"Ehem!" Wakil kepala yayasan berdehem. Ia lalu menatap Radit dengan tatapan galak.
Perhatian Radit kembali kepada wakil kepala yayasan."Saya dengar kamu bikin onar di lingkungan kampus. Kamu ini mahasiswa jalur prestasi bukan? Kamu ingin beasiswamu dicabut dan dikeluarkan dari sini?" ucapnya dengan intonasi menghakimi.Radit menggeleng cepat. Semula saat membuka pintu dan menemukan sosok pria yang mengaku utusan keluarganya, Radit merasa sedikit lega. Ia berpikir pertolongan akan ia dapatkan lagi. Namun, saat wakil kepala yayasan baru saja memarahinya, pupus harapan Radit untuk dibela."Maafkan saya, Pak. Tapi saya bisa jelaskan. Jadi–""Kamu tahu Tuan Brando kemari karena mendengar berita yang sudah tersebar di luar sana. Kamu membuat citra kampus ini rusak. Saya tidak bisa menerima alasan atau apapun lagi," putus sang wakil yayasan."Ah, jadi namanya Tuan Brando," batin Radit melirik ke arah pria bersetelan jas hitam itu lagi."Hei, Radit! Saya lagi bicara sama kamu, kamu malah memperhatikan yang lain. Kamu dengar tidak?" sentak wakil kepala yayasan."Tapi, Pak. Ini semua juga salah Max, dia yang–""Cukup! Saya memanggilmu untuk mendengar pengakuan dan kata maaf. Setelah itu tanda tangani surat keputusan kamu dikeluarkan," tegas wakil kepala yayasan.Radit menelan salivanya. Ia melirik Tuan Brando yang masih diam saja memperhatikan situasi di dalam sana."Ada apa dengan pria ini. Mengapa dia diam tanpa mau membelaku. Apakah dia sebenarnya kemarin hanya berpura-pura baik?" pikir Radit.Tak lama suara ketukan pintu terdengar. Sosok Max masuk. Dengan wajah arogan dan penuh percaya diri ia masuk lalu duduk tanpa dipersilakan."Jadi bagaimana, Pak? Apakah saya dipanggil untuk menyaksikan dia diberi hukuman setimpal setelah menganiayaku?" tanya Max.Radit menyela, "Aku tidak melukaimu, Max. Kamu yang mengeroyokku hingga aku tak sadarkan diri.""Kau tidak lihat, ini! Wajahku memar karena pukulanmu!" Max menunjukkan wajah kanannya yang terlihat memar.Kening Radit mengernyit. Seketika Radit sadar jika Max sengaja melukai dirinya sendiri untuk memojokkan Radit. Tidak ada gunanya ia membantah, karena wakil yayasan pasti mendukung Max."Kenapa kamu diam? Sekarang bukti sudah ada. Kau dikeluarkan. Aku akan mengirim surat pemberhentian. Kau bisa ambil di bagian administrasi nanti. Berlutut dan meminta maaflah kepada temanmu, Max. Beruntung dia tidak menuntutmu karena ini termasuk tindak pidana. Ck!"Radit mengepalkan tangannya. Ia sama sekali tidak terima mendapatkan hukuman yang tidak ia perbuat. Ia kemudian menoleh kepada Tuan Brando yang masih duduk manis di sofa tamu milik wakil ketua yayasan."Tuan Brando, apakah seseorang yang memiliki pengaruh seperti Anda hanya bisa diam melihat ketidakadilan ini? Mengapa orang kaya selalu menindas orang tidak berdaya sepertiku?" protes RaditMendengar ucapan Radit yang cukup berani kepada Tuan Brando membuat wakil kepala yayasan terkejut. Mimik mukanya mendadak pucat. Ia takut Tuan Brando merasa tersinggung atas tindakan Radit. Ia buru-buru berdiri lalu menarik Radit keluar dari ruangannya."Aduh, lepaskan Pak! Lepas ...!""Anak kurang ajar! Entah bagaimana orang sepertimu bisa diloloskan mendapatkan beasiswa jalur prestasi di kampus elit begini. Keluar dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" usirnya dengan kasar mengeluarkan Radit lalu menutup pintu dengan sedikit keras.Wakil kepala yayasan tersenyum kecut ke arah Tuan Brando yang posisinya kini berdiri. Wajah Tuan Brando menegang. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya."Ma–maafkan atas kelancangan mahasiswa kami. Eehh ... Maksud saya ... Engg ... mantan mahasiswa kami. Saya berjanji akan segera mengeluarkannya dan–""Dia tidak bersalah," potong Tuan Brando."Aa–aapa? Bahkan anak tadi meneriaki Anda. Dia sungguh tidak sopan dan saya minta maaf kepada Anda. Anda pasti merasa tersinggung," ucap wakil kepala tadi.Tuan Brando menghela napas lalu mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atik sebentar dan menaruhnya di atas meja wakil kepala yayasan.Sebuah video sedang diputar. Max dan wakil kepala melongo ke arah meja untuk melihat."Video apa ini? Ini pasti editan!" Wajah Max merah. Ia merasa terjepit. Bukti jelas ada di hadapannya.Wakil kepala yayasan menelan salivanya lalu menatap Tuan Brando dengan wajah pucat pasi. "Ini ada kesalahpahaman," ucapnya grogi."Sudah saya katakan, dia tidak bersalah. Mengapa Anda tidak mau mendengarkan penjelasan anak tadi? Apakah di kampus ini ada sistem tebang pilih?" Alis kiri Tuan Brando naik. Tatapannya menyelidik."Sa–saya tidak tahu kejadiannya seperti ini. Laporannya berbeda," sahut sang wakil kepala yayasan dengan kepala menunduk."Video amatiran, cctv, apakah tidak bisa membuktikan kebenarannya? Saya bisa adukan ini kepada tuan besar. Anda tahu kan, apa yang akan terjadi kepada Anda?"Wakil kepala yayasan langsung berlutut. Ia memegangi kaki Tuan Brando. "Ampun, Tuan. Jangan adukan ini semua. Karir saya bisa hancur. Saya akan mencabut surat pemberhentian saudara Radit," mohonnya.Max merasa terpojokkan sekarang, ia kemudian tetap mencari celah agar Radit tidak lolos."Dia yang lebih dulu mendatangi saya. Dia mengancam karena dia tidak terima saat saya bilang dia mantan narapidana. Bagaimanapun ini kampus tersohor di kota ini, semua orang elit masuk kemari. Bagaimana mungkin kampus menampung mahasiswa mantan narapidana?" tutur Max.Merasa Max ada benarnya, wakil kepala merasa mendapatkan dukungan atas sikapnya mengeluarkan Radit."Benar, Tuan Brando. Anda perlu tahu jika mahasiswa tadi bermasalah. Ia mabuk lalu menabrak seseorang hingga korbannya terluka parah. Anak itu ditahan atas perbuatannya. Bagaimana mungkin kampus diam saja?"Tuan Brando mendekati wajah wakil kepala yayasan. "Anak itu bebas. Artinya dia tidak bersalah.""Tapi–" Masih saja Wakil kepala mau mengelak."Dia bukan orang yang memiliki kekuasaan dan uang, bukan? Kali ini apa kalian mau menuduhnya karena menyogok polisi agar bisa keluar dari penjara?" tebak Tuan Brando."Saya bersamanya di lokasi. Saya saksinya kalau dia yang menabrak." Max masih kekeh dengan ucapannya.Tuan Brando kini beralih menatap tajam ke arah Max."Bagaimana bisa saya mempercayai Anda, sementara tadi Anda berbohong dibuktikan dengan video yang saya punya? Ahhh, barangkali Anda yang menabrak lalu menuduh anak tadi? Ck. Haruskah saya mencari kebenarannya lagi?" Tuan Brando mulai memainkan ponselnya lagi."Aaa ... tidak, tidak! Saya rasa Anda benar. Saya berjanji akan memanggil Radit kembali dan tidak jadi mengeluarkannya dari kampus ini. Tapi, saya mohon ... tolong jangan sampai kasus tado terdengar sampai ke telinga Pak Ketua yayasan," pinta kepala yayasan setengah memohon.Ia melirik ke arah Max yang masih saja berdiri dengan wajah semakin pucat."Ck. Kau memikirkan nasib karirmu tanpa memikirkan nasib mahasiswamu yang masa depannya bisa hancur cuma karena dia bukan siapa-siapa dan bermasalah dengan orang yang lebih kaya.""Dan kamu!" Mata Tuan Brando beralih kepada Max. "Kamu bisa dituntut dipenjara karena kasus pemukulan dan pencemaran nama baik. Saya rasa saya perlu bertemu orang tuamu untuk berdiskusi hukuman apa yang pantas kamu terima setelah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain," ancam Tuan Brando.Kedua orang di hadapan Tuan Brando mulai ketakutan. Masing-masing sibuk memegangi kaki Tuan Brando sambil berlutut meminta belas kasih."Enyahlah kalian berdua sekarang, temui orang yang sudah kalian bikin susah. Minta maaflah dan akui kesalahan kalian masing-masing. Tidak peduli seberapa ramai orang di luar sana. Kalian pantas dipermalukan!" Tuan Brando lantas mencoba melepaskan kakinya dari dua orang itu dengan kasar. Kemudian merapikan pakaiannya lalu pergi dari ruangan itu.Wakil kepala yayasan menatap nelangsa k
