***
Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Darius menekan-nekan mouse beberapa kali untuk mempercepat durasi. Wina sampai ke dapur, membuka kulkas dan meraih sekotak susu. Wina bergerak menuju almari gantung tempat snack dan roti di simpan. Tampak Wina berjinjit-jinjit mencoba menggapai sebungkus roti, namun tangannya tak kunjung sampai.Tiba-tiba Revan keluar dari balik kulkas, berjalan pelan mendekati Wina dari belakang. Kemudian meraih sebungkus roti dan memberikannya pada Wina. Darius tampak menelan ludah. Ia seolah memikirkan sesuatu akan terjadi setelah ini.Revan tampak menoleh ke kiri dan kanan, ia kemudian menarik tangan Wina untuk mengikutinya ke balik Kulkas. Darius langsung mengernyitkan keningnya, ketika ia fokus menunggu apa yang terjadi, Wina dan Revan malah tak kunjung keluar dari balik Kulkas."Sedang apa mereka? kenapa lama sekali di sana? apa yang mereka lakukan?" gumam Darius kesal menahan amarahnya.Darius menunggu sekitar beberapa menit, tampak Revan dan
*** Setelah Mahesa menyampaikan Pesan dan Wasiatnya, Isterinya menarik tangan Darius untuk mengikutinya ke kamar utama. "Apa yang harus kita lakukan, Ibu?" tanya Darius pada Ibu angkatnya. "Kita harus memperjuangkan warisan itu, Darius! sepertinya Ayahmu memang sudah memikirkan sampai sejauh itu. Ia bahkan tak memberikan celah untukmu agar bisa mengalihkan Warisan itu jatuh ke tanganmu." "Tapi, bukankah ini semua sudah lebih dari cukup, Ibu? aku bukanlah darah dagingnya. Wajar jika ia menyerahkan semua pada Andrea. Aku diberikan pekerjaan, penghasilan yang lebih dari cukup dan nama yang harum. Bukankah itu semua patut disyukuri, Ibu?" "Jangan bodoh kamu, Darius! Ibu membesarkanmu sampai sekarang bukan hanya bertujuan untuk menghidupi kehidupanmu saja! tapi sebagai wadah penampung seluruh harta kekayaan Mahesa! bagaimana mungkin anak dari seorang gundik bisa menjadi Pewaris seluruh harta dan asset miliknya?!"
***Sudah lima tahun Darius berada di luar. Bukan hal mudah baginya bertahan di luar dengan melepas semuanya yang pernah ia miliki. Ia hanya pergi membawa ijazah SMAnya.Awalnya tentunya ia merasa kesulitan, usia tiga puluh tahun bukanlah usia yang mudah baginya mendapatkan pekerjaan. Bermacam pekerjaan kasar ia jalani, mulai dari menjadi Salesmen, penjaga Parkir, kuli bangunan, kuli panggul atau bahkan menjadi tukang kendang hiburan musik keliling.Darius juga pernah merantau sampai keluar Pulau, menjadi Nelayan dan Penjual Ikan di Pasar. Semua ia jalani dengan penuh lika liku perjuangan. Bukan hal mudah baginya untuk bertahan. Hinaan dan cacian, tak punya uang hingga tak makan sampai berhari-hari, pernah ia lalui. Namun itu tak membuatnya menyerah dan malah mengemis pada Keluarga Mahesa untuk kembali. Pantang bagi Darius melakukan hal itu.Segala macam kerasnya kehidupan ia terima, ia jadi mengerti mengapa orangtua kandungnya begitu serakah akan
***Darius membanting pintu kamarnya karena kesal. Ia tak menyangka bahwa dugaannya Wina dan Revan berciuman di balik Kulkas itu adalah kenyataan yang harus ia sadari. Darius meremas jemarinya, ia kesal bukan kepalang."Jadi, mulai sejak kapan benih-benih cinta tumbuh di antara mereka? Revan, kau sepertinya selalu menjadi bayang-bayangku!" gumam Darius meradang.Sore telah tiba, Wina masih melamun di balkon dengan beraneka