“Bagaimana perhiasan baru yang aku kirimkan pagi ini?”Suara itu tenang. Lembut. Memanjakan, tetapi tidak menyenangkan bagi Jiali.Pantas bila Jiali enggan menanggapi. Ia memilih untuk menatap meja kamarnya yang kini dipenuhi kotak-kotak perhiasan berukir emas, permata merah delima, liontin terbuat dari giok langka. Perhiasan istimewa untuk permaisuri yang dianggap hinaan untuk tawanan. Yunqin sudah masuk sepenuhnya. “Tidak menyukainya?” tanyanya lagi mendekati Jiali yang duduk di sisi ranjang.“Hamba tidak bisa memakainya,” jawab Jiali pelan, “hamba rasa tidak perlu memakai itu semua … untuk berdiam diri di kamar.”Yunqin tertawa kecil. “Apa kau bosan? Aku akan menemanimu berjalan-jalan ke taman istana.”“Tidak perlu.”“Aku mengirimkan semua ini agar kau tahu betapa berharganya dirimu kini. Tidak ada wanita di negeri ini yang bisa menandingimu, Jiali.”Jiali tidak menjawab. Semua kata yang keluar dari bibir Yunqin … menjijikkan.Yunqin memandangi wajah Jiali. “Kau mau kita pergi k
“Aku … tidak bisa diam,” desis Yuwen menoleh ke arah Xiumei. “Sekarang … dia benar-benar sendirian! Tanpaku, tanpa ayahnya, tanpa Xiumei!”“Yang Mulia, harap redakan amarah Yang Mulia,” mohon Menteri Xi membungkuk.Yuwen menarik kerah zirah sang menteri. “Kalau satu helai rambut Jiali jatuh atau tubuhnya disentuh Yunqin,” gumamnya, “akan kubakar seluruh istana.”“Kalau itu terjadi, aku akan membantumu menyiapkan obor.”Yuwen menoleh lalu melepaskan cengkeramannya pada Menteri Xi. Qilan mendekat, jubahnya tampak basah. Senyumnya mengembang sempurna ketika ia melangkah di antara keduanya.“Kalau kau mati sekarang, anakmu tidak akan memiliki ayah. Sia-sia sudah pengorbanan Jiali. Yuwen-ge, saat ini kau tidak punya apa-apa.”Yuwen ingin bicara, tetapi Qilan mendekatinya. Qilan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, tidak terlewat satu senti pun.“Terluka. Dibuang istana. Tidak memiliki gelar. Tidak memiliki tentara atau …. senjata.” Qilan menunjuk kaki Yuwen. “Bahkan kau tidak punya k
Ruangan pengap itu kini menjadi ruang penuh kepanikan serta putus asa. Qiongshing mendekap erat Yuwen, sementara Dunrui juga para pelayan menutup hidung dan mulut dengan kain seadanya.“Kita akan … mati terpanggang di sini,” lirih salah satu pelayan.“Tidak! Pasti ada jalan!” seru Dunrui berusaha menenangkan hatinya sendiri. Yuwen mengurai dekapan Qiongshing. Meski lututnya gemetar, ia coba bangkit. Pandangannya menatap ke tiap-tiap orang lalu berjalan menuju pintu.“Aku … belum mencoba,” ucapnya pelan di sela batuk. “Yunqin … tidak bisa membunuhku.”Jalan keluar sudah di depan mata. Yuwen yakin bisa mendobrak pintu itu. Yuwen menyiapkan kuda-kuda lalu tiba-tiba ….Pintu kayu kapal terhantam dari luar.Serentak semua orang menoleh.Hantaman kedua menyusul. Api mulai menjalar ke atap, serpihan bara beterbangan. Yuwen mundur beberapa langkahLalu … hantaman terakhir Pintu itu terbuka!Asap menguar keluar. Yuwen menyipitkan mata. Dari celah kabut hitam itu muncullah dua siluet. Yuwen
“Tolong! Ada asap! Buka pintunya!” jerit salah salah satu pelayan pria yang segera maju menendang pintu.Asap semakin tebal. Yuwen mundur beberapa langkah. Ia hanya bisa menatap para pelayan pria yang coba mendobrak pintu.Qiongshing cepat mendekati Yuwen, ia coba menopang tubuh putranya yang tampak mulai lemas karena napasnya makin pendek.“Tuan Han! Yang Mulia!” seru seorang pelayan lain, “kami tidak bisa mendobraknya!”Han Dunrui ikut mendorong. “Buka!! Siapapun di luar sana! Buka pintunya!!!”Tidak ada jawaban.Asap telah membanjiri ruangan. Cahaya obor berkedip, nyaris tidak terlihat. Semua orang mulai terbatuk-batuk , lebih keras. Mereka mulai berebut udara bersih yang nyaris sirna.Qiongshing menutupi hidung Yuwen dengan lengan bajunya, berusaha kuat tidak peduli keselamatannya sendiri.“Kita harus keluar!” teriak pelayan wanita panik.Yuwen menggertakkan gigi. Matanya menatap ke seliling yang dipenuhi asap. “Jendela? Cari jendela atau kayu yang bisa dibongkar! Kita harus menge
Gaun pengantin yang tadi dikenakannya kini tergantung diam di balik tirai. Angin malam membuat kainnya berkibar pelan, menciptakan ilusi seolah pakaian itu bernapas. Jiali berdiri di depan cermin besar yang menyudut ke arah jendela. Cahaya bulan memantul di permukaan kaca, menyoroti siluet perempuan yang kini tidak memiliki apa-apa. Ia menggigit bibir bawahnya. Napas tercekat. Matanya memanas, tetapi Jiali tidak menangis. Tidak boleh. Ketukan lembut di pintu, disusul suara pelayan terdengar, “Yang Mulia Kaisar hendak masuk.” Jiali merapikan kerah jubah tipis yang ia kenakan lalu menoleh ke arah pintu. “Silakan masuk.” Pintu terbuka. Yunqin melangkah masuk tanpa tergesa. Ia mengenakan jubah malam berwarna gelap, rambut panjangnya disisir rapi. “Kau belum tidur?” tanyanya berusaha menyembunyikan kecewa karena ia belum bisa menikmati malam pengantin bersama. Jiali menunduk sedikit. “Belum, Yang Mulia.” “Aku harap malam ini tidak terasa berat. Semua orang memujimu hari ini. Perma
Meski langkah kakinya terantuk-terantuk di lorong batu yang licin. Ujung gaunnya basah, napasnya memburu, dan kedua tangannya tidak henti meremas erat sisi tubuhnya. Xiumei tidak akan berhenti. Di depan ruang tahanan, dua penjaga menatapnya. “Ampun ... tolong ... izinkan hamba masuk,” mohonnya setengah terisak. Kedua penjaga saling berpandangan. Salah satunya mengangguk lalu membuka pintu. Angin lembap dari dalam menyeruak. "Terima kasih, Tuan." Xiumei melangkah masuk. Suasana lengang menyambutnya. Ia mengedarkan pandangan pada ruangan yang telah kosong. “Mereka semua sudah dibawa keluar,” ungkap salah satu penjaga yang membuat Xiumei kembali menoleh. “Tidak!” Xiumei melangkah makin dalam. Ia menyusuri lorong-lorong yang masih menyimpan bau obat serta darah, sampai akhirnya berhenti tepat di depan sel tempat Yuwen biasa ditahan. Tangan kecilnya menggenggam jeruji yang dingin. Masih ada noda darah yang tertinggal di lantai, tetapi tubuh itu … tidak lagi di sana. Mereka su