.

“Kamu masih seperti dulu."

Eliana hanya membalas dengan senyum tipis, tidak berniat menjawab apa pun.

Tak ingin membiarkan keheningan terlalu lama, Damar merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. 

“Boleh minta nomor kamu, El? Biar kita bisa ngobrol lebih lanjut, kalau kamu nggak keberatan.”

Eliana sempat ragu, namun belum sempat menjawab, dari kejauhan sebuah mobil hitam melintas pelan.

Di balik kaca mobil yang sedikit terbuka, Adrian duduk bersandar di kursi belakang. Tanpa sengaja ia melihat Eliana berdiri bersama seorang pria.

Tatapan mereka terlihat hangat, bahkan pria itu tampak mengulurkan tangan ke arah Eliana, seolah sedang meminta nomor ponsel.

Adrian refleks menoleh, matanya tak lepas dari sosok Eliana hingga mobil perlahan menjauh.

"Ada apa? Mau berhenti di minimarket sebentar?" tanya Lydia dari kursi sebelahnya.

"Nggak usah. Terus jalan aja."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 15

    Setelah semalaman menyisir setiap sudut kamar, membongkar laci, bahkan memeriksa kolong ranjang dan sela-sela lemari, liontin itu tetap tak ditemukan. Mata Eliana tampak sayu pagi harinya, namun ia tetap turun ke ruang makan seperti biasa.Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ia bertanya, "Melani... Apa kau melihat liontin milikku?”Melani yang sedang mengoleskan selai ke roti hanya menggeleng santai. “Nggak, aku nggak lihat. Memangnya hilang?”Eliana mengangguk samar.Melani menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki. “Mbok Inah!” panggilnya. Sang pembantu yang lewat pun menghampiri.“Mbok, lihat liontin milik Eliana?"Mbok Inah mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng. “Maaf, Non, Mbok nggak lihat. Mungkin jatuh di kamar?”Sebelum Eliana menjawab, Vio yang duduk di ujung meja ikut menimpali, “Mungkin kamu lupa naruh, El. Bisa aja terlepas waktu tidur.”Eliana hanya menunduk. Tak mungkin ia lupa. Ia tak pernah melepas liontin itu—tidak sedetik pun, bahkan saat tidur.

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 14

    Selesai fitting, Adrian segera meninggalkan butik, langkahnya terburu-buru, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia membiarkan Lydia, Melani, dan Vio tetap sibuk memilih gaun, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Begitu sampai di luar, ketika hendak membuka pintu mobil, pandangannya tertumbuk pada sosok yang berdiri di tepi jalan. Damar.Adrian berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Bukankah seharusnya Damar sudah pergi bersama Eliana? Kenapa dia masih berdiri di sini, sendirian?Dengan cepat, Adrian berjalan mendekat. “Kak Damar?”Damar menoleh, tersenyum santai begitu melihat Adrian. “Kenapa kamu di sini?” tanya Adrian penasaran.Damar kembali menatap layar ponselnya. “Nunggu kolega. Ada urusan kerjaan yang ingin dibicarakan."Adrian menatap sekeliling dengan cepat, matanya mencari sosok Eliana di antara orang-orang yang berlalu lalang. “Eliana mana? Bukankah seharusnya dia pergi bareng Kak Damar?” “Eliana hanya bilang ada urusan dan menolak aku antar."Adrian hanya me

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 13

    “Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 12

    SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 11

    “Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 10

    Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status