“Apa kau ingin aku yang berjalan ke sana?”Jiali mengerjapkan mata. Tawaran Yuwen jelas adalah satu sindiran halus untuknya agar cepat masuk. Yuwen tidak akan sudi menghampiri Jiali terlebih dahulu.“Tidak perlu,” jawab Jiali lalu masuk.Sejenak pandangannya terfokus pada Hui Fen. "Pergilah, aku ingin bicara berdua saja dengan suamiku. Satu lagi, tunggu aku di paviliunmu. Aku ingin bicara denganmu."Hui Fen menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya.”Setelah Hui Fen pergi, Jiali mengikuti langkahnya sampai pintu, lantas menutup pintu lalu berbalik kembali menghampiri Yuwen. "Kenapa ibumu melakukan ini?" tanya Jiali tanpa berbasa-basi.Yuwen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, pertanyaanmu langsung ke sumber masalah. Kau pasti sudah mendengar berita tentang Hui Fen. Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu sebagai kepala karesidenan, atau sebagai suamimu?"“Kau takut berjauhan dengan Hui Fen bukan? Kau cemas wanita yang bisa kau gilir setiap malam berkurang bukan?”
Langit Hangzi mendung sejak pagi. Matahari hanya sempat menyibak kabut tipis sebentar sebelum akhirnya kembali sembunyi di balik awan kelabu. Udara di dalam karesidenan terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim semi yang belum reda, melainkan karena keheningan yang terus menguar di tiap sudut.Di ruangan dalam, Kaisar Tao duduk sendirian cukup lama sebelum meminta Kasim Hong Li memanggil Yuwen. Satu-satunya suara hanyalah detak jam air dan desau angin yang menyelinap dari celah kayu jendela. Cawan teh di tangannya sudah dua kali diganti oleh pelayan, tetapi belum sekalipun ia teguk. Kaisar Tao cemas.Ia mengangkat cawan itu lagi. Menatap permukaan airnya yang tenang, lalu menggoyangnya pelan hingga muncul riak. Seolah berharap ada jawaban tersembunyi di dalam pusaran kecil itu.“Tak ada jalan mudah untuk seorang ayah,” gumamnya sendiri.Di benaknya masih tergambar jelas wajah Yuwen saat kecil—anak yang selalu diam, tetapi menyimpan nyala tajam di balik sorot matany
Langit di luar telah gulita. Sesekali suara angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela membuat lilin di sudut kamar kadang merunduk, nyalanya kecil dan bergoyang pelan. Yuwen membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Pakaiannya masih rapi, hanya jubah luarnya yang ia tanggalkan sebelum masuk. Matanya menyapu ruangan sebentar, lalu berhenti pada sosok yang duduk miring hampir membelakangi ranjang, diam, membisu.“Sudah larut,” ucap Yuwen akhirnya. Suaranya lebih pelan, mengandung lelah yang tak bisa ditutupi.Jiali tetap tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Dari sini, Yuwen tidak bisa melihat wajah istrinya. Yuwen meletakkan sabuknya di meja. “Apa terjadi sesuatu?” tebaknya. Jiali masih diam. “Aku kira malam ini kita bisa tidur tenang tanpa bertengkar,” lanjutnya.Meski masih dalam posisi yang sama, akhirnya Jiali bersuara. “Kalau kau ingin ketenangan, kenapa tidak langsung saja ke paviliun Hui Fen?” ucapnya ringan, datar, tetapi terasa seperti serpihan es yang dilemparkan tep
Sinar matahari merambat pelan di sela tirai tipis, menerangi wajah Jiali yang sedari tadi tersenyum-senyum tanpa alasan jelas. Xiumei, yang sedang menyematkan jepit kecil di rambut pendek nyonya muda itu, penasaran, tetapi ikut bahagia."Sepertinya semalam, Nyonya bermimpi indah," godanya sambil menata rambut Jiali dengan hati-hati.Jiali menggeleng pelan, masih menyunggingkan senyum. "Bukan mimpi. Ini lebih baik dari sekadar mimpi.”Xiumei menyipitkan mata curiga. "Apa karena sekarang Nyonya sudah jadi satu-satunya wanita Yang Mulia?" tanyanya lagi.Senyum Jiali perlahan memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Xiumei, aku sampai lupa tentang Hui Fen. Bukankah rombongan belum meninggalkan karesidenan?”Xiumei mengangguk. “Iya, Nyonya.”Tanpa berkata lebih banyak, Jiali bangkit dari kursi rias dan berjalan ke lemari pakaian. Di dalam tumpukan kain halus, ia menarik keluar sebuah kotak kecil yang terbungkus kain biru. Kotak itu ia dekap sejenak sebelum melangkah keluar kamar
“Benar-benar sudah pergi,” gumamnya.Yuwen mengangguk. “Akhirnya.”Embusan angin pagi mengibaskan ujung jubah dan rambut yang tergerai. Di pelataran utama karesidenan, Jiali berdiri di sisi Yuwen, keduanya diam-diam melambaikan tangan ke arah rombongan kekaisaran yang mulai menjauh, debu lembut mengepul dari roda kereta kuda yang berderak perlahan.Di kejauhan, warna-warni pakaian istana tampak mengecil, lalu menghilang di balik gerbang utama. Jiali baru menurunkan tangannya setelah rombongan benar-benar lenyap dari pandangan lalu menarik napas pelan.“Apa kau lega?” tanya Yuwen perlahan, menoleh pada Jiali.Jiali menatap lurus ke depan. “Entahlah, aku tidak tahu.”“Mulai malam ini, aku akan kembali ke kamarku malam ini. Setelah beberapa hari terakhir, kau pasti butuh tidur yang tenang,” ucap Yuwen.Jiali menoleh cepat, terdiam sejenak kemudian menyaut, “Ya, baiklah.”Yuwen menatap sejenak wajah Jiali lalu tersenyum samar. Jiali balas mengangguk kemudian pergi meninggalkan Yuwen sendi
Yuwen menatap para prajurit yang berlatih di aula. Semuanya harus disiapkan lebih serius. Hari-hari yang berlalu sejak kepulangan rombongan kekaisaran terasa makin menegangkan.Rumor tentang rencana gila Yunqin bisa terwujud bila didukung penuh oleh Wei Junsu. Ini berbahaya.“Yang Mulia.”Yuwen melirik Yu Yong yang datang kemudian memberi hormat padanya. “Katakan. Bagaimana kondisi di perbatasan?”“Sudah beberapa petang, tidak ada yang mencurigakan. Perompak yang beberapa waktu lalu terlihat mendekati perbatasan kembali ke pegunungan.”Yuwen diam sesaat. “Meski begitu, kita tidak boleh lengah. Terlebih Hangzi belum memiliki bupati baru.”“Yang Mulia, apa sebaiknya kita menambah penjagaan di sekitar karesidenan khususnya paviliun nyonya?”Kali ini Yuwen memberikan perhatian penuh pada Yu Yong dengan berbalik menatapnya. “Apa yang menjadi pertimbanganmu Yu Yong? Katakanlah.”“Beberapa waktu belakangan, kita tidak selalu bersama dengan Nyonya. Urusan pemerintahan masih berada di bawah ta
“Tidak ingin berurusan dengan istana? Hah! Apa dia lupa kalau dia adalah anak dari kaisar!” Jiali mengusap lehernya. Ia masih ingat dingin pedang yang Yuwen tempelkan di sana. “apa aku gila karena lupa kalau dia sangat menyebalkan?” gerutu Jiali sembari mondar-mandir.Xiumei menarik lengan Jiali, membimbingnya duduk lantas menuangkan air untuk majikan tersayangnya. “Tenang, Nyonya. Yang Mulia tidak begitu.”Cepat Jiali menusuk Xiumei dengan tatapannya. “Terus saja kau bela dia! Kau buta? Kau sendiri lihat apa yang sudah dia lakukan padaku!“Nyonya, tentu saja semua akan tersinggung bila menyebut ibu mereka begitu.”“Ya, aku tahu aku salah, tapi dia yang keterlaluan!”“Nyonya, bagi Yang Mulia, Nyonya adalah wanita satu-satunya, paling berharga, paling istimewa.”Mendengar Xiumei begitu menegaskan kata “paling” di setiap ucapannya, Jiali malah curiga. “Apa yang dia janjikan sampai kau terus membelanya?”Xiumei menggeleng. “Nyonya, meski Yang Mulia pernah mempunyai empat selir, tetapi h
Yu Yong diam mengamati Yuwen yang sudah seminggu ini memiliki aktivitas baru, yaitu duduk diam sembari menatap jepit rambut logam. Yu Yong yakin pemilik jepit rambut logam itu tak lain adalah Han Jiali. Ekspresi aneh dari wajah Yuwen membuat Yu Yong penasaran.“Yang Mulia.” Yuwen mengangkat sedikit tatapannya. “Aula berlatih sudah siap. Apa kita bisa memulai pelatihan untuk para dayang?”Yuwen menyelipkan jepit rambut logam ke dalam kantung di balik pakaiannya lalu bangkit. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” ucapnya yang kemudian pergi setelah menepuk pundak Yu Yong.Kaki Yuwen melangkah menuju gazebo yang berada tepat di depan paviliun Jiali. Langkahnya terhenti tepat di tengah jembatan yang melengkung. Yuwen menarik napas dalam-dalam lalu menatap puluhan bunga teratai yang merekah di bawah jembatan.Seharusnya Yuwen tidak terusik oleh ucapan Jiali. Cinta yang Jiali sebutkan memang tidak pernah Yuwen pikirkan. Baginya cinta adalah sebuah malapetaka. Penyebab kekacauan pada keluarg
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja
Langit belum sepenuhnya gelap ketika Yuwen kembali ke kediaman keluarga Han. Jejak langkahnya terlihat cepat, seolah berharap dirinya sampai sebelum semuanya terlambat.Begitu melewati lorong panjang menuju kamar Jiali, pandangannya langsung tertarik pada sosok di kejauhan. Istrinya tampak duduk sendiri di dalam gajebo yang terletak di tengah taman kecil, dikelilingi semak dan pohon-pohon muda yang sedang merekah. Bahunya merunduk, dan dari tempatnya berdiri, Yuwen bisa melihat betapa kosongnya sorot mata Jiali. Ia tidak pernah melihat Jiali seperti itu sebelumnya. Yuwen hendak kembali melangkah, tetapi lengannya ditarik oleh seseorang. Yuwen menoleh.“Jangan dekati dia dulu,” ujar Dunrui.Ayah mertuanya berdiri di sisinya, pandangannya lurus ke arah gajebo. Di belakangnya, Xiumei berdiri menunduk, membawa baki berisi mangkuk kecil dan semangkuk bubur hangat yang mulai kehilangan uap.“Dia baru kembali tadi sore. Tak bilang apa-apa soal ke mana perginya,” lanjut Dunrui pelan, sepert
“Yang Mulia, kamar sudah disiapkan. Yang Mulia sudah bisa beristirahat,” ujar Yu Yong yang muncul dari arah selatan kediaman Keluarga Han.Yuwen tidak menjawab, hanya mengangkat dagu ke arah kursi kosong di depannya. “Duduklah. Temani aku minum.”Tanpa banyak tanya, Yu Yong duduk. Yuwen mengambil cawan kosong dan menuangkannya penuh, lalu dengan tenang mengisi cawan miliknya yang nyaris kering.“Katanya malam ini, aku tidak memiliki Istri,” lanjut Yuwen sambil menatap permukaan arak.“Yang Mulia, hamba dengar dari Xiumei, Nyonya menyukai—”“Sebaiknya kau tidak menikah,” potong Yuwen memutar cawan di jemari lantas meneguk isinya hingga tak bersisa.“Mohon ampun Yang Mulia, tapi hba rasa sepertinya lebih baik Yang Mulia mulai membujuk nyonya,” sarannya.Yuwen memiringkan kepala, menatap Yu Yong dengan mata setengah menyipit lalu tertawa pelan. “Aku? Membujuknya?”Yu Yong terdiam. Belakangan ini, Yu Yong lega karena sepertinya Yuwen mulai membuka diri. Meskipun Yuwen masih mencurigai Jia
Semua orang waspada ketika sosok berpakaian hitam melompat turun dari plafon lalu mendarat tanpa suara di depan mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng kain hitam yang hanya menyisakan sorot matanya saja.Yu Yong langsung melangkah maju. Pedangnya dicabut ketika lelaki bertopeng itu mengangkat tangan lantas melepas penutup wajahnya.Topeng hitam itu jatuh ke lantai. Semua terdiam.Jiali membeku seolah seluruh dunia berhenti berputar.“Yuwen?” bisiknya nyaris tak terdengar.Mata mereka bertemu. Tak ada senyum dan tentu saja akan ada yang menuntut penjelasan pada akhirnya. Yuwen menyapu pandangannya ke seluruh ruangan sebelum berhenti pada Qilan sementara Qilan maju mendekat lantas tersenyum. “Baiklah, aku rasa semua sudah lengkap. Jadi, mari ikut aku.”Mei Qilan berbalik pergi meninggalkan keheningan canggung. Tak seorang pun bergerak, hingga akhirnya Yuwen mendahului langkah, menyusulnya tanpa berkata sepatah kata pun.Jiali menatap punggung suaminya yang menjauh, dadanya sesak
“Untuk apa dia menyimpan belati itu? Apa bagusnya? Menyebalkan!”Xiumei yang sedang menyisir rambut tuannya, menahan senyum gugup. “Penarinya ... memang memukau, Nyonya. Mungkin Yang Mulia ingin menghargai sebuah karya seni dengan menyimpan satu kenang-kenangan.”Jiali mendengus. “Menghargai karya seni? Kenang-kenangan? Seharusnya dia memuji musikus, bukan menerima pemberian dari wanita bercadar yang menari ingin menggoda dia!”Xiumei mengatupkan mulut, sadar jawaban itu bukan untuk dibantah.“Kita mungkin akan tinggal lebih lama di ibu kota,” ucap Yuwen yang masuk tiba-tiba ke kamar Jiali lalu melepas jubah luar dan memberikannya pada Yu Yong yang mengekor di belakangnya. “ada beberapa hal yang ingin aku cari tahu,” sambungnya.“Apa? Tentang penari itu?”Yuwen tak langsung menjawab. Ia menatap Jiali lalu berjalan mendekat kemudian duduk di sisi tempat duduknya. “Aku belum sempat mengatakan apa-apa, tapi kau merasa ada yang aneh darinya juga, kan?”Jiali menyilangkan tangan di dada, m
“Kalian gagal dan masih berani ingin bertemu aku?”Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambut panjangnya dikepang rapi, dengan beberapa helai tergerai menggoda. Balutan pakaian hitam pas badan menonjolkan sisi menggoda yang ia milik. Parasnya terbilang secantik para bidadari dengan tatapan tajam juga tegas. Dikenal sebagai wanita yang bergerak seperti angin dan lihai memainkan pedang. Dialah Mei Qilan. “Aku sudah memperingatkanmu, Putri Sun,” ucapnya, “targetmu bukan wanita biasa. Dia adalah istri dari jenderal perang, pangeran kedua kerajaan ini. Kau pikir seseorang seperti itu akan mudah dijatuhkan?”Li Wei mengepalkan tangan, nadinya tampak berdenyut marah. “Aku membayarmu untuk menyelesaikan masalahku!”Qilan tersenyum tipis. “Kau membayar untuk keahlian kami, bukan untuk keajaiban. Kami bukan dewa.”Li Wei hendak membentak lagi, tetapi Qilan mengangkat satu jari. Gerakannya tenang, penuh peringatan.“Satu hal yang perlu kau pahami, Putri,” lanjutnya. “kami bukan or
Langit mulai dibalut warna jingga. Cahaya senja memantul di permukaan air. Berkilau indah seperti sutra emas.Jiali melemparkan kerikil ke danau, menimbulkan riak kecil yang perlahan menghilang.“Sudah puas mengerjaiku seharian penuh?”Jiali terkekeh. “Hari ini menyenangkan sekali,” jawabnya. “Kau suka?”Jiali mengangguk-angguk sambil menguap lebar, matanya berair. “Ya, kita harus melakukannya lagi nanti,” jawabnya lagi.Yuwen tersenyum kecil lalu mengusap kepala Jiali dengan lembut. “Ayo pulang. Kau sudah mengantuk.”Jiali menyandarkan kepala di bahu Yuwen lalu memejamkan mata. “Tunggu sebentar lagi,” bisiknya, suaranya mengantuk. “Aku suka ketenangan seperti ini. Berdua saja denganmu.”Mata Yuwen cepat menangkap kilat di ujung danau. Suara desau anak panah melesat cepat. Beruntung Yuwen sigap menarik Jiali kepelukan lantas berguling ke sebelah kiri.Kantuk Jiali lenyap ketika ia melihat anak panah menancap di tanah tempatnya tadi duduk.Yuwen bangkit, memicingkan mata. Meski dari j