ragam isi fikiran yang semrawut di kepalanya. Belum selesai ia memikirkan bagaimana cara ia mejelaskan pada Revan tentang perlakuan Darius tadi siang padanya, Wina sudah melihat beberapa mobil pick up sedang menghantar perlengkapan untuk pesta besok malam."Konsep taman akan diadakan besok malam untuk pesta jamuan yang diinginkan tuan Darius, Nona."Bibi Noni sudah berdiri di belakang Wina."Ah, ya! ada apa Bibi datang kemari? apakah saya perlu berlatih untuk tampil besok malam?""Tidak, aku tidak ditu
***Hari ini adalah hari H, dimana Wina akan berubah menjadi Andrea dalam satu malam. Andrea yang sudah tiada, akan dihidupkan kembali melalui wujud Wina.Di kamar utama, telah sampai beberapa paket ekslusif dari butik-butik ternama di Kota ini. Gaun dan segala macam perlengkapan untuk dikenakan Wina malam ini.Wina memandangi paket-paket itu. Ia sama sekali belum membuka satupun."Hah, beruntungnya kau Andrea! memiliki semua fasilitas ini, kekayaan dan warisan jatuh ke tanganmu. Sementara diriku, hanya boneka yang akan digunakan sebagai sosok dirimu."Pintu kamar terbuka, para Pelayan masuk dengan senyuman sumringah. Mereka langsung duduk rapi mengelilingi paket-paket yang siap untuk dibuka."Anda akan mengenakan gaun yang bagaimana, Nona? di sini ada warna merah muda dan merah marun, ada biru muda dan biru toska." tanya salah seorang Pelayan dengan mata berbinar seolah baru pertama kali melihat gaun seindah itu."Entah
***Andrea sudah mencintai Darius sejak kanak-kanak, terlebih saat Darius sudah kembali lagi ke rumah, ia seakan tak mau berpisah dari Darius walau seharipun. Kemana-mana Andrea pasti ikut. Sekilas, orang lain akan mengira Darius kerap membawa adik perempuannya kemana-mana. Itu bukanlah dugaan yang salah, hanya saja mereka hanya terikat persaudaraan tanpa ikatan darah. Darius di mata Andrea, adalah sosok Pangeran tampan yang kerap ia saksikan di film-film kolosal kesukaannya.Bagaimana dengan Darius? apakah ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Andrea?"Aku mencintaimu, Kak! katakan kalau kau juga mencintaiku!" desak Andrea beberapa bulan sebelum hari ulang tahunnya."Andrea, berulang kali kukatakan padamu! kau hanya kuanggap sebagai adikku, tidak lebih! kasih sayang yang kuberikan padamu, hanya sebatas itu!" ucap Darius yang sedang sibuk mengerjakan proyeknya di depan Laptop.Andrea sekarang berada di kamar Darius. Seperti biasa, ia
***Sebulan sebelum hari ulang tahun Andrea yang ke Tujuh Belas. Mantan Sopir Mahesa datang bertamu. Sebenarnya, dia telah beberapa kali datang. Hanya saja, karena tak memiliki janji dengan Mahesa, ia kerap mendapat pengusiran dari Penjaga baru yang tentu saja tak mengenalinya.Mahesa yang mengetahui itu, langsung datang menyambut Tamu itu dengan gembira. Ia persilahkan tamu itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu.Tamu itu membawa seorang gadis, namun wajahnya ia tutupi dengan selendang."Kau membawa siapa?" tanya Mahesa yang sedari tadi penasaran."Dia, adalah Cucuku.""Cucumu? bukankah kau tidak memiliki anak?""Ya! aku membawanya ke rumahku, dan mengasuhnya sampai sekarang.""Kau sangat luar biasa! aku tak pernah melihat sedikitpun sisi negatif darimu." ucap Mahesa kagum."Apa kau tak penasaran dengan wajahnya, Tuan?""Ya! tentu aku penasaran! tidak bisakah ia membuka cadarnya itu?"
