Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan

Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-09
Oleh:  SaranaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
15Bab
173Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Bagi Adrian, cinta hanyalah permainan, dan wanita adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Ketika teman-temannya bertaruh bahwa ia tak akan mampu menaklukkan Eliana—wanita dingin dan tertutup—Adrian menerimanya tanpa ragu. Hubungan mereka pun dimulai, bukan karena cinta, melainkan demi ego dan kemenangan. Eliana yang polos dan tulus perlahan jatuh hati, meyakini bahwa Adrian membawa cinta sejati. Namun ketika kebenaran terungkap—bahwa dirinya hanyalah bahan taruhan—hatinya hancur. Terhina dan terluka, Eliana menghilang tanpa jejak, bertekad suatu hari pria itu akan menyesali segalanya. Sepuluh tahun berlalu, Adrian menyadari hatinya tak pernah benar-benar bisa melupakan Eliana. Tapi saat ia mencoba memperbaiki semuanya, ia justru terperangkap dalam perjodohan—dengan sepupu Eliana. Kini ia dihadapkan pada pilihan: memperjuangkan cinta yang telah ia hancurkan sendiri, atau menyerah pada takdir dan menanggung penyesalan selamanya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

"Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."

Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan.  

Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.

Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar.

"Ta-Tapi apa salahku—"

"Maaf, Eliana."

Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara.  

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.

Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sekali lagi—tapi suaranya tak keluar.  

Adrian benar-benar pergi.  

Meninggalkannya tanpa alasan.  

Meninggalkannya tanpa jawaban.  

Dan saat akhirnya kesadaran itu benar-benar menghantamnya, perlahan sesuatu yang hangat jatuh dari sudut matanya.  

Sebuah akhir yang datang terlalu cepat.  

Atau mungkin… sebuah awal yang tak pernah ia bayangkan.  

Eliana menyeka air matanya dengan punggung tangan. Dadanya masih sesak, tapi ia menegakkan punggungnya, memaksa kakinya melangkah pergi. Namun, saat melewati area parkiran sekolah, langkahnya terhenti.  

Suara yang begitu familiar terdengar dari balik mobil yang terparkir di dekatnya.  

"Sudah, kan? Aku menang taruhan ini. Jangan lupa transfer uangnya."

Jantung Eliana seakan mencelos. Itu suara Adrian.  

Ia menahan napas, berdiri kaku di tempatnya.  

"Serius? Semudah dan secepat itu?" tanya salah satu teman Adrian, terdengar sedikit terkejut.  

Adrian terkekeh. "Ya iyalah. Lagipula, ngapain lama-lama sama cewek kumal dan aneh itu? Yang ada dia yang kesenengan deket-deket ama orang kayak aku, makanya gampang banget tuh, manfaatin dia."

Gelak tawa pecah di antara mereka.  

"Hahaha! Gila! Kau memang tidak ada tandingannya!!" 

"Si cupu itu bahkan sampai benar-benar jatuh cinta denganmu, kan? Kasihan sekali, emangnya dia gak ngaca, ya? Hahaha!"

Sesuatu dalam diri Eliana runtuh saat itu juga. Tangannya gemetar, pandangannya kabur.  

Jadi… semua ini hanya permainan? Semua perhatian, tatapan lembut, janji-janji yang diucapkan Adrian—hanya bagian dari sebuah taruhan murahan?  

Setelah Eliana pikir, memang dirinya juga salah. Angannya terlalu tinggi. Benar kata Adrian, pria yang menawan, atletis, tampan, yang dikejar banyak wanita di sekolah, jelas tak mungkin menyukai Eliana yang dianggap kumal oleh teman-temannya. 

Saat ini, Eliana hanya bisa menelan pahit-pahit kesedihannya. Lututnya terasa lemas, tapi hatinya justru mulai dipenuhi sesuatu yang lain.  

Bukan hanya luka.  

Bukan hanya pengkhianatan.  

Tapi amarah yang perlahan membakar.  

Eliana mengeratkan jemarinya, menahan gejolak emosinya. Ia ingin berbalik, ingin melabrak Adrian di depan teman-temannya, ingin menuntut penjelasan—tapi untuk apa?  

Mereka hanya akan menertawakannya lebih keras.  

Dengan napas yang mulai berat, Eliana memilih untuk melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, ia berjanji satu hal:  

Adrian Mahendra akan menyesali ini.  

Dan Eliana tidak akan pernah menjadi gadis yang sama lagi.  

***

Sepuluh tahun kemudian

Kemacetan ibu kota tak banyak berubah—bahkan bisa dibilang memburuk. Lampu hijau menyala, namun kendaraan di depan masih menolak bergerak. Adrian duduk di kursi penumpang dengan posisi bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit, papan iklan menyala, dan trotoar yang padat tak menyentuh hatinya sedikit pun.

Di balik kemudi, Arya melirik sahabatnya yang tampak lelah. Sebuah tawa pelan keluar dari bibirnya. “Eh, tadi siang aku ketemu Kirana,” ucapnya, mengisi jeda sunyi.

Adrian hanya mengerutkan alis, lalu menoleh sedikit. “Kirana?”

“Iya, Kirana. Teman sebangkunya Eliana. Masih nggak ingat?”

Nama itu membuat dada Adrian sedikit mencelos.

Arya melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kamu pernah dengar kabar Eliana?”

Adrian menggeleng pelan. “Nggak,” jawabnya pendek.

“Jangan-jangan... dia pindah sekolah waktu itu karena kamu?” Arya terkekeh sambil menoleh.

Adrian tak membalas. Tatapannya kembali lurus ke depan, dan Arya tahu kapan harus berhenti bercanda.

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah berarsitektur modern minimalis yang dihiasi tanaman rambat di sisi pagar. Adrian turun sambil melepas jas dan mengibas-ngibaskan kerah bajunya.

“Sienna!” panggilnya saat membuka pintu rumah.

Langkahnya tertahan saat Laras muncul dari ruang tengah, mengangkat telunjuk di depan bibir. “Ssst... Jangan berisik. Sienna lagi belajar.”

“Belajar? Jam segini?” Adrian mengangkat alis, heran.

“Sekarang dia rutin les. Kakak panggil guru privat buat bantu dia persiapan masuk SD.”

“Oalah... serius banget anak kecil zaman sekarang,” gumam Adrian sambil melangkah masuk.

Laras berjalan lebih dulu ke arah dapur. “Kamu mandi dulu sana. Nanti kita makan bareng.”

Adrian mengangguk dan melepas sepatu, hendak menuju kamarnya. Tapi saat ia hendak berbalik ke arah lorong, suara langkah kaki pelan menghentikan gerakannya.

Seorang wanita melintas sambil membawa sajadah yang dilipat rapi di lengannya. Gamis hitam panjang membalut tubuhnya, dan hijab lebar menutupi hampir seluruh rambut dan bagian dada. Ia tak menoleh sedikit pun, hanya lewat menuju ruang salat di sisi rumah.

Adrian menatap punggung wanita itu beberapa detik.

Jantungnya berdegup aneh.

Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Gerakan itu, caranya melangkah, aura keanggunan yang begitu familiar namun sudah terlalu lama tidak ia temui.

Dan tepat sebelum wanita itu menghilang di balik pintu, bayangan masa lalu menghantamnya seperti badai.

Itu Eliana.

Tangannya yang semula santai di sisi tubuh kini mengepal perlahan. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Otaknya menolak percaya, namun hatinya berkata sebaliknya.

Adrian melangkah, berniat mengikuti wanita itu ke arah ruang salat. Namun, baru beberapa langkah ia ambil, suara kecil menahannya.

“Om... mana cokelat yang Sienna minta?” tanya Sienna sambil menarik ujung kemeja Adrian dari belakang.

Adrian terhenti. Ia menunduk, menatap wajah kecil keponakannya yang tampak kecewa.

“Maaf.. Om lupa beli."

Sienna langsung mencibir kecil. “Huh, Om janji loh tadi,” gerutunya. Tapi tanpa menunggu tanggapan, gadis kecil itu berbalik pergi sambil membawa mukena merah muda dari meja.

“Sienna mau ke mana?” tanya Adrian.

“Mau minta Tante Eliana anter ke minimarket. Sienna beli sendiri aja cokelatnya,” jawabnya sambil melangkah pergi.

Adrian tertegun. Nafasnya tercekat.

“Apa? Siapa tadi kamu bilang?” tanyanya buru-buru sambil mengejar Sienna. “Tante... Eliana?”

Sienna mengangguk polos. “Iya. Tante yang tadi lewat. Yang pakai baju hitam dan hijab panjang itu.”

Adrian berdiri mematung. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Napasnya memburu.

Wanita itu memang Eliana. Bukan sekadar kemiripan. Bukan bayangan masa lalu. Tapi benar-benar Eliana. 

Eliana yang dulu ia jadikan bahan taruhan, Eliana yang dulu ia kecam sebagai wanita cupu dan kumal, kini berdiri tepat di hadapannya. 

Dan ia .... terlihat jauh berbeda. 

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
15 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status