Share

their stubborn

Author: Djw
last update Huling Na-update: 2023-02-27 07:37:51

“Jangan pernah berdiri di depan meja kasir, dengan penampilan kumuhmu itu! Kau akan membuat semua tamuku kabur!” hardik wanita pemilik kedai makanan dan minuman tradisional korea.

“Ma … maafkan aku, aku ….” belum sempat Ben meneruskan kembali, wanita paruh baya itu sudah memotong pembicaraannya.

“Aish … sudah! Aku tidak ingin mendengar semua alasanmu itu. Sebaiknya kau tunggu di sini, sampai aku kembali,” titah wanita berbaju hanbok.

Ben tidak menjawab dengan perkataan, hanya memberikan sebuah tanda bahwa ia mengerti akan ucapan wanita yang ada di hadapannya, yakni sebuah anggukan kepala.

Wanita paruh baya itu mengangkat kepalanya ke atas sesaat kemudian keluar dari ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya, yakni mengantarkan beberapa makanan dan minuman ke meja tamu.

Sambil menunggu wanita paruh baya, Ben mulai memberanikan diri untuk melihat-lihat apa isi dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang bisa dikatakan cukup luas, yang dipenuhi oleh berbagai bahan baku, seperti gandum, telur, satu karung goni, buah-buahan segar, serta beberapa buah-buahan yang sudah dikeringkan.

Ben sudah mengira, bahwa ruangan ini merupakan ruangan yang cukup penting, semacam ruangan untuk membuat kue. Tak ingin terjadi kesalahan, Ben tak berani memegang apapun di dalam ruangan ini.

Usai menyajikan teh hijau, wanita tua itu kembali ke ruangan berukuran tujuh puluh meter. “Kau ingin pekerjaan dariku? Memangnya keahlian apa yang kau miliki?” tanya Wanita paruh baya dengan suara yang cukup kencang, hingga salah satu anggota tubuh Ben terkena ujung meja yang tajam.

“Ouch … ma … maaf, aku tidak tahu, kalau anda sudah kembali,” jawab pria berusia dua puluh tujuh tahun.

Wanita paruh baya itu mulai melangkahkan kakinya, berjalan memutari Ben. Melihat lebih dalam, apakah Ben bisa diandalkan di kedai miliknya. Baginya masalah penampilan, itu bisa diatur. Yang terpenting adalah, Ben memiliki semangat kerja yang tinggi, mau belajar hal-hal yang baru serta dapat diandalkan.

“Jadi … keahlian apa yang kau miliki?” tanya wanita itu sekali lagi.

“Aku memang tidak memiliki keahlian apapun, tapi aku bisa belajar dengan cepat,” jawab Ben tanpa ragu.

Salah satu alis wanita itu terangkat, saat mendengar jawaban Ben. Untuk saat ini, keputusan yang akan ia ambil adalah masa percobaan selama enam bulan. Jika memang Ben memiliki kinerja yang bagus, maka Ben akan terus bekerja di kedai ini selamanya.

“Baiklah, kau kuterima bekerja, sore ini juga, karena aku tengah kewalahan,” balas wanita tua bersanggul sederhana.

Pancaran kebahagian terlukis di wajahnya, senyuman merekah, dengan mata yang berbinar-binar. Akhirnya satu kata itu ia dapatkan juga dari seorang wanita tua yang baik hati.

Untuk membuktikan bahwa pekerjaan ini begitu berarti untuk dirinya, Ben bergegas mencuci setumpukkan piring dan gelas-gelas kotor.

Meanwhile

Langit semakin gelap, dan semakin larut. Sementara sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam pun, belum terdengar suara langkah kaki Ben kembali ke rumah.

Sejak satu jam yang lalu, Tuan Alexi selalu bolak balik ke kamar kecil, entah itu buang air kecil atau buang air besar. Tak hanya itu, malam ini Tuan Alexi benar-benar tak selera untuk menyantap makan malam yang tersaji di atas meja.

Sampai ketiga anak Tuan Alexi sudah selesai menyantap makan malam pun, Tuan Alexi masih belum juga menyentuh makanannya. khawatir jatuh sakit, Brie pun memberanikan diri membawakan satu porsi bibimbap ke hadapan sang Ayah.

“Ayah … kenapa kau belum juga menyentuh makananmu? Bagaimana kalau aku suapi,” usul Brie.

“Tidak usah Brie. Aku sedang menunggu kakakmu. Nanti, kalau dia pulang, Ayah akan makan bersama kakakmu. kira-kira kemana perginya kakak mu ya? Sampai selarut ini belum pulang juga,” lirih tuan Alexi.

“Mungkin saja kakak perlu mendinginkan perasaan dan kepala dulu. Tapi yah, kalau Brie boleh berpendapat, tidak apa jika kakak mencari pekerjaan lain di luar perkebunan,” ucap Brielle.

Wajah Tuan Alexi yang semula sudah tak berdaya, sedih dan gelisah menunggu kedatangan anak sulungnya, mendadak berubah. Wajahnya kembali menegang, saat sang Putri memberikan usul, agar kakaknya bekerja di luar perkebunan.

Emosi yang semula redup kembali memuncak. Namun, kali ini emosinya tidak sebringas saat bertengkar dengan Ben. Tuan Alexi hanya bisa mengepal kedua tangannya, sembari menundukkan wajahnya yang memerah.

“Brie … belum habis amarahku pada kakakmu, kenapa kau menambahkan lagi rasa kesal ini!” teriak Tuan Alexi.

Teriakan Tuan Alexi kali ini cukup membuat sang putri ketakutan dan mejauh sebanyak lima langkah darinya.

“Kenapa ayah selalu saja keras terhadap kakak? Padahal ayah tahu, bahwa selama ini, kakak lah tulang punggung keluarga. Selain itu, apa ayah tahu mengenai kebutuhanku dan juga adik-adik yang semakin lama semakin banyak. Dan jika hanya mengandalkan upah kakak dari perkebunan sangat-sangat tidak cukup. Belum lagi hutang ayah yang kian menumpuk pada lintah darat,” balas Brie.

Bukannya merenungkan dan mencerna terlebih dahulu ucapan putrinya, tapi Tuan Alexi semakin emosi dan semakin tidak bisa mengontrol amarahnya.

Dibuangnya seluruh benda yang ada di dekatnya, termasuk benda pipih yang berisikan nasi dan lauk-pauknya ke lantai. Setelah itu, ia pergi mendorong roda pada kursi roda menuju halaman depan rumah, meninggalkan Brie sedang menangis tersedu.

Bagi Tuan Alexi, tidak ada satupun anak-anaknya yang memahami akan perasaan kehilangan yang teramat sangat mendalam hingga menimbulkan suatu trauma berlebih. Ia tak ingin, ada seseorang yang mengenal lebih lanjut mengenai keluarganya, terlebih Ben dan Brie.

Tuan Alexi sengaja berada di halaman depan, menunggu kedatangan putra sulungnya. Tak peduli meskipun angin malam ini berhembus dengan kencang.

Hampir dua jam lamanya Tuan Alexi duduk di kursi rodanya yang usang, menghadap ke arah pagar hingga rasa kantuk menghinggapi dirinya. Dan selama itu pula, dirinya tak sadar, jika putra sulungnya yang ia nantikan telah tiba, dan berdiri di hadapannya.

Secara perlahan, tanpa maksud ingin membangunkan ayahnya, Ben berusaha mengangkat tubuh lemah pria paruh baya dari kursi roda. Membawa tubuh lemah sang ayah dengan kedua tangan kekar Ben di depan, menuju kamar tidur ayahnya.

Setelah membaringkan Tuan Alexi di kasur empuknya, Ben kembali keluar kamar, menuju kamarnya. Namun, ia mendapati adik perempuannya tengah duduk menghadap gambar wanita paruh baya dengan muka berlinangan air mata.

Ben pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar tidurnya. Secara perlahan, ia mendekati sang adik dan duduk di sampingnya.

“Kamu habis bertengkar dengan ayah?” tebak Ben.

Brie hanya menjawab pertanyaan kakaknya dengan anggukan kepala, dan sedikit terkejut saat mendengar suara laki-laki yang selalu melindunginya ini sudah berada di sampingnya. Brie mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah samping kanan, tepat dimana Ben sedang duduk.

“Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan suara manja.

“Memangnya kau pikir aku apa? Hantu?” goda Ben.

“Iihh … apaan sih, nggak lucu,” jawab Brie sambil memukul bahu Ben pelan.

Ben memandangi wajah adik perempuannya, mata sembab karena air matanya terus membasahi pipinya. Belum lagi, matanya yang semakin sipit.