***Wina dan Revan segera beranjak sebelum induk babi itu menyadari keberadaan mereka berdua di sekitar kandangnya. Mereka seolah diberi kesempatan waktu untuk berlari dari Anak Buah Darius dan serudukan induk babi itu"Sekarang kita kemana, Revan?""Entahlah! aku tak yakin akan berlari lewat jalan lintas di sana. Hanya saja, di hutan inipun sama saja! mereka, anak buah tuan Darius pasti akan kembali lagi ke sini.""Lantas, apa yang kau fikirkan sekarang?"Revan berkacak pinggang, matanya mengitari sekitar. Tiba-tiba matanya berbinar dan bibirnya tersenyum merekah. Ia melihat seorang Nelayan ikan lewat menggunakan sampan kayunya. Sepertinya Nelayan itu hendak pergi ke Pasar untuk menjual hasil tangkapannya."Ayo, Wina!""Kemana?"Wina mengikuti saja arah tarikan tangan Revan menuruni jalan menuju sungai."Pak! permisi, kami boleh menumpang?" seru Revan pada Nelayan yang sedang mengayuh itu.Nel
***Darius yang berada di luar tampak kesal karena gedoran pintu darinya diabaikan. Ia tahu dari Tetangga sekitar, bahwa Wina dan Revan sedang berada di dalam rumah. Namun sedari tadi, tak ada satu suarapun terdengar dari dalam."Dobrak!" perintah Darius pada salah seorang anak buahnya.Revan dan Wina membuka pintu belakang perlahan. Sebelum pintu didobrak, mereka sudah keluar dan sekarang sedang berusaha memanjat pagar beton di belakang rumah.Pagar beton itu setinggi dua meter. Pagar itu membatasi daerah hutan lindung dan Pemukiman Penduduk. Jadi pagar beton itu berdiri mengelilingi sepanjang pemukiman. Mungkin salah satu gunanya, agar binatang buas tidak masuk ke pemukiman dan juga agar warga tak mudah mencemari hutan."Bagaimana caranya kita melewati pagar beton ini?" tanya Wina panik."Kita lakukan seperti waktu kita memanjat tebing di pinggir sungai malam itu!" seru Revan.Wina mengangguk, Revan segera memasang badan berjongkok di dekat Wina. Tanpa dikomando, Wina langsung naik
*** Prang! Pyar! Bruk! Andrea melempar dan membanting segala sesuatu yang ada di dekatnya. Ia marah dan tempramennya tak dapat ia kendalikan. Ia bak manusia yang tengan dirasuki setan yang merubah dirinya menjadi monster dalam sekejab. "Andrea! tenanglah, Nak! semua akan baik-baik saja!" ucap Bibi Noni mengikuti langkah Andrea khawatir. "Bagaimana bisa aku tenang, Bibi?! aku membutuhkan dua orang itu untuk kelangsungan hidupku! aku jijik dan muak selalu diasupi darah pelayan dan darah-darah sembarang orang dari bank darah! mereka harus segera ditemukan, Bibi!" teriak Andrea seperti kesetanan, rambutnya acak-acakan dan liurnya keluar berhamburan saat berbicara. "Tuan Darius sedang berusaha menemukan mereka! sabarlah!" "Bagaimana aku bisa sabar, Bibi?! sudah dua hari Revan dan Wina tak kunjung ditemukan! apakah mereka sudah mati, atau bersembunyi!" ucap Andrea mendelik. Bibi Noni segera meraih telfon nirkabel di atas meja, ia mencoba menelfon Darius yang sedang entah dimana. Beber
*** "Aaaah, Revaan, tolong aku!" pekik Wina saat menyadari tubuhnya merosot dan akhirnya kembali ke dasar tebing. Revan kembali turun, ia berusaha kembali menyeret Wina ke balik pohon tumbang itu seraya matanya tetap awas ke sekitar. "Wina! Wina! sadarlah! kumohon!" ucap Revan menepuk-nepuk pipi Wina cemas. Wina menggeleng perlahan, ia menatap wajah Revan dengan tatapan sendu. "Aku masih sadar, Revan. Hanya saja, aku sudah kehabisan tenaga. Rasa-rasanya tubuhku sudah tak bisa kugerakkan lagi." "Wina, kumohon! kerahkan sedikit lagi tenaga yang tersisa. Kita akan selamat selangkah lagi, Wina! di sekitar sungai ini, anak buahnya Darius sedang berusaha mencari kita." Revan menggenggam erat tangan Wina, ia tampak panik dan sesekali mendongakkan kepalanya ke atas pohon yang tumbang itu, untuk memastikan bahwa mereka masih aman. Wina mencoba bergerak, ia duduk dan berusaha bangkit. Beruntung hari masih gelap, hingga pergerakan mereka cukup sulit untuk terlihat. "Aku bisa, Revan! bisa!
***Suara tembakan kembali terdengar di udara. Wina menutup telinganya dengan kedua tangannya, ia menempelkan kepalanya di leher belakang Revan dengan mata memicing ketakutan."Tenanglah, Wina! jangan panik! aku akan berusaha agar kita selamat!"Revan terus berlari menerobos hutan yang lembab di malam yang gelap yang hanya disinari lampu depan mobil yang sengaja ia tinggalkan dalam keadaan masih menyala. Tanahnya yang berlumpur karena mereka berada di sekitar rawa menyebabkan langkah Revan tampak berat. Namun semangatnya untuk lari dari Darius sangat besar, ia memegang erat tubuh Wina di belakang punggungnya, matanya tajam menatap ke depan."Revan! terimakasih." ucap Wina membisik di telinga Revan."Untuk apa, Wina? jangan katakan itu dahulu, kita sedang berjuang untuk lolos." jawab Revan dengan nafas tersengal-sengal."Terimakasih telah menyelamatkanku dan percaya padaku!" ucap Wina memegang erat tubuh Revan.Wina menol
***"Lepaskan, Tuan!"Wina menolak tubuh Darius dengan sekuat tenaga. Rambutnya berantakan, kerah piyamanya serong ke pundak, ia mundur bebera langkah. Ia hapus kuat-kuat bibirnya seolah jijik dengan ciuman paksaan yang baru saja terjadi."Kau menolakku?" tanya Darius tersenyum sinis."Ya, tentu dan pasti! apa yang Anda lakukan pada tubuhku di saat aku kehilangan kesadaran kemarin malam?!""Hah! sesuatu yang wajar dilakukan oleh seorang Suami pada Isterinya. Memangnya apa lagi? mencumbumu, mer4ba seluruh tubuhmu, dan menyetvbvhimu...""Hentikan! Anda benar-benar bukan manusia, Tuan! tidakkah Anda sudah kehilangan hati nuraini? Isteri? Suami? aku bahkan tidak merasa kalau kita sudah menikah!""Hati nurani? hmmm, aku sudah lama kehilangan itu. Aku hanya memiliki amarah dan ambisi."Darius kembali melangkah mendekati Wina dengan senyuman sinisnya, spontan ia menangkap kedua pundak Wina saat Wina menyadari pergeraka
***Di dalam ruangan minim penerangan, hanya beberapa lampu temaran yang menyala di sudut-sudut ruangan di taman yang membentuk seperti goa alami itu, seorang gadis tengah mengigil gemetaran bersandar di sebuah dinding batu. Ia seolah pesakitan yang sedang sakau, membutuhkan asupan bubuk putih sesegera mungkin. Atau sesosok Vampir yang kehausan dan tengah sekarat karena belum menghisap darah manusia.Andrea berkali-kali menelfon Revan, Bibi Noni dan Darius. Sepertinya semua sedang sibuk dengan pekerjaannya dan hanya menghasilkan jawaban 'tunggu sebentar!'"Aaaahkgh!" teriak Andrea kesal. Ia lemparkan ponsel mahal itu ke lantai.Tiba-tiba ponsel itu berdering, sebuah panggilan terlihat dari layar ponsel. Andrea segera merangkak gemetaran meraih kembali ponsel itu."Hallo! Bibi, lekaslah kemari! aku sudah tidak tahan lagi."Andrea memegangi tangannya masing-masing karena perasaan dingin dan menyakitkan berpadu dengan kejang yang ia
***Pagi yang cerah. Sinar mentari pagi tanpa segan masuk menyusup celah-celah lobang angin di jendela balkon kamar utama. Tirai berbahan rami yang menjuntai menutupi jendela balkon melayang-layang terkena angin yang masuk dari pintu jendela yang tak tertutup dengan benar.Sinar mentari mengenai wajah Wina yang masih tertidur pulas di atas ranjang. Rambutnya tergerai tak beraturan, tubuhnya tertutupi selimut hingga ke lehernya. Ia tiba-tiba tersentak, memeriksa seluruh tubuhnya dan panik seketika."Apa yang terjadi?!" pekiknya tertahan melirik ke kiri dan ke kanan.Wina membuka selimut itu untuk melihat kondisi tubuhnya, ia dalam keadaan telanjang sama sekali tak berpakaian. Ia perhatikan sekitar, dua lembar handuk ada di sekitar lantai seperti terlempar begitu saja. Tiga botol Wine yang sudah terbuka juga ada di atas meja, dan satu gelas yang masih berisi sedikit Wine.Ingatannya secara jelas tergambar akan kejadian semalam, ia dan Dariu
***Darius mengecup kening Wina dengan lembut, sementara Wina memicingkan matanya seakan menolak kecupan itu. Ia berusaha berontak, namun tangannya ditahan oleh Darius."Tolong, Tuan. Jika memang Anda ingin melakukannya padaku, biarkan aku dalam keadaan bersih dahulu." ucap Wina kemudian seolah mendapatkan sebuah ide. Darius seolah terhenyak, ia tersenyum dan membelai rambut Wina."Kau ingin kita mandi bersama?""Tidak! biarkan aku mandi sendiri. Aku butuh menyiapkan mentalku dahulu. Dan izinkan aku melakukannya di kamar mandi. Aku butuh sendiri! aku berjanji tidak akan lama!""Aaah, baiklah! lakukanlah! aku akan menunggumu di sini! dan pastikan kau sudah dalam keadaan siap nanti, saat keluar dari kamar mandi."Wina menghembuskan nafas lega perlahan, Permohonannya dikabulkan. Dengan perasaan takut mencoba beringsut dari ranjang, menjauhi Darius yang masih berbaring dengan bersandarkan lengan di atas ranjang sembari ters