Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi.
"Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk dengan santai di atas gerobak. "Entahlah, aku terbiasa hidup sendiri." Ren Hui meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. Paman Wang pun tersenyum sementara tangannya dengan cekatan memotong daging dan iga babi. "Ini untukmu!" Kemudian dia menyerahkan sepotong besar daging dan beberapa potong iga babi pada Ren Hui. "Aiyo, aku tidak memiliki uang, Paman." Ren Hui tersenyum kecut, tidak segera menerimanya. "Sudahlah, ambil saja. Anggap aku membayar arakmu waktu itu." Paman Wang menyorongkan daging dan tulang iga yang telah diikat rapi ke tangan Ren Hui. "Baiklah kalau begitu, Paman." Ren Hui menerimanya dan tersenyum canggung. Meski sejujurnya dia lebih senang jika dibayar dengan uang karena saat ini uangnya sudah semakin menipis. "Paman, aku pergi dulu!" serunya berpamitan dengan riang. Namun, baru saja hendak meninggalkan tempat itu, seorang wanita berdiri di hadapannya dan menatapnya tajam. "Mari, Bibi! Aku harus segera pulang, Baihua telah menungguku." Ren Hui buru-buru menjauh. Khawatir akan mendapatkan masalah karena wanita itu seperti tengah menghadangnya. "Apa kau sudah bayar?" tanya wanita itu saat Ren Hui hendak melewatinya. "Aiyo, Bibi. Paman Wang memberikan ini padaku untuk membayar arak waktu itu." Ren Hui menjelaskan sesuai dengan percakapannya dengan pedagang daging tadi. "Bagaimana bisa begitu? Dia yang hutang arak padamu, kenapa dibayar dengan dagingku?" Wanita mengomel-ngomel. Ren Hui menggaruk-garuk kepalanya dan bergegas pergi meninggalkannya. Dia tidak mau ribut dengan istri Paman Wang yang terkenal bawel dan galak. "Hei kau mau kemana? Kembalikan dagingku!" Wanita itu berteriak kesal padanya dan berkacak pinggang. "Terima kasih Bibi! Jadi hutang Paman Wang padaku hanya tinggal satu guci arak saja ya!" Ren Hui berseru, melangkah dengan santai meninggalkan pedagang daging dan istrinya yang masih mengomel-ngomel. "Dasar Kau, pedagang arak pelit, penyakitan, bujangan tidak laku. Pantas saja tidak ada gadis yang mau denganmu!" Wanita itu terus mengomel-ngomel tidak karuan. "Sudahlah istriku. Kita memang berhutang arak obat padanya. Lagi pula anak gadis kita sembuh setelah meminum araknya." Sementara suaminya sibuk membujuknya. Ren Hui hanya menggelengkan kepalanya dan kembali ke tempat Song Mingyu menunggu. Pemuda itu menatapnya heran. Sedari tadi dia memperhatikan semuanya dan menyadari satu hal, pedagang arak itu sangat perhitungan. "Kau ini," gumamnya saat Ren Hui datang dan memperlihatkan apa yang dibawanya. "Ayo kita pulang! Baihua sudah menunggu!" Ren Hui menepuk pundaknya dan berjalan mendahuluinya. Membiarkan Song Mingyu mendorong gerobaknya sendirian. "Baihua? Apakah istrimu?" tanyanya pelan. "Hei, bukankah kata Bibi tadi kau bujangan tua tidak laku?" Song Mingyu tertawa pelan. Ren Hui menoleh dan menatapnya tajam. Song Mingyu tertegun, tatapan Ren Hui tidak seramah tadi. Bukan sebuah tatapan orang yang tengah marah, lebih menusuk bak pedang tajam. Seketika dia merasa merinding. Namun, tiba-tiba saja pria itu memukul kepalanya. "Jalan saja, jangan banyak bertanya," sahutnya seraya berjalan mendahuluinya. Song Mingyu menyentuh kepalanya yang baru saja dipukul sembari menggerutu kesal. Mereka terus berjalan hingga keluar dari pasar. Menelusuri jalan tanah yang berdebu dan memasuki kawasan desa yang lumayan ramai. "Ren Hui, sepagi ini kau sudah kembali dari pasar?" Seorang pria tua menyapanya dengan ramah. Ren Hui menyahut dengan sopan dan ramah pula. Kemudian ada beberapa penduduk desa yang berpapasan dengan mereka dan juga menyapa serta menanyakan siapa pemuda yang bersamanya. Ren Hui hanya tersenyum, menjawab ala kadarnya dan terus berjalan. Setelah berjalan cukup lama, mereka berdua tiba di sebuah padang rumput di tepi sungai yang jernih. Nampak sebuah rumah yang berdiri di tengah padang rumput sepi itu. Song Mingyu terkejut melihat rumah yang menurutnya cukup aneh. Rumah itu beroda dan cukup besar, tampak seperti bisa berpindah tempat kapan saja. Empat ekor kuda tengah merumput di bawah pohon willow di tepi sungai. Tiba-tiba, seekor rubah berbulu putih berlari menyambut Ren Hui dengan gembira. "Baihua, lihat apa yang kubawakan untukmu?" Ren Hui tertawa dan menepuk-nepuk kepala rubah putih itu dengan lembut. "Ini rumahku," kata Ren Hui menunjuk dan menaiki tangga rumah beroda itu. "Dan dia teman setiaku, Baihua." Ren Hui menggerakkan jarinya dan berdecak pelan, membiarkan rubah putih mengikuti dirinya. Song Mingyu masih terpesona dengan rumah beroda itu. "Rumah ini... bisa bergerak?" tanyanya dengan mata berbinar. Dia tidak segera mengikuti Ren Hui masuk ke dalam rumah beroda itu. Ren Hui tertawa kecil. "Ya, rumah ini bisa berpindah tempat. Aku suka berkelana, jadi rumah ini sangat cocok untukku." Song Mingyu tersenyum, merasa semakin kagum dengan Ren Hui. "Kau benar-benar hidup bebas! Tidak salah rasanya jika dewa mempertemukan kita." Pemuda itu tertawa kemudian menyusul menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah beroda milik Ren Hui. "Dewa? Bukannya karena kau berhutang padaku?" Ren Hui tersenyum tipis. Dia meletakkan daging babi dari pedagang daging tadi ke dalam sebuah bejana dan mengambil air dari tong kayu untuk mencucinya. "Aiyo, anggap saja itu cara dewa mempertemukan kita." Song Mingyu tersenyum canggung. Ren Hui hanya menggedikkan bahunya dan kembali sibuk dengan daging babi dan tulang-tulang iga tadi.Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai