"Ck. Kau memikirkan nasib karirmu tanpa memikirkan nasib mahasiswamu yang masa depannya bisa hancur cuma karena dia bukan siapa-siapa dan bermasalah dengan orang yang lebih kaya."
"Dan kamu!" Mata Tuan Brando beralih kepada Max. "Kamu bisa dituntut dipenjara karena kasus pemukulan dan pencemaran nama baik. Saya rasa saya perlu bertemu orang tuamu untuk berdiskusi hukuman apa yang pantas kamu terima setelah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain," ancam Tuan Brando.Kedua orang di hadapan Tuan Brando mulai ketakutan. Masing-masing sibuk memegangi kaki Tuan Brando sambil berlutut meminta belas kasih."Enyahlah kalian berdua sekarang, temui orang yang sudah kalian bikin susah. Minta maaflah dan akui kesalahan kalian masing-masing. Tidak peduli seberapa ramai orang di luar sana. Kalian pantas dipermalukan!" Tuan Brando lantas mencoba melepaskan kakinya dari dua orang itu dengan kasar. Kemudian merapikan pakaiannya lalu pergi dari ruangan itu.Wakil kepala yayasan menatap nelangsa kepergian Tuan Brando. Sadar seperkian detik, ia lalu menoleh ke arah Max yang masih sejajar membungkuk seperti dirinya lalu memukul kepala mahasiswanya itu dengan kesal."Kau membuatku malu. Awas saja sampai aku diberhentikan. Aku akan membuatmu tidak akan menyandang status sarjana!""Ampun, Pak! Ampun ... tolong jangan beritahu ayahku. Aku bisa dihajar jika terlibat masalah seperti ini," pinta Max dengan pasrah dipukuli wakil yayasan."Apa kamu bilang? Kamu yang membuat masalah, tapi kamu tidak mau menerima konsekuensinya. Kau tidak dengar apa kata Tuan Brando tadi, hah? Orang tuamu akan tahu. Kau bahkan bisa saja dituntut jika orang tuamu tidak mau menghukummu! Sial. Aku bahkan sekarang harus meminta maaf kepada anak ingusan itu sekarang!"Kepala yayasan lalu berdiri. Dengan langkah berat ia harus keluar dari ruangannya dan mencari Radit. Ia berharap Radit belum pergi dari kampus itu. Jika tidak, riwayatnya menjadi wakil kepala yayasan akan tamat hari itu juga.Sementara di tempat lain.Radit masih dengan emosi yang bergejolak di benaknya mencoba menenangkan diri dengan meminum air mineral di kantin kampusnya. Biasanya ia duduk di pojok agar tidak terlihat, kali ini sengaja ia duduk di keramaian. Ia ingin terlihat, setidaknya untuk hari terakhirnya di kampus itu.Baru beberapa tegukan air, ia terkejut melihat sosok Tuan Brando mendekat ke arahnya. Nampaknya sisa emosinya masih ada. Dengan wajah ketus Radit membuang pandangannya."Tuan muda saya minta maaf atas kejadian di ruangan tadi.""Tidak perlu memanggil saya tuan muda. Tidak perlu sok baik dan minta maaf. Tolong jangan ganggu saya lagi," sahut Radit."Saya sudah membereskan semuanya. Saya pastikan Anda akan tetap menyelesaikan pendidikan di sini tanpa hambatan. Mereka juga akan mendapatkan hukuman dari perbuatan mereka."Radit mulai tertarik. Ia lalu melirik ke arah Tuan Brando. "Bagaimana bisa saya percaya sedangkan tadi Anda diam tak membela saya. Saya difitnah dan direndahkan di dalam sana.""Tunggu dan lihat saja." Tuan Brando tersenyum lalu membungkukkan badannya. "Saya permisi. Sampai jumpa lagi, Tuan muda."Radit masih bengong sampai Tuan Brando menghilang dari pandangannya. Ia mulai terpengaruh perkataan Tuan Brando. Ia merasa pria itu tidak mungkin berbohong. Dan benar saja, selisih beberapa menit saat Radit berdiri memutuskan untuk pergi dari kantin, ia melihat wakil kepala berlari-lari ke arahnya. Wajahnya penuh keringat. Napasnya naik turun."Radit! Radit! Ahhh, akhirnya aku menemukanmu," ucapnya dengan nada ngos-ngosan."Anda mencari saya, Pak? Bukankah tadi Anda bilang Anda tidak mau lagi melihat wajah saya?" sindir Radit.Wajah wakil kepala yayasan tak enak tapi mencoba menyembunyikannya dengan senyum palsunya. "Ayolah, jangan ngambek seperti itu kepada saya. Saya mencarimu untuk menyelesaikan masalah yang terjadi," ucapnya sambil mencoba merangkul Radit. Lalu menepuk-nepuk bahu Radit.Radit mengernyit. "Menyelesaikan masalah? Bukankah sudah diputuskan saya dikeluarkan?""Oh tidak! Tidak! Kata siapa, saya tidak mungkin mengeluarkan murid pintar dan hebat sepertimu. Begini ... Sebenarnya tadi hanya salah paham. Saya tidak tahu kebenarannya sampai Tuan Brando menunjukkan sebuah video dimana kamu dipukuli oleh Max dan beberapa orang membantu Max juga. Saya sungguh menyesal dengan keputusan saya yang salah," ucapnya sambil berbisik pelan.Wakil kepala mulai risih karena ramainya kantin saat itu mulai memperhatikannya dengan Radit.Radit mencoba menahan senyum. Ia mengulumnya. Ia kemudian percaya ucapan Tuan Brando. Ternyata dia salah menduga jika pria tua utusan keluarga konglomerat itu hanya diam saja melihatnya ditindas."Saya akui saya tersinggung, Pak. Saya memutuskan untuk berhenti saja dari kampus ini. Semua orang sudah menyalahkan saya padahal bukan salah saya. Saya tidak bisa berada di sini–"Belum selesai ucapan Radit yang berbasa-basi. Wakil kepala yang sedikit panik, ia langsung berlutut di kaki Radit."Saya mohon, tolong jangan keluar dari kampus kami. Saya minta maaf jika membuat keputusan yang salah. Saya berjanji saya akan memberikan hukuman yang berat untuk Max dan juga yang terlibat pengeroyokan." Kedua tangan wakil kepala bertemu dengan wajah memelas.Semua orang yang berada di kantin mulai sibuk bergunjing. Ada juga yang sibuk merekam. Radit tak tega melihat wakil kepala merendah di hadapannya. Bagi Radit, sudah cukup wakil kepala mempermalukan dirinya sendiri di depan publik seperti sekarang."Baiklah, Pak. Saya tidak akan keluar. Saya maafkan.""Benarkah? Kalau begitu, tolong bicara dengan Tuan Brando. Saya rasa kamu mengenalnya. Saya harap kamu bisa membujuk Tuan Brando untuk tidak melaporkan kejadian ini kepada pemilik yayasan. Saya memiliki anak dan istri, saya tidak mungkin menjadi pengangguran," rengeknya."Sebenarnya saya tidak cukup mengenal Tuan Brando. Maaf, saya tidak bisa membantu itu."Radit sadar, permohonan maaf wakil kepala ternyata tidak sungguh-sungguh. Dia merasa tak perlu terlalu bermurah hati. Radit berlalu pergi.Ia berpapasan dengan Max. Pria itu dari tadi berdiri menyaksikan bagaimana wakil kepala yayasan meminta maaf kepada seorang Radit. Radit tersenyum sinis."Ada apa melihatku seperti itu? Apa kamu juga mau berlutut minta maaf?" tanya Radit dengan nada menyindir."A–aku ... aku ...." Max salah tingkah. Ia mulai terbata-bata.Sudut bibir Radit terangkat, ia mendekati Max dan berbisik pelan. "Berlututlah meminta maaf kepadaku, Tuan Max yang terhormat. Aku mau lihat bagaimana aku bisa membalikkan keadaan sekarang."Max mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin sekali memukul wajah Radit, tapi dia tidak memiliki keberanian karena disaksikan oleh wakil kepala yayasan."Jangan bermimpi! Kamu hanya sampah bagiku. Kamu pikir kamu bisa berbuat apa kepadaku, hah?" Max balik berbisik pelan. Ia menantang Radit karena merasa ancaman Tuan Brando hanya angin lalu saja. Tidak mungkin masalah tadi membuat ayahnya marah dan membela Radit yang bukan siapa-siapa. Max tahu siapa ayahnya.Radit tersenyum kecut. "Baiklah. Kita lihat nanti. Apakah kita akan diwisuda bersama-sama atau kau yang nyatanya harus keluar dari kampus elit ini," ucap Radit sambil berlalu dengan santai meninggalkan Max yang terdiam mematung."Ck. Sialan! Beraninya dia mengancamku!" decak Max.Baru beberapa langkah Radit beranjak, tak lama suara ponsel Max berbunyi. Di balik ponsel itu terdengar suara pria yang sedang marah besar dan memaki-maki Max. Usai menutup telepon Max buru-buru mengejar Radit dan menarik lengannya."Mau apa lagi? Mau ngajak
Radit ingin segera pulang, tapi motor bututnya mati. Ia pun mengeluarkan kembali ponselnya dan menghubungi nomor Tuan Brando sekali lagi.Tak menunggu lama, Tuan Brando tiba. Ia menyarankan Radit untuk mengobati lukanya terlebih dahulu ke rumah sakit tapi Radit menolaknya. Ia mengkhawatirkan Lucy."Saya ingin segera pulang karena ada hal penting. Tolong urus motor kesayangan saya ini ke bengkel!""Tuan tenang saja. Kalau begitu biar saya antarkan Tuan pulang," sahut Tuan Brando.Radit melirik mobil Rolls Royce yang ada di hadapannya. Ia khawatir jika pulang menggunakan itu, akan banyak pertanyaan yang datang. Akhirnya Radit memutuskan untuk pulang naik taksi saja."Segera saya akan kirim motor Anda jika sudah selesai diperbaiki," ucap Tuan Brando seraya menutupkan pintu taksi.Taksi yang membawa Raditpun langsung melesat ke alamat rumah Tuan Rudy Nasution. Dan benar saja dugaan Radit, mobil yang menyerempetnya tadi ada di muka halaman rumah.Terdengar suara tertawa renyah milik Nyonya
"Ah, tidak mungkin!" reflek Tuan Rudy. "Dit, kamu dapat uang dari mana lagi? Kemarin saja pinjam uang ke temanmu. Sekarang kamu beli motor, hutang lagi?"Belum sempat Radit menjawab, Nyonya Winey memukulinya. "Dasar tidak tahu malu. Aku tahu kamu melakukan ini karena kemarin kan? Kenapa harus menambah beban anakku sih demi gaya-gayaan!!!" pekiknya."Ibu, sudah, Bu! Kasihan Radit!" Lucy mencoba menenangkan ibunya."Apa maksudmu, Winey?" Tanya Tuan Rudi.Pertanyaan Tuan Rudi membuat Nyonya Winey berhenti memukuli menantunya itu. "Kemarin Tuan Kasim meledeknya karena motor bututnya mogok di jalan. Si miskin ini juga menuduh Tuan Kasim menabraknya. Tuan Kasim tidak terima lalu memberikan uang kepada Radit, tapi dia sok menolak dengan mengatakan dia bisa membeli motor baru tanpa uang itu. Heh! Ternyata nekat juga anak ini membeli dengan berhutang!" jelas Nyonya Winey panjang lebar."Apa?" Tuan Rudi yang marah langsung menoyor kepala menantunya. "Kau hilang akal? Harga motor ini sangat mah
Radit membuka matanya perlahan. Sinar lampu menyilaukan matanya. Terdengar sayup suara seseorang memanggil namanya. Hingga kesadarannya sepenuhnya pulih, Radit melihat sosok Tuan Brando ada di sampingnya."Tuan muda sudah sadar?" tanyanya.Radit merasa tenggorokannya kering. Dengan cepat ia mengingat kejadian saat ibunya jatuh dan kepalanya mengeluarkan darah. "Ibu ... Dimana ibuku?" ucapnya dengan suara tercekat."Ibu Anda baik-baik saja. Beliau ada di kamar perawatan di sebelah. Beruntung kami datang tepat waktu sebelum keadaan memburuk."Radit ingat bagaimana ibu kontrakan yang tak punya hati itu membuatnya babak belur dan membuat ibunya terluka parah. Hatinya bergemuruh marah."Mereka mengusir ibuku seperti mengusir seekor lalat. Aku tidak terima," ucap Radit."Anda tenang saja, mereka sudah mendapatkan ganjaran setimpal.""Benarkah? Apa yang Anda lakukan kepada mereka?"Tuan Brando mendekati Radit lalu berbisik perlahan ke telinga Radit. Mata Radit langsung menyalak."Apa?! Memb
Radit menunduk. "Maaf, Bu. Aku tidak bisa melanggar janjiku. Lagi pula aku harus tahu siapa yang menjebakku dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah selama ini terhadap Lucy."Nyonya Yessi memalingkan wajahnya. "Jadi kamu lebih memilih istrimu?""Ibu tahu, wanita yang pertama aku cintai di dalam hidupku adalah dirimu. Bagaimana mungkin aku memilih istriku bukan ibuku? Hanya saja ini bukan soal ibu atau Lucy. Tapi ini tentang harga diriku, Bu.""Baiklah, ibu mengerti hal itu. Tapi bukan berarti kamu akan bertemu kakekmu dan kembali ke keluarga itu kan?"Radit memegang punggung tangan ibunya. "Bu, jangan khawatir. Putramu sudah besar dan bisa menjaga dirinya. Percayalah kepadaku, tidak akan terjadi apapun setelah pertemuanku dengan Tuan Mandala. Lagi pula aku penasaran, kenapa setelah mereka membuangku sekarang mereka membutuhkan keberadaanku. Aku ingin tahu lebih banyak," jelas Radit.Nyonya Yessi mendengkus. Ia melepaskan tangannya dari genggaman putranya. Wajahnya nampak kecewa dan m
"Kenapa terkejut? Kau melakukan hal apa lagi kali ini?""Tidak ada. Kenapa kau menuduhku yang tidak-tidak," sanggah Radit."Sebab kau menghilang.""Soal itu, aku ke rumah ibuku. Di sana ibuku diusir dari kontrakannya. Mau tidak mau aku mengurus ibuku dulu dan mencarikan tempat tinggal untuk beliau. Aku menginap karena ibuku memintaku bersamanya setelah lama tak bertemu," jelas Radit berbohong. Radit memperhatikan ekspresi Lucy. Ia berharap Lucy mempercayainya."Lalu, polisi itu tidak mengatakan apapun?" tanyanya lagi kepada Lucy.Lucy lalu mendorong kursi roda dengan satu tangannya menuju meja rias."Tidak ada. Hanya diberikan surat pemanggilan. Aku tidak berani membukanya karena itu bukan urusanku."Lucy menyerahkan sebuah amplop putih kepada Radit. Radit buru-buru membuka dan membaca isinya. "Oh.""Apanya yang Oh?"Radit menatap Lucy heran. "Apa kau benar-benar mau tau?" goda Radit.Lucy memalingkan wajahnya. "Jawab saja. Setidaknya aku berharap kamu tidak ditangkap lagi atas kasus
Tuan Kasim kemudian berbisik. "Sepertinya kartu saya di blokir. Uang tunai saya tidak cukup," aku Tuan Kasim kepada Tuan Rudy.Tuan Rudy menghela napas. "Saya tidak membawa dompet," sahutnya.Lucy melihat itu lalu memgeluarkan dompetnya. "Biar aku yang bayar!" Melihat Lucy ingin membayar semua tagihan itu, Radit mencegahnya. "Loh, kok jadi kamu yang bayar? Bukankah Tuan Kasim yang awalnya mentraktir kita semua?"Lucy menatap tajam ke arah Tuan Kasim. "Ini tidak percuma. Aku anggap ini hutang yang harus segera ia bayar!" Wajah Tuan Kasim merah menahan malu. Sementara Radit tersenyum meledek. Nyonya Winey dapat melihatnya."Dit! Harusnya kamu sebagai suami yang bayar, bukan malah Lucy. Bagaimana sih?!" cemoohnya."Ibu, sudahlah. Radit kan masih kuliah, belum bekerja," bela Lucy. Ia lalu menyodorkan kartu miliknya kepada pelayan. Bersamaan dengan itu, Radit menyodorkan pula kartu hitam miliknya.Lucy menoleh. Ia kaget bercampur bingung."Ibu mertua benar. Biar kali ini aku yang bayar.
Nyonya Winey sedikit gelisah saat Tuan Kasim mulai mengancam akan berhenti menjadi investor bisnis suaminya. Dia lalu membujuk Tuan Kasim kembali."Ayolah, jangan gubris ucapan menantuku itu."Nyonya Winey kembali mengarahkan pandangannya kepada Radit."Dit, tidak ada salahnya untuk ikut Tuan Kasim ke perusahaan temannya. Sekalipun OB, Perusahaan Pionir Grup merupakan perusahaan induk terbesar di Asia. Gajinya pasti tidak sedikit." Melihat ibu mertuanya tetap condong kepada Tuan Kasim, Radit tidak ada pilihan selain mengalah dan mengikuti kemauan mertuanya. "Baiklah, aku akan ganti baju dan bersiap-siap."Radit kemudian mencoba menghubungi Tuan Brando. Sebelumnya perusahaan itu terdengar tak asing di telinga Radit. Dia hanya harus memastikan jika benar perusahaan itu bukanlah perusahaan milik keluarga Cakranomoto."Jadi Tuan akan ke kantor?" tanya seseorang di seberang sana."Ya, seseorang mengajakku untuk melihat perusahaan itu. Apakah benar itu milik Keluarga Cakranomoto?" "Ya. T