Share

Bab 4

Author: Sarana
last update Last Updated: 2025-03-23 02:08:37

"Maaf ya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kata Eliana.

Kirana tersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjut ngobrol."

"Terima kasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.

Berbeda dari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat. Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yang menahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalam diri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.

Eliana tiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu mereka terlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawa Eliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.

Beberapa detik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun.

"Adrian?" Arya memanggil, bingung.

Tapi Adrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk di kursi kosong tanpa meminta izin.

Eliana dan Satriya menoleh bersamaan, sama-sama terkejut.

“Kamu masih suka beef steak, kan?” tanya Eliana, sengaja mengalihkan.

Satriya mengangguk. “Iya, pilihkan saja yang terbaik.”

Eliana memanggil pelayan dan memesan steak favorit Satriya, lalu menoleh ke pelayan lagi untuk memastikan pesanan. Namun, belum sempat pelayan itu pergi, Adrian menyela.

“Satu lagi yang sama untukku,” ucap Adrian sambil menutup menu.

Eliana menatap Adrian dengan heran. “Kamu pesan yang sama?”

Adrian menoleh sekilas dan mengangguk. “Ya. Hanya ingin tahu, apakah selera Satriya dan aku sama.”

Tak lama, makanan datang. Eliana tampak begitu perhatian pada Satriya. Ia mengambil pisau dan garpu, mulai memotong steak Satriya dengan telaten, senyum lembutnya tidak berubah.

“Makanlah yang banyak,” ujar Eliana sambil tersenyum, berbicara dengan lembut yang hanya Satriya yang bisa menerima dengan tenang.

Satriya hanya tertawa kecil. “Ya.”

Namun tiba-tiba, Adrian menggeser piring miliknya dan dengan tenang menukar piring itu dengan milik Satriya, yang sudah dipotong oleh Eliana.

“Sepertinya potongan ini lebih cocok untukku,” ucap Adrian santai, lalu mulai menyantap daging itu tanpa ragu.

Eliana terpaku, begitu pula Satriya. Eliana menatap Adrian, bingung.

“Adrian, itu…” tegur Eliana.

Adrian menoleh. “Kenapa? Bukankah kamu sudah repot-repot memotongnya? Rasanya sayang kalau tidak aku hargai.”

Satriya mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Aku bisa potong sendiri.”

Eliana tampak tidak nyaman, namun ia hanya mengangguk, berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.

Adrian, yang sejak tadi diam, terus menyantap makanannya dengan tenang,  namun matanya tak lepas dari Eliana dan Satriya.

Mata Adrian terus mencuri pandang ke arah Eliana dan Satriya, berusaha membaca hubungan keduanya. Namun, tak satu pun tanda yang bisa ia simpulkan dengan pasti. Mereka tampak begitu akrab, namun tidak ada yang bisa ia buktikan. Apakah mereka hanya teman biasa? Atau ada lebih dari itu?

Namun satu hal yang pasti, ada sesuatu yang membuat ia tidak tenang sejak pertama ia bertemu kembali dengan Eliana. Apakah rasa bersalah? Apalagi setelah tadi Eliana menyebutkan kata kata cupu dan kumal, yang ia yakin dulu ia katakan ketika taruhannya selesai.

“Uhuk! Uhuk!”

Lamunan Adrian terhenti karena Satriya yang mendadak tersedak. Adrian langsung menegakkan punggungnya. Namun, sebelum ia sempat melakukan apapun, Eliana lebih dulu panik dan buru-buru mengambil gelas miliknya — yang jelas sudah ia minum sebelumnya — lalu menyodorkannya ke Satriya.

“Minum ini cepat!” kata Eliana cemas.

Tanpa berpikir panjang, Satriya menerima gelas itu dan meneguk isinya dengan terburu-buru. Melihat itu, mata Adrian langsung membulat lebar. Pemandangan itu begitu janggal baginya, membuat rasa tidak nyaman. Ia ingin berkata sesuatu, ingin menegur, ingin protes — tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan.

"Itu… jus milik Eliana. Dia—dia minum dari gelas yang sama?" batinnya, kaget sekaligus kesal. Rasa aneh menggelitik hatinya, sesuatu yang seolah tidak bisa ia tafsirkan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa itu terasa begitu mengganggu?

Adrian membuka mulut hendak bicara, namun kata-kata itu tak kunjung keluar. Sebelum ia sempat melontarkan apapun, Satriya lebih dulu menoleh ke Eliana, memberikan senyum lembut, lalu berkata, “Terima kasih, Kak.”

"Kamu baik-baik saja?”

Satriya mengangguk. “Ya, sudah lega sekarang.”

Sontak ucapan Satriya membuat Adrian terdiam, matanya berpindah-pindah antara Eliana dan Satriya, kini bukan hanya kaget… melainkan bingung.

“Kak?” gumam Adrian, masih berusaha mencerna informasi itu.

Eliana hanya tersenyum kecil, menatap Satriya dengan tatapan hangat, namun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.

Adrian mengerutkan kening, mencoba memahami. “Kak?” ulangnya lagi, kali ini lebih jelas dan langsung.

“Iya, Kak Eliana. Dia memang kakakku.”

Adrian terpaku, kata-kata itu memukulnya sedikit lebih keras dari yang ia duga. “Kakak?”

Eliana menatap Adrian sekilas lalu mengangguk ringan. “Ya. Satriya adikku.”

Mendengar itu, Adrian tertawa kecil, napasnya lega seketika. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat memenuhi pikirannya seketika hilang, tergantikan oleh rasa canggung atas sikapnya yang tadi terkesan konfrontatif terhadap Satriya. Ia menyandarkan tubuh ke kursi dengan senyum kecil, lalu menjulurkan tangannya ke arah Satriya.

"Maaf, Satriya. Sepertinya aku terlalu berlebihan tadi." Adrian tersenyum, mencoba mengatasi ketegangan yang masih mengambang di antara mereka.

"Tidak apa-apa."

"Perkenalkan. Aku, Adrian."

Baru saja nama itu meluncur dari bibir pria itu, Satriya mendadak menoleh ke arah Eliana. Tatapan matanya seolah bertanya, namun tidak terucap. Eliana yang menyadari tatapan itu hanya menunduk, jemarinya menggenggam erat ponselnya di atas meja, tanpa sepatah kata pun.

Adrian menangkap semua itu, dan sempat terdiam sesaat sebelum kembali bicara.

“Aku tahu,” jawab Satriya dingin, menatap Adrian datar, tanpa menjabat tangannya.

Adrian mengerjap, kaget dengan nada bicara Satriya yang mendadak dingin.

“Kau tahu?” tanya Adrian, heran. “Eliana cerita banyak tentangku, ya?”

Satriya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Adrian sejenak sebelum menoleh lagi ke Eliana, lalu menjawab pendek, “Tidak."

Adrian sedikit mengernyit, namun tidak bertanya lebih jauh.

Suasana makan siang itu terasa hening, meski mereka bertiga menikmati hidangan masing-masing, ada ketegangan yang terasa di antara mereka. Tidak ada percakapan yang berarti, hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar. Masing-masing dari mereka tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri, hanya sesekali saling melirik tanpa berkata apa-apa.

Setelah beberapa waktu, saat makanan mereka hampir habis, Adrian mengangkat tangan hendak memanggil pelayan untuk membayar. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Satriya lebih dulu berdiri, lalu mengeluarkan dompet dari sakunya.

“Biar aku yang bayar makananku dan Kak Eliana."

Adrian sempat ingin menanggapi, tapi Satriya sudah meletakkan uang di atas meja. Tanpa banyak kata, Satriya beranjak pergi, diikuti oleh Eliana yang tampak ragu, namun akhirnya ikut melangkah.

Adrian hanya bisa memperhatikan mereka berjalan menjauh. Ia bersandar di kursinya, menatap piring yang kini kosong di hadapannya.

“Kenapa sikap adik Eliana mendadak dingin sekali? Apa aku pernah melakukan sesuatu… atau dia tahu sesuatu yang nggak aku tahu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 15

    Setelah semalaman menyisir setiap sudut kamar, membongkar laci, bahkan memeriksa kolong ranjang dan sela-sela lemari, liontin itu tetap tak ditemukan. Mata Eliana tampak sayu pagi harinya, namun ia tetap turun ke ruang makan seperti biasa.Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ia bertanya, "Melani... Apa kau melihat liontin milikku?”Melani yang sedang mengoleskan selai ke roti hanya menggeleng santai. “Nggak, aku nggak lihat. Memangnya hilang?”Eliana mengangguk samar.Melani menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki. “Mbok Inah!” panggilnya. Sang pembantu yang lewat pun menghampiri.“Mbok, lihat liontin milik Eliana?"Mbok Inah mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng. “Maaf, Non, Mbok nggak lihat. Mungkin jatuh di kamar?”Sebelum Eliana menjawab, Vio yang duduk di ujung meja ikut menimpali, “Mungkin kamu lupa naruh, El. Bisa aja terlepas waktu tidur.”Eliana hanya menunduk. Tak mungkin ia lupa. Ia tak pernah melepas liontin itu—tidak sedetik pun, bahkan saat tidur.

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 14

    Selesai fitting, Adrian segera meninggalkan butik, langkahnya terburu-buru, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia membiarkan Lydia, Melani, dan Vio tetap sibuk memilih gaun, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Begitu sampai di luar, ketika hendak membuka pintu mobil, pandangannya tertumbuk pada sosok yang berdiri di tepi jalan. Damar.Adrian berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Bukankah seharusnya Damar sudah pergi bersama Eliana? Kenapa dia masih berdiri di sini, sendirian?Dengan cepat, Adrian berjalan mendekat. “Kak Damar?”Damar menoleh, tersenyum santai begitu melihat Adrian. “Kenapa kamu di sini?” tanya Adrian penasaran.Damar kembali menatap layar ponselnya. “Nunggu kolega. Ada urusan kerjaan yang ingin dibicarakan."Adrian menatap sekeliling dengan cepat, matanya mencari sosok Eliana di antara orang-orang yang berlalu lalang. “Eliana mana? Bukankah seharusnya dia pergi bareng Kak Damar?” “Eliana hanya bilang ada urusan dan menolak aku antar."Adrian hanya me

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 13

    “Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 12

    SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 11

    “Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 10

    Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 9

    Sesampainya di antrean Sky Twister, seorang petugas mendekat sambil membawa alat pengukur tinggi badan."Ayo, dek, berdiri tegak ya," kata petugas ramah.Sienna berdiri tegap. Namun setelah diukur, petugas tersenyum canggung lalu menggeleng."Maaf, dek. Tinggi kamu masih kurang untuk naik wahana ini. Nanti kalau sudah lebih tinggi, boleh ya."Wajah Sienna langsung merengut."Beneran nggak boleh?" tanyanya sedih, matanya berkaca-kaca.Petugas itu mengangguk sambil tetap tersenyum. "Iya, belum aman untuk anak seusiamu."Melihat Sienna cemberut, Eliana cepat-cepat berjongkok di depannya, mencoba menenangkan. "Hei... Nggak apa-apa, sayang. Kalau kamu udah lebih tinggi, kamu bisa naik sepuasnya," ujarnya sambil mengusap kepala Sienna.Adrian ikut menimpali, "Iya, Sienna. Nanti pas kamu sudah cukup tinggi, Om antar naik sepuluh kali kalau mau."Namun, Sienna tampaknya punya ide lain. Ia menunjuk ke arah Eliana dengan antusias. "Kalau aku nggak bisa naik, Tante aja yang naik! Terus ceri

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 8

    Drt... Drt... Drt...Tiba-tiba ponsel Eliana bergetar di dalam tasnya. Ia buru-buru merogoh dan melihat layar yang menampilkan nama Laras. Tanpa pikir panjang, Eliana segera berdiri."Maaf, aku keluar sebentar," bisiknya pada Melani.Melani hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Adrian sekilas mengikuti gerak Eliana dengan pandangan matanya.Eliana berjalan cepat keluar dari ruangan. Begitu berada di koridor, ia segera mengangkat panggilan itu."Assalamu'alaikum. Ada apa, Kak Laras?" Dari seberang, suara Laras terdengar tergesa. "Wa'alaikumsalam, El. Maaf, kamu sibuk nggak? Kakak butuh bantuan banget. Bisa nggak kamu temani Sienna ke taman bermain siang ini? Kakak ada meeting dadakan yang belum bisa Kakak tinggal."Eliana sempat diam, mempertimbangkan. Ini sebenarnya di luar tugasnya sebagai guru privat Sienna. Namun, belum sempat ia memberikan jawaban, Laras buru-buru menambahkan, suaranya setengah memohon, "Nanti Kakak bayar tiga kali lipat dari biasanya, El. Tolong

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 7

    Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status