Max mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin sekali memukul wajah Radit, tapi dia tidak memiliki keberanian karena disaksikan oleh wakil kepala yayasan."Jangan bermimpi! Kamu hanya sampah bagiku. Kamu pikir kamu bisa berbuat apa kepadaku, hah?" Max balik berbisik pelan. Ia menantang Radit karena merasa ancaman Tuan Brando hanya angin lalu saja. Tidak mungkin masalah tadi membuat ayahnya marah dan membela Radit yang bukan siapa-siapa. Max tahu siapa ayahnya.Radit tersenyum kecut. "Baiklah. Kita lihat nanti. Apakah kita akan diwisuda bersama-sama atau kau yang nyatanya harus keluar dari kampus elit ini," ucap Radit sambil berlalu dengan santai meninggalkan Max yang terdiam mematung."Ck. Sialan! Beraninya dia mengancamku!" decak Max.Baru beberapa langkah Radit beranjak, tak lama suara ponsel Max berbunyi. Di balik ponsel itu terdengar suara pria yang sedang marah besar dan memaki-maki Max. Usai menutup telepon Max buru-buru mengejar Radit dan menarik lengannya."Mau apa lagi? Mau ngajak
Radit ingin segera pulang, tapi motor bututnya mati. Ia pun mengeluarkan kembali ponselnya dan menghubungi nomor Tuan Brando sekali lagi.Tak menunggu lama, Tuan Brando tiba. Ia menyarankan Radit untuk mengobati lukanya terlebih dahulu ke rumah sakit tapi Radit menolaknya. Ia mengkhawatirkan Lucy."Saya ingin segera pulang karena ada hal penting. Tolong urus motor kesayangan saya ini ke bengkel!""Tuan tenang saja. Kalau begitu biar saya antarkan Tuan pulang," sahut Tuan Brando.Radit melirik mobil Rolls Royce yang ada di hadapannya. Ia khawatir jika pulang menggunakan itu, akan banyak pertanyaan yang datang. Akhirnya Radit memutuskan untuk pulang naik taksi saja."Segera saya akan kirim motor Anda jika sudah selesai diperbaiki," ucap Tuan Brando seraya menutupkan pintu taksi.Taksi yang membawa Raditpun langsung melesat ke alamat rumah Tuan Rudy Nasution. Dan benar saja dugaan Radit, mobil yang menyerempetnya tadi ada di muka halaman rumah.Terdengar suara tertawa renyah milik Nyonya
"Ah, tidak mungkin!" reflek Tuan Rudy. "Dit, kamu dapat uang dari mana lagi? Kemarin saja pinjam uang ke temanmu. Sekarang kamu beli motor, hutang lagi?"Belum sempat Radit menjawab, Nyonya Winey memukulinya. "Dasar tidak tahu malu. Aku tahu kamu melakukan ini karena kemarin kan? Kenapa harus menambah beban anakku sih demi gaya-gayaan!!!" pekiknya."Ibu, sudah, Bu! Kasihan Radit!" Lucy mencoba menenangkan ibunya."Apa maksudmu, Winey?" Tanya Tuan Rudi.Pertanyaan Tuan Rudi membuat Nyonya Winey berhenti memukuli menantunya itu. "Kemarin Tuan Kasim meledeknya karena motor bututnya mogok di jalan. Si miskin ini juga menuduh Tuan Kasim menabraknya. Tuan Kasim tidak terima lalu memberikan uang kepada Radit, tapi dia sok menolak dengan mengatakan dia bisa membeli motor baru tanpa uang itu. Heh! Ternyata nekat juga anak ini membeli dengan berhutang!" jelas Nyonya Winey panjang lebar."Apa?" Tuan Rudi yang marah langsung menoyor kepala menantunya. "Kau hilang akal? Harga motor ini sangat mah
Radit membuka matanya perlahan. Sinar lampu menyilaukan matanya. Terdengar sayup suara seseorang memanggil namanya. Hingga kesadarannya sepenuhnya pulih, Radit melihat sosok Tuan Brando ada di sampingnya."Tuan muda sudah sadar?" tanyanya.Radit merasa tenggorokannya kering. Dengan cepat ia mengingat kejadian saat ibunya jatuh dan kepalanya mengeluarkan darah. "Ibu ... Dimana ibuku?" ucapnya dengan suara tercekat."Ibu Anda baik-baik saja. Beliau ada di kamar perawatan di sebelah. Beruntung kami datang tepat waktu sebelum keadaan memburuk."Radit ingat bagaimana ibu kontrakan yang tak punya hati itu membuatnya babak belur dan membuat ibunya terluka parah. Hatinya bergemuruh marah."Mereka mengusir ibuku seperti mengusir seekor lalat. Aku tidak terima," ucap Radit."Anda tenang saja, mereka sudah mendapatkan ganjaran setimpal.""Benarkah? Apa yang Anda lakukan kepada mereka?"Tuan Brando mendekati Radit lalu berbisik perlahan ke telinga Radit. Mata Radit langsung menyalak."Apa?! Memb
Radit menunduk. "Maaf, Bu. Aku tidak bisa melanggar janjiku. Lagi pula aku harus tahu siapa yang menjebakku dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah selama ini terhadap Lucy."Nyonya Yessi memalingkan wajahnya. "Jadi kamu lebih memilih istrimu?""Ibu tahu, wanita yang pertama aku cintai di dalam hidupku adalah dirimu. Bagaimana mungkin aku memilih istriku bukan ibuku? Hanya saja ini bukan soal ibu atau Lucy. Tapi ini tentang harga diriku, Bu.""Baiklah, ibu mengerti hal itu. Tapi bukan berarti kamu akan bertemu kakekmu dan kembali ke keluarga itu kan?"Radit memegang punggung tangan ibunya. "Bu, jangan khawatir. Putramu sudah besar dan bisa menjaga dirinya. Percayalah kepadaku, tidak akan terjadi apapun setelah pertemuanku dengan Tuan Mandala. Lagi pula aku penasaran, kenapa setelah mereka membuangku sekarang mereka membutuhkan keberadaanku. Aku ingin tahu lebih banyak," jelas Radit.Nyonya Yessi mendengkus. Ia melepaskan tangannya dari genggaman putranya. Wajahnya nampak kecewa dan m
"Kenapa terkejut? Kau melakukan hal apa lagi kali ini?""Tidak ada. Kenapa kau menuduhku yang tidak-tidak," sanggah Radit."Sebab kau menghilang.""Soal itu, aku ke rumah ibuku. Di sana ibuku diusir dari kontrakannya. Mau tidak mau aku mengurus ibuku dulu dan mencarikan tempat tinggal untuk beliau. Aku menginap karena ibuku memintaku bersamanya setelah lama tak bertemu," jelas Radit berbohong. Radit memperhatikan ekspresi Lucy. Ia berharap Lucy mempercayainya."Lalu, polisi itu tidak mengatakan apapun?" tanyanya lagi kepada Lucy.Lucy lalu mendorong kursi roda dengan satu tangannya menuju meja rias."Tidak ada. Hanya diberikan surat pemanggilan. Aku tidak berani membukanya karena itu bukan urusanku."Lucy menyerahkan sebuah amplop putih kepada Radit. Radit buru-buru membuka dan membaca isinya. "Oh.""Apanya yang Oh?"Radit menatap Lucy heran. "Apa kau benar-benar mau tau?" goda Radit.Lucy memalingkan wajahnya. "Jawab saja. Setidaknya aku berharap kamu tidak ditangkap lagi atas kasus
Tuan Kasim kemudian berbisik. "Sepertinya kartu saya di blokir. Uang tunai saya tidak cukup," aku Tuan Kasim kepada Tuan Rudy.Tuan Rudy menghela napas. "Saya tidak membawa dompet," sahutnya.Lucy melihat itu lalu memgeluarkan dompetnya. "Biar aku yang bayar!" Melihat Lucy ingin membayar semua tagihan itu, Radit mencegahnya. "Loh, kok jadi kamu yang bayar? Bukankah Tuan Kasim yang awalnya mentraktir kita semua?"Lucy menatap tajam ke arah Tuan Kasim. "Ini tidak percuma. Aku anggap ini hutang yang harus segera ia bayar!" Wajah Tuan Kasim merah menahan malu. Sementara Radit tersenyum meledek. Nyonya Winey dapat melihatnya."Dit! Harusnya kamu sebagai suami yang bayar, bukan malah Lucy. Bagaimana sih?!" cemoohnya."Ibu, sudahlah. Radit kan masih kuliah, belum bekerja," bela Lucy. Ia lalu menyodorkan kartu miliknya kepada pelayan. Bersamaan dengan itu, Radit menyodorkan pula kartu hitam miliknya.Lucy menoleh. Ia kaget bercampur bingung."Ibu mertua benar. Biar kali ini aku yang bayar.