“Memangnya kamu kenapa sama ayah? Ada masalah apa?” tanya Ben penasaran.

Brie terpaksa berbohong pada lelaki yang usianya berbeda enam tahun dengannya. Mencoba tersenyum simpul, Brie hanya menjawab, "Tidak. Aku tidak bertengkar dengan ayah. Aku hanya rindu pada ibu. Kira-kira sedang apa ya, ibu di Surga?"

Mendengar jawaban yang menyentuh hatinya, Ben mendekap erat adiknya, dan tak lama ia pun mengecup kening Brie. "Sudah malam, lekas tidur. Besok kamu sekolah kan?" ucap Ben seraya mengalihkan perhatian adiknya agar tak terlihat bahwa dirinya menitikkan air mata dalam diam.

Brie hanya mengangguk pelan. Perasaannya kini sedikit lebih lega. Meskipun harus sedikit berbohong, tapi ini demi menghindari ketegangan antara ayah dan kakaknya.

“Baiklah Brie. Aku masuk kamar terlebih dulu ya. Besok aku bangun lebih pagi dari biasanya,” ucap Ben.

Mendengar ucapan Ben, Brie mengernyitkan keningnya. Karena tidak biasanya kakaknya bangun lebih pagi. Brie berpikir ada yang aneh dengan Ben, karena biasanya dia selalu bangun pukul tujuh pagi, atau saat ketiga adiknya pergi menuntut ilmu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kembalinya sang Ahli Waris   Tanya hatimu

    “Tidaaakkk!” seru Ben dengan suara yang begitu menggelegar hingga membuat beberapa warga desa langsung berlari mendekat ke arahnya, mencari tahu apa yang telah terjadi.Suara teriakan Ben diikuti oleh suara letusan peluru yang keluar dari mulut Pistol FN Five-seveN. Dan hanya hitungan detik saja, terlihat aliran darah kental sekaligus bau anyir menyeruak.Emosi dan luapan amarah Ben semakin tak tertahankan, baginya sudah tak peduli lagi yang ada di hadapannya kali ini laki-laki atau wanita atau bahkan setan sekalipun. Tangan kirinya langsung saja mencengkeram leher gadis yang pernah ia cintai. Kekuatan tangan kekar Ben semakin kuat mencengkram leher Zora, hingga kali ini Zora benar-benar kesulitan bernafas.Melihat Ben yang sudah dikuasai amarah, Elmo segera berlari dan menarik tubuh hyungnya itu sekuat tenaganya. Kekuatan Ben pun semakin melemah sesaat setelah Elmo berhasil membawanya pergi sejauh dua meter dari Zora. Tangisan pun pecah dari suara maskulin Ben. Hancur berkeping lanta

  • Kembalinya sang Ahli Waris   neraka untuk Ben

    “Tapi sebelum kau pergi jangan lupa kau bawa mereka pergi dari sini,” imbuh Tuan Song sembari menarik tubuh Tuan Alexi yang sudah tak berdaya menuju Ben berdiri.Pria dengan banyak tattoo itu tak peduli bagaimana perasaan Ben saat melihat tubuh ayahnya di seret seperti layaknya sebuah benda usang yang hendak di buang ke tempat pembuangan sampah terakhir. Tubuh tua renta Tuan Alexi semakin melemah dan semakin banyak luka baru yang menganga di setiap bagian sudut tubuhnya.Seperti mendapat kekuatan, dengan cepat Ben melangkahkan kedua kakinya menuju Tuan Song dengan kedua tangan mengepal seperti sedang menahan kekuatannya. Wajah putih Ben kini berganti menjadi warna merah maroon, dan kini tangan kanan Ben sudah melayangkan tinjunya tepat di bagian perut hingga wajah sangar Tuan Song.Kedua netra Zora melihat jijik tatkala tak menyangka bahwa Ben memiliki kekuatan yang begitu besar dan begitu berani melawan Tuan Song, putri tunggal penguasa desa Cheong Sam itu segera memerintahkan anak b

  • Kembalinya sang Ahli Waris   Goodbye

    Goodbye XaelDua menit setelah Nyonya Jang Geum membujuk Ben untuk segera pulang, menemui ayahnya, tiba-tiba saja dering telfon berbunyi dari meja bundar. Terlihat dari layar datar tulisan my lovly father.“Xael, aku rasa ayahmu menelfonmu,” ucap Elmo.Bergegeas saja, tangan kanan gadis bermata biru itu menyambar benda berukuran delapan inch tepat di atas kasur empuk. Gadis itu sengaja pergi ke balkon, untuk menjawab panggilan jarak jauhnya.Sementara itu, Ben masih belum bisa memutuskan apakah akan pulang dengan membawa berita buruk untuk ayahnya ataukah harus bertahan di tempat ini dan terdiam dalam pikirannya tak dapat melakukan apapun. Elmo menyadari akan kebingungan hyungnya itu, pemuda yang jarak usianya dua tahun di bawah Ben mendekati secara perlahan, dan duduk di sampingnya.“Aku rasa jujur itu lebih baik hyung daripada kau terus sembunyikan permasalahan ini. Aku takut, kelak jika ayahmu tahu dari mulut orang lain yang mengatakan peristiwa ini dengan menambahkan banyak bumbu

  • Kembalinya sang Ahli Waris   Burn or Left

    “Halo Xael, apakah kamu saat ini sedang bersama dengan Ben?” tanya Tuan Billie dalam sambungan komunikasi jarak jauhnya.“Tentu saja. Saat ini aku malah sedang bersama dengan Nyonya Jang Geum juga,” jawab Xael.Tuan Billie terdiam sesaat saat Xael mengatakan ada boss dari tempat Ben bekerja. Sebenarnya, Tuan Billie ingin meminta Xael untuk mengatakan pada Ben agar segera pulang dan meminta Ben serta keluarganya segera berkemas dari sana. Tapi, jika tidak ada alasan yang tepat maka sudah pasti Ben akan menolak mentah-mentah. Tuan Billie pun merubah pikirannya untuk tidak mengatakan rencana agar Ben segera pulang pada gadis yang diam-diam menyukai cucu boss besarnya itu.“Kalau begitu, apa aku boleh berbincang dengan Nyonya Jang Geum,” pinta Tuan Billie.“Oh, oke. Sebentar,” ucap Xael.Benda berukuran delapan inch itu pun segera diberikan oleh Xael kepada Nyonya Jang Geum. Seraya menekan tombol membisukan suara, Xael mengatakan, “Nyonya Jang Geum … Tuan Billie ingin berbicara padamu.”“

  • Kembalinya sang Ahli Waris   siasat

    LACAK DAN HANCURKAN“Billie, apa kau sudah mencari informasi mengenai siapa gadis keparat itu?” tanya Tuan Cana dalam sambungan jarak jauhnya dari mobil ambulance.“Sudah, tuan. Gadis ini diketahui adalah anak tunggal dari kepala desa Cheong Sam. Ayahnya bernama Tuan Hyun Min, selain bekerja sebagai kepala desa, dia juga memiliki usaha,” jawab Tuan Billie.“Hmm … cepat lacak rumahnya. Hancurkan masa depan anak gadis keparat itu serta hancurkan juga karir ayahnya!” titah Tuan Cana.“Siap, laksanakan tuan,” balas Tuan Billie.Tuan Cana pun menutup sambungan telekomunikasinya pada Tuan Billie. Tatapannya kini beralih pada wajah polos seorang gadis yang seharusnya saat ia bertemu, dalam keadaan senang, dan bukanlah dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Pria tua itu yakin kalau batin dari cucunya ini begitu terkoyak. Khawatir kalau jiwa cucunya menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa, Tuan Cana pun memerintahkan Tuan Billie untuk mencari dokter psikologi yang bagus di Negara ginseng ini.

  • Kembalinya sang Ahli Waris   dia cucuku

    CHAPTER 48Beberapa jam setelah Zora mengarak Ben ke tanah perbatasan“Tuan Cana, coba lihat ini … kedua cucu anda direndahkan oleh seorang gadis manja yang mungkin tak pernah diajarkan sopan santun serta menghargai terhadap orang lain oleh kedua orang tuanya,” lapor Tuan Billie seraya memperlihatkan panggilan video dari Xael.Kedua pria tua itu melihat bagaimana teganya seorang gadis memperlakukan kedua cucunya, direndahkan, bahkan tak tanggung-tanggung saat melihat keadaan Brie yang begitu kacau dengan cairan putih lengket berwarna susu, cukup membuat Tuan Cana murka. Bahkan, cucu laki-lakinya yang begitu ia banggakan pun juga turut dilecehkan dengan mengambil sebuah ponsel dari lumpur.Usai sambungan panggil video dari Xael, Tuan Cana mengambil ponsel, dompet serta jas panjang berwarna coklat muda. Pria tua ini benar-benar merasa bersalah, lantaran sudah menelantarkan kedua cucunya dengan keadaan seperti ini. Air mata membasahi kedua pipinya yang masih saja kencang diumurnya tak la

  • Kembalinya sang Ahli Waris   perasaan Yang sebenarnya

    "Tidak. Jangan lakukan kau turuti perintah Zora, Ben," teriak Xael.Bak memakan buah simalakama, Ben harus memilih. Melihat gadis yang sungguh teramat baik padanya mati di tangan gadis yang jahat, atau menyelamatkan nyawa gadis itu dengan mempermalukan dirinya sendiri dengan mengambil ponsel miliknya dengan mulutnya."Kau tak ingin teman spesialmu mati dengan sia-sia, bukan?" ancam Zora seraya menarik pelatuk pistol.Tanpa berpikir panjang, Ben segera menuruti keinginan picik Zora. "Baiklah, aku akan menuruti keinginanmu. Tapi, lepaskan Xael terlebih dahulu," pinta Ben.Gadis berwajah Korea itu tersenyum smirk dan puas, mendengar ucapan pria miskin itu. Di lepaskannya cengkraman kuat dan senjata apinya sudah tak lagi ada di kepala Xael. "Kalau begitu, ayo … cepat ambil ponsel itu dengan mulutmu. Lalu bawa kesini," titah Zora.Sebelum mengambil ponsel, kedua netra Ben sempat melirik ke arah Xael berdiri. Tatapan permohonan maaf, karena harus merendahkan harga dirinya demi menyelamatka

  • Kembalinya sang Ahli Waris   ARTI SEBUAH kepantasan (2)

    Xael terus melangkahkan kedua kakinya dengan tergesa seraya ibu jarinya berusaha menekan layar ponsel, mencari orang yang bisa menolongnya saat ini. Pandangan Xael terbagi, antara melihat kemana Zora akan membawa Ben pergi, serta daftar nama dalam layar ponselnya.Karena pandangannya terbagi, sehingga Xael tak sadar, jika dirinya menekan nomor ponsel klien Jewel in the Palace-Tuan Billie. Xael sengaja melakukan panggilan video, agar orang yang ia hubungi dapat melihat sendiri bagaimana perlakuan Zora serta orang-orangnya telah menyiksa Ben."Hallo," jawab Tuan Billie"Hentikan kegilaanmu, Zora!" teriak Xael dengan lantang dan gagah berani seraya berlari kecil menghampiri Zora dengan tangan kirinya memegang ponsel pintar."Hallo, ada apa ini Xael?" tanya Tuan Billie kembali.Tuan Billie melihat bagaimana Zora menarik dengan kasar lengan Ben, hingga Ben terjatuh. Pria paruh baya itu mencoba untuk diam sejenak, serta mencerna apa yang sedang terjadi disana. Merasa ada Yang tak beres deng

  • Kembalinya sang Ahli Waris   Arti sebuah kepantasan (1)

    Sebelum Brie menjawab, Ben sudah tiba dengan nafas tersengal. Pria muda itu tak peduli dengan penampilannya yang hanya menggunakan selimut tebal sebagai penutup tubuhnya yang vital. Tak hanya itu, Xael pun juga bergegas melangkahkan kakinya menuju asal teriakan seraya memakai pakaiannya kembali."Brie … kamu kenapa disini? Lalu siapa para laki-laki ini?" tanya Ben seraya memeluk tubuh adiknya yang menggigil ketakutan.Gadis yang hanya terpaut usianya lima tahun dari Ben, tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Brie hanya bisa menatap dalam kedua netra kakak kesayangannya. Ben melihat pada tubuh adiknya yang begitu lengket dengan cairan kental berwarna putih susu. Tak hanya itu ada cairan berwarna merah pekat dengan bau anyir amis keluar dari bagian vital tepat diantara bawah pinggang."Apa yang kalian lakukan terhadap adikku!" murka Ben.Kedua netra Ben menatap tajam pada para pria yang ada disana, kedua tangannya mengepal siap untuk meninju wajah mereka. "Cepat katakan padaku, apa

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status