Bagi Adrian, cinta hanyalah permainan, dan wanita adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Ketika teman-temannya bertaruh bahwa ia tak akan mampu menaklukkan Eliana—wanita dingin dan tertutup—Adrian menerimanya tanpa ragu. Hubungan mereka pun dimulai, bukan karena cinta, melainkan demi ego dan kemenangan. Eliana yang polos dan tulus perlahan jatuh hati, meyakini bahwa Adrian membawa cinta sejati. Namun ketika kebenaran terungkap—bahwa dirinya hanyalah bahan taruhan—hatinya hancur. Terhina dan terluka, Eliana menghilang tanpa jejak, bertekad suatu hari pria itu akan menyesali segalanya. Sepuluh tahun berlalu, Adrian menyadari hatinya tak pernah benar-benar bisa melupakan Eliana. Tapi saat ia mencoba memperbaiki semuanya, ia justru terperangkap dalam perjodohan—dengan sepupu Eliana. Kini ia dihadapkan pada pilihan: memperjuangkan cinta yang telah ia hancurkan sendiri, atau menyerah pada takdir dan menanggung penyesalan selamanya.
Lihat lebih banyak"Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."
Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan.
Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.
Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar.
"Ta-Tapi apa salahku—"
"Maaf, Eliana."
Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara.
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.
Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sekali lagi—tapi suaranya tak keluar.
Adrian benar-benar pergi.
Meninggalkannya tanpa alasan.
Meninggalkannya tanpa jawaban.
Dan saat akhirnya kesadaran itu benar-benar menghantamnya, perlahan sesuatu yang hangat jatuh dari sudut matanya.
Sebuah akhir yang datang terlalu cepat.
Atau mungkin… sebuah awal yang tak pernah ia bayangkan.
Eliana menyeka air matanya dengan punggung tangan. Dadanya masih sesak, tapi ia menegakkan punggungnya, memaksa kakinya melangkah pergi. Namun, saat melewati area parkiran sekolah, langkahnya terhenti.
Suara yang begitu familiar terdengar dari balik mobil yang terparkir di dekatnya.
"Sudah, kan? Aku menang taruhan ini. Jangan lupa transfer uangnya."
Jantung Eliana seakan mencelos. Itu suara Adrian.
Ia menahan napas, berdiri kaku di tempatnya.
"Serius? Semudah dan secepat itu?" tanya salah satu teman Adrian, terdengar sedikit terkejut.
Adrian terkekeh. "Ya iyalah. Lagipula, ngapain lama-lama sama cewek kumal dan aneh itu? Yang ada dia yang kesenengan deket-deket ama orang kayak aku, makanya gampang banget tuh, manfaatin dia."
Gelak tawa pecah di antara mereka.
"Hahaha! Gila! Kau memang tidak ada tandingannya!!"
"Si cupu itu bahkan sampai benar-benar jatuh cinta denganmu, kan? Kasihan sekali, emangnya dia gak ngaca, ya? Hahaha!"
Sesuatu dalam diri Eliana runtuh saat itu juga. Tangannya gemetar, pandangannya kabur.
Jadi… semua ini hanya permainan? Semua perhatian, tatapan lembut, janji-janji yang diucapkan Adrian—hanya bagian dari sebuah taruhan murahan?
Setelah Eliana pikir, memang dirinya juga salah. Angannya terlalu tinggi. Benar kata Adrian, pria yang menawan, atletis, tampan, yang dikejar banyak wanita di sekolah, jelas tak mungkin menyukai Eliana yang dianggap kumal oleh teman-temannya.
Saat ini, Eliana hanya bisa menelan pahit-pahit kesedihannya. Lututnya terasa lemas, tapi hatinya justru mulai dipenuhi sesuatu yang lain.
Bukan hanya luka.
Bukan hanya pengkhianatan.
Tapi amarah yang perlahan membakar.
Eliana mengeratkan jemarinya, menahan gejolak emosinya. Ia ingin berbalik, ingin melabrak Adrian di depan teman-temannya, ingin menuntut penjelasan—tapi untuk apa?
Mereka hanya akan menertawakannya lebih keras.
Dengan napas yang mulai berat, Eliana memilih untuk melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, ia berjanji satu hal:
Adrian Mahendra akan menyesali ini.
Dan Eliana tidak akan pernah menjadi gadis yang sama lagi.
***
Sepuluh tahun kemudian
Kemacetan ibu kota tak banyak berubah—bahkan bisa dibilang memburuk. Lampu hijau menyala, namun kendaraan di depan masih menolak bergerak. Adrian duduk di kursi penumpang dengan posisi bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit, papan iklan menyala, dan trotoar yang padat tak menyentuh hatinya sedikit pun.
Di balik kemudi, Arya melirik sahabatnya yang tampak lelah. Sebuah tawa pelan keluar dari bibirnya. “Eh, tadi siang aku ketemu Kirana,” ucapnya, mengisi jeda sunyi.
Adrian hanya mengerutkan alis, lalu menoleh sedikit. “Kirana?”
“Iya, Kirana. Teman sebangkunya Eliana. Masih nggak ingat?”
Nama itu membuat dada Adrian sedikit mencelos.
Arya melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kamu pernah dengar kabar Eliana?”
Adrian menggeleng pelan. “Nggak,” jawabnya pendek.
“Jangan-jangan... dia pindah sekolah waktu itu karena kamu?” Arya terkekeh sambil menoleh.
Adrian tak membalas. Tatapannya kembali lurus ke depan, dan Arya tahu kapan harus berhenti bercanda.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah berarsitektur modern minimalis yang dihiasi tanaman rambat di sisi pagar. Adrian turun sambil melepas jas dan mengibas-ngibaskan kerah bajunya.
“Sienna!” panggilnya saat membuka pintu rumah.
Langkahnya tertahan saat Laras muncul dari ruang tengah, mengangkat telunjuk di depan bibir. “Ssst... Jangan berisik. Sienna lagi belajar.”
“Belajar? Jam segini?” Adrian mengangkat alis, heran.
“Sekarang dia rutin les. Kakak panggil guru privat buat bantu dia persiapan masuk SD.”
“Oalah... serius banget anak kecil zaman sekarang,” gumam Adrian sambil melangkah masuk.
Laras berjalan lebih dulu ke arah dapur. “Kamu mandi dulu sana. Nanti kita makan bareng.”
Adrian mengangguk dan melepas sepatu, hendak menuju kamarnya. Tapi saat ia hendak berbalik ke arah lorong, suara langkah kaki pelan menghentikan gerakannya.
Seorang wanita melintas sambil membawa sajadah yang dilipat rapi di lengannya. Gamis hitam panjang membalut tubuhnya, dan hijab lebar menutupi hampir seluruh rambut dan bagian dada. Ia tak menoleh sedikit pun, hanya lewat menuju ruang salat di sisi rumah.
Adrian menatap punggung wanita itu beberapa detik.
Jantungnya berdegup aneh.
Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Gerakan itu, caranya melangkah, aura keanggunan yang begitu familiar namun sudah terlalu lama tidak ia temui.
Dan tepat sebelum wanita itu menghilang di balik pintu, bayangan masa lalu menghantamnya seperti badai.
Itu Eliana.
Tangannya yang semula santai di sisi tubuh kini mengepal perlahan. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Otaknya menolak percaya, namun hatinya berkata sebaliknya.
Adrian melangkah, berniat mengikuti wanita itu ke arah ruang salat. Namun, baru beberapa langkah ia ambil, suara kecil menahannya.
“Om... mana cokelat yang Sienna minta?” tanya Sienna sambil menarik ujung kemeja Adrian dari belakang.
Adrian terhenti. Ia menunduk, menatap wajah kecil keponakannya yang tampak kecewa.
“Maaf.. Om lupa beli."
Sienna langsung mencibir kecil. “Huh, Om janji loh tadi,” gerutunya. Tapi tanpa menunggu tanggapan, gadis kecil itu berbalik pergi sambil membawa mukena merah muda dari meja.
“Sienna mau ke mana?” tanya Adrian.
“Mau minta Tante Eliana anter ke minimarket. Sienna beli sendiri aja cokelatnya,” jawabnya sambil melangkah pergi.
Adrian tertegun. Nafasnya tercekat.
“Apa? Siapa tadi kamu bilang?” tanyanya buru-buru sambil mengejar Sienna. “Tante... Eliana?”
Sienna mengangguk polos. “Iya. Tante yang tadi lewat. Yang pakai baju hitam dan hijab panjang itu.”
Adrian berdiri mematung. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Napasnya memburu.
Wanita itu memang Eliana. Bukan sekadar kemiripan. Bukan bayangan masa lalu. Tapi benar-benar Eliana. Eliana yang dulu ia jadikan bahan taruhan, Eliana yang dulu ia kecam sebagai wanita cupu dan kumal, kini berdiri tepat di hadapannya. Dan ia .... terlihat jauh berbeda.
Setelah semalaman menyisir setiap sudut kamar, membongkar laci, bahkan memeriksa kolong ranjang dan sela-sela lemari, liontin itu tetap tak ditemukan. Mata Eliana tampak sayu pagi harinya, namun ia tetap turun ke ruang makan seperti biasa.Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ia bertanya, "Melani... Apa kau melihat liontin milikku?”Melani yang sedang mengoleskan selai ke roti hanya menggeleng santai. “Nggak, aku nggak lihat. Memangnya hilang?”Eliana mengangguk samar.Melani menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki. “Mbok Inah!” panggilnya. Sang pembantu yang lewat pun menghampiri.“Mbok, lihat liontin milik Eliana?"Mbok Inah mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng. “Maaf, Non, Mbok nggak lihat. Mungkin jatuh di kamar?”Sebelum Eliana menjawab, Vio yang duduk di ujung meja ikut menimpali, “Mungkin kamu lupa naruh, El. Bisa aja terlepas waktu tidur.”Eliana hanya menunduk. Tak mungkin ia lupa. Ia tak pernah melepas liontin itu—tidak sedetik pun, bahkan saat tidur.
Selesai fitting, Adrian segera meninggalkan butik, langkahnya terburu-buru, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia membiarkan Lydia, Melani, dan Vio tetap sibuk memilih gaun, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Begitu sampai di luar, ketika hendak membuka pintu mobil, pandangannya tertumbuk pada sosok yang berdiri di tepi jalan. Damar.Adrian berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Bukankah seharusnya Damar sudah pergi bersama Eliana? Kenapa dia masih berdiri di sini, sendirian?Dengan cepat, Adrian berjalan mendekat. “Kak Damar?”Damar menoleh, tersenyum santai begitu melihat Adrian. “Kenapa kamu di sini?” tanya Adrian penasaran.Damar kembali menatap layar ponselnya. “Nunggu kolega. Ada urusan kerjaan yang ingin dibicarakan."Adrian menatap sekeliling dengan cepat, matanya mencari sosok Eliana di antara orang-orang yang berlalu lalang. “Eliana mana? Bukankah seharusnya dia pergi bareng Kak Damar?” “Eliana hanya bilang ada urusan dan menolak aku antar."Adrian hanya me
“Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“
SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan
“Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam
Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen