Begitu pintu kamar tertutup. Perlahan Yuwen menurunkan Jiali di sisi tempat tidur. Jiali masih terdiam, pipinya memerah, tak berani menatap langsung ke arahnya.Tanpa membuang waktu, Yuwen menoleh ke arah Yu Yong. “Apa kau memperhatikan, apakah Qilan sudah kembali ke kamarnya?”Yu Yong langsung mengangguk. “Sudah, Yang Mulia. Nona Qilan mengintip sebentar dari teras lalu kembali masuk.”Yuwen mengangguk tenang. Matanya lalu beralih pada Xiumei. “Berikan padaku jubah biru tua itu.”Xiumei buru-buru menyerahkan kotak berisi jubah yang sempat diangkat Jiali di halaman tadi. Yuwen menerimanya tanpa bicara. Baru saja ia berbalik hendak melangkah keluar, tangan Jiali terulur, menahan lengannya.“Yuwen.”Langkah Yuwen terhenti. Ia menoleh, menatap Jiali yang kini menggenggam ujung lengannya dengan ragu-ragu. Ada kilat bingung di mata Jiali. Ingin bicara, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Yuwen tersenyum kecil. “Bukankah katamu ini masih terlalu pagi untuk melakukan hal itu?”Jiali men
Jiali menopang dagu di tepi meja, pandangannya menerobos jendela yang menghadap taman kecil. "Membosankan sekali," gumamnya kemudian menarik napas panjang.Xiumei yang berdiri di belakangnya langsung menimpali, "Apa Nyonya mau cemilan? Aku bisa ambilkan kue ketan atau irisan manisan buah dari dapur."Jiali menoleh setengah, alisnya terangkat heran. "Kau selalu menawariku makanan. Apa kau sedang merencanakan sesuatu? Mau membuatku gendut, ya?"Xiumei terkekeh, tangannya tetap memijat lembut bahu Jiali. "Kalau Nyonya jadi sedikit lebih berisi pun tetap cantik. Lagipula, Yang Mulia pasti senang melihat Nyonya makan dengan lahap."Belum sempat Jiali membalas, suara penjaga terdengar dari luar pintu."Yang Mulia Pangeran Kedua telah tiba!"Xiumei buru-buru menegakkan tubuhnya, sementara Jiali refleks duduk lebih tegak, tetapi rasa heran terpancar jelas di wajahnya.“Yuwen?” bisik Jiali pelan. “Tadi dia terburu-buru pergi bersama Yu Yong, aku kira dia akan pergi lama.”“Mungkin Yang Mulia m
Terlambat bagi Sun Li Wei untuk pergi ketika Qilan berbalik menatapnya. Bahkan Qilan tersenyum sambil melambaikan tangan. Li Wei mendekat.“Kau mencariku?” tanya Li Wei berusaha tenang.Qilan menoleh ke kiri dan kanan. “Ya, kita berada di paviliunmu. Tentu aku datang mencarimu.”“Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang, Qilan. Temui aku lain waktu.”Qilan maju selangkah, mencondongkan wajahnya ke arah Li Wei. “Oh, tentu. Kalau aku jadi kau, tentu aku kecewa karena rencanamu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Benar, kan?”Li Wei mengerjapkan mata. “Kau—jangan bicara sembarangan!”Senyum Qilan makin lebar. “Ya, kau sudah membenarkan ucapanku, Putri Sun. Dengarlah ini baik-baik karena aku tidak akan memberikan kelonggaran lagi padamu. Jangan berpikir aku ada di pihakmu. Aku tidak ada di pihak siapapun. Aku hanya menginginkan Yuwen-ge. Itu saja. Aku tidak tertarik dengan semua rencanamu untuk melenyapkan istri pertama dari calon suamiku.”Qilan maju lagi selangkah, mendekatkan bibirnya
Aula utama istana dipenuhi ketegangan yang begitu pekat hingga suara napas pun terdengar seperti dentuman. Lentera-lentera diganti dengan pelita bersumbu lebar, memancarkan cahaya kekuningan yang menyorot pilar-pilar batu hingga menimbulkan bayangan panjang yang menari di dinding. Para pejabat berpakaian resmi berdiri di sisi aula, sementara beberapa pengawal berdiri siaga di tiap pintu masuk. Ketegangan dimiliki setiap wajah, tanpa terkecuali.Kaisar Tao pun telah duduk di singgasana. Di bawah sorotan lampu, sorot matanya tajam seperti pedang yang sudah diasah. Ia tak berkata apapun, hanya menatap satu per satu wajah tampak bersiaga bila dipanggil ke tengah aula.Qilan berdiri paling dekat dengan panggung utama. Jubah birunya kini berganti dengan pakaian kasual sutra putih. Noda darah yang tersisa di sudut lengan kirinya sengaja tidak ia sembunyikan. Kepalanya tertunduk, tetapi semua orang tahu isyarat tubuh yang ditunjukkan Qilan tidak mengandung rasa takut.Di sisi lain, Yuwen ber
Suara denting lonceng pengiring kereta klan Mei mulai terdengar mendekat. Pelayan-pelayan berdiri berbaris di sepanjang jalan utama menuju aula penyambutan, lentera-lentera digantung tinggi. Pantulan cahayanya tampak berkilau di permukaan batu dan logam.Permaisuri Agung telah berdiri di ujung tangga utama. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya memperhatikan tiap-tiap wajah di sekitarnya.Di sisi kirinya berdiri Sun Li Wei, sang menantu mengenakan jubah hijau zamrud dengan perhiasan juga mahkota di kepala. Sementara di sisi kanan, sedikit lebih jauh, berdiri Jiali—istri sah Yuwen, wajahnya menyiratkan keteguhan sekaligus ketegangan.Yuwen berdiri setengah langkah di belakang Permaisuri Agung. Mengenakan pakaian kebesaran resmi berwarna gelap, dengan bordir naga hitam di ujung lengan yang selaras dengan Jiali. Sikapnya tetap tenang, nyaris beku, tetapi tatapannya sesekali melirik ke arah Jiali.Kereta utama berhenti tepat di depan tangga. Tirai disibak pelan, dan dari dalam keluar seo
“Sungguh? Aku menyebutnya begitu?” Xiumei mengangguk, “Apa … dia marah?” Kali ini Xiumei tidak berkomentar bahkan tidak memberikan reaksi apa-apa. Jiali mendesah, terdiam sesaat lalu melipat lengan di atas dada. “Ah, sudahlah, dia memang bedebah sialan. Seharusnya dia minta maaf padaku atau setidaknya menjelaskan tentang alasannya dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Qilan. Xiumei, apa kau sudah mencari tahu siapa Mei Qilan?” Xiumei mengangguk kecil. Tangannya bergerak ke sisi pinggang, menarik selembar catatan kecil yang terselip rapi di balik ikat kainnya. Ia membukanya perlahan dan mulai membaca dengan suara pelan, tetapi jelas. "Mei Qilan. Putri dari Klan Meiyang. Klan tua yang dulu dikenal sebagai pelindung utara kekaisaran. Dia adalah perempuan pertama yang diizinkan mengikuti pelatihan militer penuh di keluarga itu, tapi juga yang pertama diusir." Jiali mengangkat dagunya sedikit. "Kenapa?" "Karena dia membentuk kelompok sendiri tanpa izin. Pasukan yang tidak tun
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja