Rasa takut muncul melihat kemarahan sang Ayah. Saat pria paruh baya itu sudah mulai melempar barang, artinya masalah ini sungguh serius.
Dalam benak Benedict muncul begitu banyak pertanyaan. Salah satunya adalah kenapa ayahnya tidak langsung saja mengungkapkan alasan di balik tidak boleh bekerja di luar perkebunan.Benedict mendengus kesal,dan meninggalkan ayahnya di ruang tengah, seorang diri. Tanpa merasakan nikmatnya makan malam, yang sudah disajikan dengan rapih di tempat yang terbuat dari batu kali berbentuk bulat."Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa mendengarkan aku anak muda! Cepat kembali!" Murka Tuan Alexi melemparkan barang-barang yang ada di hadapannya ke arah pintu yang terbuat dari bambu kuning serta dipadupadankan dengan berbagai ornamen kaca di tengah.Keadaan rumah kacau balau. Lantai rumah berserakan akan pecahan kepingan mulai dari sebuah tempat berbentuk segitiga sebagai tempat untuk meletakkan abu tembakau.Kemudian sebuah tempat berbentuk silinder, tingginya tak sampai 100 cm, dan dihiasi dengan lukisan ayam jago dan matahari pagi di padang rumput yang luas sebagai tempat untuk menaruh bunga. Serta sebuah tempat berbentuk bulat besar dan cukup tinggi dengan lukisan wajah istri yang sangat ia cintai, yang biasa untuk Tuan Alexi minum. Dan semuanya itu terbuat dari tanah liat.Air mata Tuan Alexi mengalir tanpa permisi di kedua pipinya. Sesak di dada, serta sakit kepala yang begitu hebat, ia rasakan juga sesaat setelah bertengkar dengan putra sulungnya.Tekanan darahnya mulai naik kembali, sehingga membuat amarahnya belum terkendali dengan baik.Masih segar dalam ingatannya, bagaimana Charrise meninggal tepat dihadapannya. Di racuni, disiksa hingga di tembak lima kali. Belum lagi sumpah serapah dari orang yang selama ini Charrise sayang dan cintai, yakni akan menghabisi anak-anak dari Charrise.Tuan Alexi sudah dapat membaca apa yang terjadi kelak. Jika Benedict sampai bekerja di luar perkebunan, maka sia-sialah usahanya untuk menyembunyikan mereka berdua dari orang-orang yang akan membunuhnya."Aku harus mencari cara, agar Benedict mengurungkan niatnya untuk bekerja diluar perkebunan," gumam Tuan Alexi.Dengan cepat, Tuan Alexi segera mencari ponselnya di setiap sudut ruangan tengah. Baik di sudut sofa, laci meja, laci lemari.Sialnya, barang yang dicari oleh Tuan Alexi belum ketemu juga. Jengkel dan beberapa kali ia merutuki dirinya sendiri, karena lupa meletakkan ponselnya. "Sial, di mana benda itu kuletakkan!"Tak sabar dengan ingatannya, pria paruh baya itu memanggil salah satu anak kembarnya. "Osaze!" teriaknya tak sabar."Ya, ayah. Ada apa?" sahut Osaze."Cepat carikan ponsel ayah. Aku lupa meletakkan dimana," titah Tuan Alexi."Baiklah," jawab pria berusia empat belas tahun sambil berjalan menuju kamar tidur sang Ayah.Sangat mudah bagi pria muda dengan pipi chubby itu menemukan benda yang dapat melakukan komunikasi jarak jauh milik sang ayah. Benda tersebut terletak tepat di meja samping ranjangnya.Benda berwarna biru navy itu diambil oleh Osaze dan diberikannya pada sang Ayah. "Ini, ponselnya."" Terima kasih. Oiya … tolong bersihkan semuanya ya. Maaf merepotkan," pinta Tuan Alexi.Setelah mendapatkan benda yang mampu mendekatkan komunikasi jarak jauh itu, Tuan Alexi bergegas menekan sebuah huruf hang geul Min, dan mulai menghubunginya.Beberapa menit kemudian, terdengar suara bariton dari seberang sana. Pria itu dengan cepat sudah mengetahui siapa yang yang telah menghubunginya di malam hari,"Ada apa Alexi?""Bisakah aku berbicara empat mata dengan Anda?" pinta Tuan Alexi"Apakah ada masalah serius dengan perkebunan?" tanya seorang pria pemilik nama Min yoong dengan nada datar."Bukan masalah perkebunan. Tapi, Ada masalah lainnya."Suasana hening sesaat, ketika Tuan Alexi mengatakan ada masalah lain selain masalah perkebunan. Tuan Min hanya bisa menerka dalam alam pikirannya."Baiklah. kapan kau akan menemuiku? Sekarang atau besok?" balas pria tersebut dari seberang sana."Besok pagi, saya usahakan sudah tiba di rumah Anda," jawab Tuan Alexi."Hmmmm … baiklah. Aku akan menunggumu." Pria tersebut langsung mengakhiri pembicaraan tersebut, melalui sambungan jarak jauh.cari … dapat“Enyah kau dari sini, orang miskin dan bau sepertimu, tidak pantas bekerja di kedaiku!” cerca pria paruh baya berbadan tambun, memakai baju koki mendorong tubuh Ben sekuat tenaga, hingga tubuhnya jatuh dan wajah tampan Ben mencium tanah.Ben berusaha berdiri dengan kekuatan kedua tangannya. Sambil menutupi rasa malunya, karena dilihat oleh banyak orang, Ben bergegas membersihkan wajahnya dari lumpur.“Aku … aku hanya ingin bekerja, bukan mencuri uang di kedai anda, Tuan,” balas Ben.“Cih … tak sudi aku memiliki karyawan sepertimu. Lebih baik aku mempekerjakan maling hingga pembunuh sekalipun, daripada mempekerjakan dirimu!” cerca pria berambut putih di setiap pinggiran sudut telinga.Benedict menundukkan wajahnya. Dipandang sebelah mata, dan dianggap hina melebihi seorang penjahat. Ia hanya ingin bekerja secara halal, demi mencukupi kebutuhan adik-adiknya.“Cepat pergi dari sini, kalau kau tidak pergi juga dari depan kedaiku, aku akan memanggil polisi desa, agar kau dipenjara!” ancamnya.Ben segera pergi dari kedai yang menjual makanan korea ala kerajaan yang mewah, menghindari masalah yang justru akan memasukkannya ke penjara.Bukan hanya sekali saja, pemuda berambut pirang ini ditolak oleh beberapa kedai, toko souvenir dan tempat penginapan. Sejak matahari mulai menunjukkan kelelahannya setelah bekerja menyinari dunia ini, sudah dua puluh lima toko souvenir, dua puluh tempat makan dan kedai kopi, serta tiga puluh tempat penginapan, yang menolak dirinya. Entah itu menolak secara halus, maupun dengan penghinaan serta perlakuan kasar yang ia dapat.Langit masih terlihat senja, dengan penuh keyakinan, Benedict memutuskan untuk melangkahkan kakinya, pergi sedikit menjauh dari rumahnya menuju pusat desa wisata Cheon Sam, demi mencari pekerjaan tambahan.Butuh satu jam perjalanan yang ditempuh oleh Ben untuk mencapai pintu besar yang terbuat dari susunan bambu bertuliskan pusat desa wisata Cheon Sam.Kota kecil ini tidak pernah tidur, terlihat banyaknya wisatawan asing yang masih hilir mudik, entah itu sekedar mencari hiburan, maupun membeli beberapa pernak-pernik atau makanan untuk mengganjal rasa lapar.Semua mata tertuju ketika Ben berjalan dari satu pintu toko ke pintu toko yang lain. Tak peduli dengan cibiran dan cacian dari pejalan kaki melihat bajunya yang kumuh serta bau dari badannya.Meskipun begitu, tak menyurutkan niat Ben untuk mendapatkan pekerjaan. Ia pun mendatangi lagi sebuah kedai tradisional yang terletak di paling ujung.Tembok kedai itu berwarna peach, serta dihiasi dengan beberapa lembar daun dan bunga.“Permisi, apakah aku boleh bekerja di tempat anda?” tanya Ben pada seorang wanita tua di sebuah kedai makanan.Terlihat wanita tua itu tampak kewalahan sekali di kedainya. Di satu sisi wanita tua berbaju hanbok itu harus mencuci beberapa piring kecil serta gelas, dan di sisi lainnya juga harus melayani ramainya pembeli.Wanita tua itu menatap pemuda berbadan tegap, di hadapannya. Tangguh dan kuat, itulah kesan pertama yang ia dapat dari sosok Ben.“Tunggu selepas aku memberikan kopi ini pada pria berambut pirang itu,” pinta wanita tua itu sambil membawa dua buah benda berbentuk bulat yang terbuat dari tanah liat, serta satu buah cerek yang terbuat dari tembikar, dibawa ke hadapan pria asing.Dengan senang hati, Ben berdiri di depan benda berwarna hitam, dengan alat hitung serta beberapa lembar kertas di atasnya.Beberapa pengunjung kedai, nampak sedikit terganggu dengan penampilan kumuh Ben. Sementara para pengunjung lainnya, menganggap bahwa Ben adalah orang yang membantu wanita tua itu dalam mengelola kedai.“Maaf, apakah kau bisa meminta karyawanmu, untuk berganti pakaian?” pinta salah satu pengunjung.Wanita tua itu, tampak sedikit tersinggung dengan perkataan tamunya. Mau tidak mau, ia pun menghampiri Ben dan menyeretnya ke sebuah ruangan.“Jangan pernah berdiri di depan meja kasir, dengan penampilan kumuhmu itu! Kau akan membuat semua tamuku kabur!” hardik wanita pemilik kedai makanan dan minuman tradisional korea.“Ma … maafkan aku, aku ….” belum sempat Ben meneruskan kembali, wanita paruh baya itu sudah memotong pembicaraannya.“Aish … sudah! Aku tidak ingin mendengar semua alasanmu itu. Sebaiknya kau tunggu di sini, sampai aku kembali,” titah wanita berbaju hanbok.Ben tidak menjawab dengan perkataan, hanya memberikan sebuah tanda bahwa ia mengerti akan ucapan wanita yang ada di hadapannya, yakni sebuah anggukan kepala.Wanita paruh baya itu mengangkat kepalanya ke atas sesaat kemudian keluar dari ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya, yakni mengantarkan beberapa makanan dan minuman ke meja tamu.Sambil menunggu wanita paruh baya, Ben mulai memberanikan diri untuk melihat-lihat apa isi dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang bisa dikatakan cukup luas, yang dipenuhi oleh berbagai bahan baku, seperti gandum, te
“Ben ….” teriak Tuan Alexi saat kedua matanya masih terpejam dalam mimpi buruknya.Tak lama kedua netra Tuan Alexi terbuka lebar. tubuhnya berkeringat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia pun menoleh ke arah sekitar, mencoba memahami dimana dirinya berada saat ini.Dipandanginya warna cat dinding, letak meja, lemari, hingga tempat dirinya berada saat ini, yakni sebuah tempat yang empuk, dan tak lain adalah ranjang tempat tidurnya.Tuan Alexi mulai merunutkan kejadian yang ia alami semalam, mulai dari bertengkar dengan putrinya hingga menunggu putra sulungnya di halaman depan dan tertidur pulas di atas benda yang sudah menemani hidupnya selama dua belas tahun.Setelah mengingat kejadian semalam, Tuan Alexi bergegas melihat waktu di ponselnya, dan langsung menarik kursi rodanya. Diangkatnya perlahan tubuh lemahnya dengan bertumpu pada meja kecil di samping ranjangnya.Berhasil duduk di atas kursi roda, kini tujuan pertamanya adalah menuju kamar putra sulungnya. Ada hal yang harus ia
“Kalau boleh tahu, memangnya apa yang membuat kalian berdua bertengkar?” tanya Tuan Kim, sambil meneguk air bening yang sejuk pada benda yang terbuat dari tanah liat.Tuan Alexi menundukkan wajahnya kembali. Rasa malu menghinggapi dirinya, ketika Tuan Kim mempertanyakan mengenai permasalahan yang membuat mereka berdua bertengkar hebat. Ingin sekali mengatakan permasalahan utamanya, hanya saja, seperti ada yang menahan suara Tuan Alexi untuk berbicara.Tuan Kim menunggu jawaban pasti dari Tuan Alexi. Namun, ia pun mengurungkan untuk mengetahui permasalahan mereka berdua saat melihat raut wajah memerah, dari pria yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya ini.“Baiklah, jika kau tidak ingin memberitahukan padaku. Tidak apa. Apapun itu permasalahannya, bagiku ….” belum sempat Tuan Kim melanjutkan pembicaraannya, Tuan Alexi sudah memotongnya dan memberitahukan permasalahan utamanya. “Masalahnya adalah soal keuangan.”Tuan Kim terkejut mendengar jawaban dari pria yang duduk di sebelah kiriny
“Cepat bunuh orang tua itu. Jika dia mati, maka seluruh kekayaannya tentu saja akan jatuh ke tanganku dan anak-anakkku,” titah seorang pria paruh baya pada seorang dokter yang usianya tak jauh darinya.“Tapi tuan. Bagaimana kalau sampai pihak rumah sakit mencurigaiku? Apakah aku akan mendapat keuntungan, jika aku berhasil membunuh ayah kandungmu?” tanya dokter spesialis jantung yang namanya tersohor di Brooklyn.“Keuntungan? Maksudmu bayaran mahal dariku?” Pria berjanggut tipis itu memicingkan kedua matanya. Salah satu jari dari tangan kanannya menempel pada dagunya. Pikiran pria itu adalah hanyalah kelicikan saja. Memberikan keuntungan pada dokter itu, hanya akan mengurangi hartanya saja. Pria itu menarik nafas dan tersenyum smirk. Iblis dalam dirinya memerintahkannya untuk mengiyakan permintaan sang dokter. Namun, bukanlah uang yang akan ia berikan, melainkan akan membunuh sang dokter dan menghilangkan jejak.“Baiklah. Berapapun kau minta, akan ku berikan,” ucap pria bermanik emera
“Aku ingin kau selalu mengikuti Dokter sialan itu. Dokter yang ku perintahkan untuk segera membunuh orang tua payah itu. Segera laporkan padaku, apakah dia berhasil menyuntik mati ayahku atau tidak!” perintah Tuan Connan dalam hubungan komunikasinya dengan seseorang di seberang sana.Tuan Cana begitu terkejut saat mendengar bahwa putra kesayangan berusaha membunuhnya dengan cara menyuntik mati melalui tangan seorang dokter.Geram dan murka seorang ayah pada putranya. Dalam hatinya hanya berbisik sumpah serapah dan merutuki setiap rencana jahatnya.Tak lama, ia mendengar kembali, suara putra bungsunya yang memerintahkan anak buahnya untuk segera ke lantai tempat dirinya dirawat. “Cepat naik ke lantai 7. Pastikan dokter itu sudah melaksanakan keinginanku. Jangan lupa ketika dokter Jarl sudah menyuntik mati ayahku, bunuh dia, dan ingat … jangan sampai ada jejak, kalau kita membunuh dokter sialan itu.”Bagai tersambar petir di kala musim panas, saat mendengar Tuan Connan telah merencanaka
"Tidak … jangan bunuh aku. Maafkan aku, Tuan Cana," teriak pria yang berprofesi sebagai spesialis tenaga kesehatan khususnya pada jantung, sambil duduk dengan kedua kaki dilipat kebelakang.Pria berambut putih itu tertawa dengan puas. Sudah lama rasanya ia tak merasakan bagaimana tertawa dengan lebar, Karena hal yang lucu.Tuan Cana mendekati Dokter Jarl dan memintanya untuk berbicara empat mata. "Siapa yang ingin membunuhmu, dok? Aku hanya ingin memintamu duduk dan kita bicara empat mata. Aku rasa ada hal yang harus kita bicarakan penting."Merasa malu dengan tingkah lakunya seperti anak kecil, Dokter Jarl pun menurut keinginan orang tua itu. Melihat raut wajah pria tua yang ada dihadapannya begitu berbeda dengan pria yang sudah menjebak dirinya itu. Dokter Jarl menundukkan wajahnya seraya berbisik, "Baiklah, Ka … kalau begitu. Ta … tapi … aku mohon jangan jebak aku lagi. Aku sudah tua, dan keluargaku sangat bergantung padaku.""Tenang saja, kau tak perlu khawatir. Justru aku ingin m
“Wow … wow … ada apa ini, kalian ingin membunuhku ? Aku hanya membawa pesanan untuk pasien di kamar, kenapa kalian menodongkan senjata begitu. Apa salahku?” tanya pemuda berkulit coklat.Kelima anak buah Connan terus saja memeriksa makanan, serta bagian seluruh kereta kecil pengantar makanan. Entah apa yang diperiksa oleh kelima pria berkacamata hitam itu saat memeriksa makanan, mengambil makanan dengan sendok lalu memakannya satu per satu.“Hey … kalian sangat tidak sopan sekali, makanan ini bukan untuk kalian!” seru pemuda berambut keriting dengan volume besar.Kelima pria itu langsung menghentikan suapan mereka. Dengan kompaknya mereka mengernyitkan kening serta tatapan mata yang begitu tajam, selayaknya sebilah golok yang akan menyambar lehernya.“Kami hanya memeriksa apakah makanan ini kau racuni atau tidak. Kalau sampai ada racun dimakanan ini, kami tak akan segan membawamu ke kantor polisi, serta melaporkan langsung pada pemilik rumah sakit ini,” tantang seorang pria bertubuh
“Hey kau, cepat berdiri di sini. Lalu peganglah jarum suntik ini, dan arahkan padanya,” ucap salah seorang perawat. “Tunggu, kau harus memegang jarum suntik ini sama persis dengan cara Dokter Jarl memegang jarum suntik. Dokter Jarl, apakah anda bisa mengajari pemuda ini agar memegang jarum suntik sama persis dengan cara anda,” pinta si perawat.Pria itu tampak terlihat sangat kaku, dan tidak menjawab baik itu berbicara sepatah katapun ataupun sekedar anggukan saja. Dokter Jarl berusaha memajukan langkah kakinya tiga centimeter dari jarak ranjang pria pemilik saham di berbagai industri seluruh dunia.Namun, saat Dokter Jarl ingin memajukan satu langkah, salah satu anak buah Tuan Cana sudah mencegahnya. Hanya dengan menarik lengan kekarnya, kakinya sudah bergeser selangkah ke belakang.Pemuda dan perawat itu langsung melangkahkan kakinya menuju tempat Dokter Jarl berdiri. Dokter Jarl pun mengajari bagaimana cara dirinya memegang jarum suntik, yakni menggunakan tangan kiri. Selain itu ke