Di luar terdengar begitu riuh. Langkah kaki terdengar saling beradu, juga teriakan-teriakan para lelaki maupun wanita memekak saling bertautan.
Sejenak aku tidak tahu harus berbuat apa. Membatu dalam posisi berdiri karena terlalu syok. Belum hilang kepanikan karena hampir di-unboxing, kini ditambah lagi rasa panik karena terkena razia.“Kabur, gobl*k!” Ucapan lelaki itu membuatku tersadar. Pintu bilik yang terbuka membuat siapa pun dengan mudah untuk menatap ke dalam.Segera aku merunduk, memungut kaus panjang yang sempat dibuka oleh lelaki yang hampir meniduriku malam ini. Kukenakan kaus itu sembari meraih tas dan berlari dengan cepat.Namun sial, baru beberapa langkah aku keluar dari bilik, sepasang tangan kekar mencekal lenganku. Sekuat apa pun memberontak, cekalan itu tidak terlepas sama sekali.Aku diseret paksa untuk mengikuti langkahnya menuju mobil patroli. Di dalam sana, telah tertangkap beberapa orang. Termasuk lelaki yang telah membeliku malam ini.Tubuhku didorong dengan sangat kasar. Diminta agar ikut duduk dan bergabung dengan mereka.Keringat dingin kini tidak lagi hanya membasahi jidat. Aku merasakan punggung telah basah karena keringat.Kedua kaki dan tangan gemetar. Aku tidak bisa diam. Kugerakkan kedua kaki demi menutupi ketakutan.“Baru pertama kali kena razia ya, Mbak?” Seorang wanita pekerja menyapaku.Aku mengangguk pelan. Sebagai jawaban iya atas pertanyaan itu.“Tenang aja, mereka cuma minta duit. Entar sampai kantor polisi ditahan semalam sampe dua malam. Kalau bersih dari narkoba, bakalan dilepasin. Asal ada uang jaminan.” Wanita itu menjelaskan dengan tenang. Sepertinya ia sudah sangat berpengalaman.Sial! Sungguh sial! Miska sudah membuatku terjatuh ke dalam lobang yang seperti ini. Mau ditaruh di mana wajahku jika teman kerja sampai tahu?Salahku juga karena menerima tawaran itu. Sudahlah ditawar dengan harga murah, kena razia pula. Miska sialan!Aku tidak akan pernah ingin melakukan hal yang seperti ini lagi! Tidak akan!Aku tidak bisa berhenti menggerutu dalam hati. Berada di tengah orang-orang seperti ini membuatku merasa telah gagal menjadi manusia. Hanya karena uang lima ratus ribu, aku harus berdesak-desakan duduk di dalam mobil patroli.Aku merasa sangat gerah. Selain karena duduk desak-desakan, juga karena terlalu panik dalam menghadapi kejadian barusan.Para anggota berseragam itu akhirnya ikut masuk dan duduk berdesak-desakan dengan kami. Menit berikutnya mobil berjalan meninggalkan lokasi terkutuk itu.Sepanjang jalan aku tidak bisa berhenti menyalahkan Miska. Entah di mana gadis itu sekarang. Pasti dia tengah bersantai menikmati uang yang telah ia dapatkan. Sementara aku harus ikut ke kantor polisi dengan memasang wajah tebal. Menanggung malu di hadapan banyak orang.“Turun!” Kami diminta untuk turun dengan kasar setibanya di kantor yang mereka sebut tempat pengamanan. Kupikir kami akan langsung dimasukkan ke dalam penjara, ternyata tidak.Satu per satu kami diperiksa dengan sangat teliti. Mungkin mencari barang haram. Aku tidak tahu.Tiba giliranku, aku diminta untuk mengangkat kedua tangan. Kulakukan apa pun yang mereka perintah.Lelaki tegap itu meraba seluruh inci bagian tubuhku. Hingga di daerah sensitif, ia meraba juga meremas dengan sengaja. Aku tahu itu tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan. Sebab, ia sengaja berlama-lama di sana. Tentu saja aku tidak terima.“Berani kamu melawan petugas?” Ia menatapku dengan tajam saat kedua tangannya kutepis.“Anda melecehkan saya!” Aku menjawab tidak terima. Entah seperti apa kondisi wajahku saat ini, aku tidak tahu sama sekali.Gelak tawa terdengar memenuhi seluruh ruangan. Mereka menganggap kalimat yang aku lontarkan adalah sebuah lelucon yang patut untuk ditertawakan.Aku semakin kesal. Memasang wajah tidak suka. Sebab, ada banyak pasang mata yang menyaksikan pelecehan itu, tapi tidak ada satu pun yang membela.