Share

their stubborn

“Jangan pernah berdiri di depan meja kasir, dengan penampilan kumuhmu itu! Kau akan membuat semua tamuku kabur!” hardik wanita pemilik kedai makanan dan minuman tradisional korea.

“Ma … maafkan aku, aku ….” belum sempat Ben meneruskan kembali, wanita paruh baya itu sudah memotong pembicaraannya.

“Aish … sudah! Aku tidak ingin mendengar semua alasanmu itu. Sebaiknya kau tunggu di sini, sampai aku kembali,” titah wanita berbaju hanbok.

Ben tidak menjawab dengan perkataan, hanya memberikan sebuah tanda bahwa ia mengerti akan ucapan wanita yang ada di hadapannya, yakni sebuah anggukan kepala.

Wanita paruh baya itu mengangkat kepalanya ke atas sesaat kemudian keluar dari ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya, yakni mengantarkan beberapa makanan dan minuman ke meja tamu.

Sambil menunggu wanita paruh baya, Ben mulai memberanikan diri untuk melihat-lihat apa isi dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang bisa dikatakan cukup luas, yang dipenuhi oleh berbagai bahan baku, seperti gandum, telur, satu karung goni, buah-buahan segar, serta beberapa buah-buahan yang sudah dikeringkan.

Ben sudah mengira, bahwa ruangan ini merupakan ruangan yang cukup penting, semacam ruangan untuk membuat kue. Tak ingin terjadi kesalahan, Ben tak berani memegang apapun di dalam ruangan ini.

Usai menyajikan teh hijau, wanita tua itu kembali ke ruangan berukuran tujuh puluh meter. “Kau ingin pekerjaan dariku? Memangnya keahlian apa yang kau miliki?” tanya Wanita paruh baya dengan suara yang cukup kencang, hingga salah satu anggota tubuh Ben terkena ujung meja yang tajam.

“Ouch … ma … maaf, aku tidak tahu, kalau anda sudah kembali,” jawab pria berusia dua puluh tujuh tahun.

Wanita paruh baya itu mulai melangkahkan kakinya, berjalan memutari Ben. Melihat lebih dalam, apakah Ben bisa diandalkan di kedai miliknya. Baginya masalah penampilan, itu bisa diatur. Yang terpenting adalah, Ben memiliki semangat kerja yang tinggi, mau belajar hal-hal yang baru serta dapat diandalkan.

“Jadi … keahlian apa yang kau miliki?” tanya wanita itu sekali lagi.

“Aku memang tidak memiliki keahlian apapun, tapi aku bisa belajar dengan cepat,” jawab Ben tanpa ragu.

Salah satu alis wanita itu terangkat, saat mendengar jawaban Ben. Untuk saat ini, keputusan yang akan ia ambil adalah masa percobaan selama enam bulan. Jika memang Ben memiliki kinerja yang bagus, maka Ben akan terus bekerja di kedai ini selamanya.

“Baiklah, kau kuterima bekerja, sore ini juga, karena aku tengah kewalahan,” balas wanita tua bersanggul sederhana.

Pancaran kebahagian terlukis di wajahnya, senyuman merekah, dengan mata yang berbinar-binar. Akhirnya satu kata itu ia dapatkan juga dari seorang wanita tua yang baik hati.

Untuk membuktikan bahwa pekerjaan ini begitu berarti untuk dirinya, Ben bergegas mencuci setumpukkan piring dan gelas-gelas kotor.

Meanwhile

Langit semakin gelap, dan semakin larut. Sementara sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam pun, belum terdengar suara langkah kaki Ben kembali ke rumah.

Sejak satu jam yang lalu, Tuan Alexi selalu bolak balik ke kamar kecil, entah itu buang air kecil atau buang air besar. Tak hanya itu, malam ini Tuan Alexi benar-benar tak selera untuk menyantap makan malam yang tersaji di atas meja.

Sampai ketiga anak Tuan Alexi sudah selesai menyantap makan malam pun, Tuan Alexi masih belum juga menyentuh makanannya. khawatir jatuh sakit, Brie pun memberanikan diri membawakan satu porsi bibimbap ke hadapan sang Ayah.

“Ayah … kenapa kau belum juga menyentuh makananmu? Bagaimana kalau aku suapi,” usul Brie.

“Tidak usah Brie. Aku sedang menunggu kakakmu. Nanti, kalau dia pulang, Ayah akan makan bersama kakakmu. kira-kira kemana perginya kakak mu ya? Sampai selarut ini belum pulang juga,” lirih tuan Alexi.

“Mungkin saja kakak perlu mendinginkan perasaan dan kepala dulu. Tapi yah, kalau Brie boleh berpendapat, tidak apa jika kakak mencari pekerjaan lain di luar perkebunan,” ucap Brielle.

Wajah Tuan Alexi yang semula sudah tak berdaya, sedih dan gelisah menunggu kedatangan anak sulungnya, mendadak berubah. Wajahnya kembali menegang, saat sang Putri memberikan usul, agar kakaknya bekerja di luar perkebunan.

Emosi yang semula redup kembali memuncak. Namun, kali ini emosinya tidak sebringas saat bertengkar dengan Ben. Tuan Alexi hanya bisa mengepal kedua tangannya, sembari menundukkan wajahnya yang memerah.

“Brie … belum habis amarahku pada kakakmu, kenapa kau menambahkan lagi rasa kesal ini!” teriak Tuan Alexi.

Teriakan Tuan Alexi kali ini cukup membuat sang putri ketakutan dan mejauh sebanyak lima langkah darinya.

“Kenapa ayah selalu saja keras terhadap kakak? Padahal ayah tahu, bahwa selama ini, kakak lah tulang punggung keluarga. Selain itu, apa ayah tahu mengenai kebutuhanku dan juga adik-adik yang semakin lama semakin banyak. Dan jika hanya mengandalkan upah kakak dari perkebunan sangat-sangat tidak cukup. Belum lagi hutang ayah yang kian menumpuk pada lintah darat,” balas Brie.

Bukannya merenungkan dan mencerna terlebih dahulu ucapan putrinya, tapi Tuan Alexi semakin emosi dan semakin tidak bisa mengontrol amarahnya.

Dibuangnya seluruh benda yang ada di dekatnya, termasuk benda pipih yang berisikan nasi dan lauk-pauknya ke lantai. Setelah itu, ia pergi mendorong roda pada kursi roda menuju halaman depan rumah, meninggalkan Brie sedang menangis tersedu.

Bagi Tuan Alexi, tidak ada satupun anak-anaknya yang memahami akan perasaan kehilangan yang teramat sangat mendalam hingga menimbulkan suatu trauma berlebih. Ia tak ingin, ada seseorang yang mengenal lebih lanjut mengenai keluarganya, terlebih Ben dan Brie.

Tuan Alexi sengaja berada di halaman depan, menunggu kedatangan putra sulungnya. Tak peduli meskipun angin malam ini berhembus dengan kencang.

Hampir dua jam lamanya Tuan Alexi duduk di kursi rodanya yang usang, menghadap ke arah pagar hingga rasa kantuk menghinggapi dirinya. Dan selama itu pula, dirinya tak sadar, jika putra sulungnya yang ia nantikan telah tiba, dan berdiri di hadapannya.

Secara perlahan, tanpa maksud ingin membangunkan ayahnya, Ben berusaha mengangkat tubuh lemah pria paruh baya dari kursi roda. Membawa tubuh lemah sang ayah dengan kedua tangan kekar Ben di depan, menuju kamar tidur ayahnya.

Setelah membaringkan Tuan Alexi di kasur empuknya, Ben kembali keluar kamar, menuju kamarnya. Namun, ia mendapati adik perempuannya tengah duduk menghadap gambar wanita paruh baya dengan muka berlinangan air mata.

Ben pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar tidurnya. Secara perlahan, ia mendekati sang adik dan duduk di sampingnya.

“Kamu habis bertengkar dengan ayah?” tebak Ben.

Brie hanya menjawab pertanyaan kakaknya dengan anggukan kepala, dan sedikit terkejut saat mendengar suara laki-laki yang selalu melindunginya ini sudah berada di sampingnya. Brie mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah samping kanan, tepat dimana Ben sedang duduk.

“Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan suara manja.

“Memangnya kau pikir aku apa? Hantu?” goda Ben.

“Iihh … apaan sih, nggak lucu,” jawab Brie sambil memukul bahu Ben pelan.

Ben memandangi wajah adik perempuannya, mata sembab karena air matanya terus membasahi pipinya. Belum lagi, matanya yang semakin sipit.

“Memangnya kamu kenapa sama ayah? Ada masalah apa?” tanya Ben penasaran.

Brie terpaksa berbohong pada lelaki yang usianya berbeda enam tahun dengannya. Mencoba tersenyum simpul, Brie hanya menjawab, "Tidak. Aku tidak bertengkar dengan ayah. Aku hanya rindu pada ibu. Kira-kira sedang apa ya, ibu di Surga?"

Mendengar jawaban yang menyentuh hatinya, Ben mendekap erat adiknya, dan tak lama ia pun mengecup kening Brie. "Sudah malam, lekas tidur. Besok kamu sekolah kan?" ucap Ben seraya mengalihkan perhatian adiknya agar tak terlihat bahwa dirinya menitikkan air mata dalam diam.

Brie hanya mengangguk pelan. Perasaannya kini sedikit lebih lega. Meskipun harus sedikit berbohong, tapi ini demi menghindari ketegangan antara ayah dan kakaknya.

“Baiklah Brie. Aku masuk kamar terlebih dulu ya. Besok aku bangun lebih pagi dari biasanya,” ucap Ben.

Mendengar ucapan Ben, Brie mengernyitkan keningnya. Karena tidak biasanya kakaknya bangun lebih pagi. Brie berpikir ada yang aneh dengan Ben, karena biasanya dia selalu bangun pukul tujuh pagi, atau saat ketiga adiknya pergi menuntut ilmu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status