“Kita ini PSK, Mbak.” Wanita yang tadi sempat menyapa di mobil, membuka suara kembali. Ia mengingatkanku akan posisiku di sini.“Jika tidak ingin dilecehkan, ya cari pekerjaan yang halal dong. Kau sendiri tidak menghargai dirimu, bagaimana mungkin kami bisa menghargaimu.” Salah satu petugas berucap dengan datar.Aku terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka benar. Posisiku di sini adalah seorang PSK yang sedang ditahan. Tidak ada yang bisa kulakukan. Wajar saja jika aku dianggap rendahan.“Sudah, sudah. Ayo cek urin masing-masing.” Petugas lainnya datang melerai sembari membawa botol kecil.Aku meraih botol itu sembari terus merungut. Kemudian berjalan menuju toilet dengan bimbingan petugas wanita.Saat mengantre menggunakan toilet, salah satu petugas lelaki mendatangi tempatku berdiri. Ia mengajak untuk sedikit menepi.“Kau masih perawan?” Ia bertanya dengan sangat enteng.Aku terbelalak. Mudah sekali mulut itu menanyakan hal yang semacam itu.“Sejak di dalam mobil, saya sudah memerhatikan. Saya tahu bahwa kamu masih perawan hanya dengan melihat wajah juga postur tubuhmu.” Ia berucap dengan santai.“Apa maumu?” Aku bertanya dengan kasar. Berpikir bahwa ia akan berbuat macam-macam.“Berapa tarifmu dalam semalam?” Ia kembali bertanya.“Maaf saja, saya tidak berniat untuk menjual diri. Saya berada di sini juga karena suatu alasan.” Aku berucap dengan tegas.“Saya juga tidak berniat untuk membayarmu. Saya hanya ingin menawarkan kerja sama.” Ia mengeluarkan sebuah kartu.Aku tidak langsung menerima uluran kartu itu.“Begini. Saya melihat kualitas yang lebih di dirimu. Jika dipoles sedikit lagi, kau akan telrihat jauh lebih cantik.”Aku hanya diam, mendengarkan.“Kita ada tugas untuk menangkap para pejabat yang menyelewengkan uang rakyat. Ada beberapa yang sudah masuk list. Rata-rata uangnya dipakai untuk bermain dengan wanita.”Aku mengerutkan kening. Lalu, kaitannya denganku apa?“Kau akan kita jadikan pancingan. Kita butuh bukti transaksi, juga penggerebekan agar bukti lebih akurat.”Aku semakin mengerutkan kening.“Pancingan?” Aku bertanya memastikan.Petugas itu mengangguk dengan tegas.“Kita sudah ada koneksi untuk menghubungkanmu dengan pejabat itu. Selama ini kami memakai jasa wanita lain. Namun, nampaknya bayaran yang ia dapatkan menjadi simpanan lebih besar, jadi dia memilih untuk berkhianat.”Aku mulai paham apa yang diinginkan oleh lelaki itu.“Hei, giliran kamu!” Petugas wanita memanggil agar aku lekas masuk toilet untuk menampung urin.“Dia aman!” Lelaki di hadapanku memberi isyarat agar aku tidak perlu mengikuti tes narkoba.“Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan.“Seperti yang kau lakukan sebelumnya. Masuk ke kamar berdua, usahakan agar kalian melepas semua pakaian sebelum kami datang untuk melakukan penggerebekan.”Aku tertawa tipis. Gila! Sama saja dia meminta aku menjual diri ke pejabat.“Cari wanita lain saja.” Aku menolak secara mentah-mentah.“Kau tidak berminat? Gajinya lumayan. Bisa puluhan juta hanya dalam satu malam. Kau bebas untuk melakukan apa pun. Terserah, kau disentuh atau tidak. Yang terpenting kami masuk saat kalian berdua tanpa pakaian.” Ia menegaskan.Sejenak aku mulai goyah. Namun, tetap saja itu bukan pekerjaan yang aku inginkan.“Aku tetap tidak mau.” Aku kembali menolak.“Kau coba pikirkan dulu. Ini ambil kartu nama saya. Hubungi saya jika kau berubah pikiran.” Ia memberikan kembali kartu nama yang sejak tadi tidak kunjung kuterima. Menit berikutnya ia berlalu begitu saja.Tuhan! Tawarannya sangat menggiurkan!“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe