Keesokan paginya, Alvino dan Adele masuk ke dalam kamar Diego. Kedua anak itu tiba-tiba sudah ada di samping Diego yang baru saja terbangun dari tidurnya. Diego kaget, ada Adele dan Alvino yang tidur memeluknya. "Loh, kalian kenapa ada di sini?" tanya Diego menatap mereka berdua. "Kami khawatir padamu, kemarin kau dihukum oleh Daddy, ya?" tanya Alvino menatap kasihan pada Diego. "Kakak tidak apa-apa?" Adele menatapnya dengan bibir mencebik. Diego mengembuskan napasnya pelan dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa," jawab Diego sambil menguap. "Hanya saja ... aku masih mengantuk, kalian jangan berisik, aku mau tidur lagi—" "Kakak! Kita ke sini itu khawatir, malah ditinggal tidur!" pekik Adele memukuli lengan Diego. Diego kembali bangun, ia duduk menyandarkan punggungnya pada Alvino dan anak itu mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamar. "Hmmm sebenarnya ... aku tidak percaya kalau Daddy sangat menyebalkan," ucap Diego tiba-tiba. "Aku tahu aku salah, tap
Diego tidak bisa tidur malam ini, setelah sejak siang mengunci diri di dalam kamar, tidak mau bertemu dengan siapapun. Ia merasa marah dan kesal pada semua orang, terutama pada Caesar dan Vidia. Kini, anak laki-laki bertubuh kecil itu meringkuk memeluk boneka beruang milik Adele. Wajah Diego masih tampak muram. "Ternyata selama ini aku punya Daddy yang buruk!" serunya geram. "Tidak bisa membedakan wajah anaknya! Menelantarkan aku dan Dylan! Dan yang paling keterlaluan ... Daddy meninggalkan aku, Dylan, dan Mommy karena Nenek Sihir jelek itu!" Diego menyeka air mata dan menyibak selimutnya. Ia melihat sisa makan malam yang pengasuh antarkan untuknya. Setelah dimarahi oleh Caesar, Diego sejak tadi berpikir matang-matang untuk pulang dan kembali saja pada Chloe. Bukan berarti ia takut pada Vidia, tetapi karena Diego juga marah pada Caesar. Diego duduk di tepi ranjang dan tertunduk diam. "Kalau ada Dylan, pasti dia akan melindungiku. Tapi di sini, aku justru melindungi Alvino da
"Alvano! Alvino! Adele ... buka pintunya sekarang juga!" Suara pekikan keras Caesar yang marah-marah terdengar dari luar. Laki-laki itu mengetuk pintu kamar di kembar dengan keras. "Buka pintunya atau Daddy akan dobrak!" pekik Caesar lagi. "Satu! Dua...!" Diego mendengkus kesal dan menghentakkan kakinya. Anak itu membuka pintu kamar perlahan-lahan diikuti oleh dua kembarannya yang bersembunyi di belakangnya. Caesar menatap geram pada kedua anak itu. Ia menarik telinga Diego dan Alvino saat itu juga. "Aaaa ... Daddy! Daddy, sakit tahu! Aduhh...!" "Daddy tidak boleh seperti ini! Ya ampun!" teriak Alvino memegangi telinganya. Caesar membawa mereka ke depan kamarnya dan menunjuk ke arah bawah keset. Anak itu menundukkan kepalanya takut. "Siapa yang yang bermain petasan?!" sentak Caesar pada ketiga anaknya. "Ayo mengaku! Kenapa kalian meletakkan petasan di bawah keset di kamar Daddy?!" Caesar menekuk kedua lututnya menatap Alvano dan Alvino. "Mau jawab atau dihukum?" "S
Sejak pagi, Diego tampak antusias. Ia mengekori Eric dan meminta pada Paman berwajah galak itu untuk mengantarkannya membeli mainan di luar. Eric tidak menolak, ia mengantarkan si kembar tiga ke toko mainan saat ini dan Eric menunggunya di luar. Di sana, Diego mengajak dua kembarannya mengambil sebuah petasan kecil-kecil berwarna merah. "Kau yakin, Diego? Ini berbahaya, tahu! Kalau rumah kita kebakaran, bagaimana?" tanya Alvino menatapnya ragu. "Kebakaran tinggal bangun lagi, Daddy kita kan orang kaya!" Diego menepuk pundak Alvino. "Jangan khawatir, aku dan Dylan sudah sering main petasan saat Mommy tidak ada." Wajah Adele terlihat begitu tertekan. "Kak Dylan dan Diego rupanya kembar bar-bar, ya? Sukanya menantang maut!" "Cerewet kau, Kurcaci!" sinis Diego. Anak laki-laki itu membawa dua kotak kecil berisi petasan kecil. Diego membayarnya diam-diam dengan uangnya sendiri dan menyembunyikan ke dalam saku jaket merah yang ia pakai. Setelah itu, ia memilih mainan-mainan yan
Caesar membawa Alvino pulang kembali ke rumah. Kedatangannya disambut oleh Vidia bersama kedua kembarannya Alvino yang langsung memeluknya erat-erat. Vidia mendekati anak itu dan memeluknya, tetapi Alvino berusaha melepaskan pelukan Vidia darinya. "Sayang, Mami minta maaf ya ... kalau Mami menyakiti hati Alvino," ucap Vidia pada anak itu. "Apa sih, Mam!" anak itu menjawabnya dengan ketus. "Alvino tidak mau sama Mami!" "Mami 'kan sudah minta maaf sama Adik Alvino. Tidak boleh marah sama Mami, Sayang," bujuk Vidia pada anak itu. "Tidak mau ya tidak mau!" Vidia menekan kekesalan di dalam hatinya pada bocah satu ini. Bocah menyebalkan yang membuatnya dimarahi oleh Caesar. Alvino melengos pada Vidia, anak itu mendekati kembarannya dan memeluk mereka berdua. "Kau tidak apa-apa, Alvino?" tanya Diego menatapnya serius dan khawatir. "Aku baik-baik saja, kok." "Kakak kenapa meninggalkan kita semua? Kita khawatir tahu!" omel Adele seperti biasa. "Princess khawatir sekali, Kaka
Caesar dan Chloe kini berada di sebuah restoran mewah yang berada tak jauh dari rumah sakit. Mereka berdua benar-benar menuruti keinginan Alvino yang sangat aneh-aneh itu. Padahal Alvino biasanya tidak pernah banyak maunya seperti ini. Caesar duduk di samping Chloe dan mengusap pucuk kepala Alvino yang duduk di pangkuan dokter cantik itu. "Daddy sangat khawatir padamu, Sayang. Sejak siang Daddy mencarimu ke mana-mana," ujar Caesar menatap anaknya, sebelum beralih menatap Chloe. "Kenapa Anda tidak menghubungi saya, Dokter Chloe?" tanyanya. "Awalnya saya juga mau menghubungi Tuan, tetapi Alvino melarang saya, Tuan," jawab Chloe. "Saya juga kaget melihat Alvino datang siang tadi sambil menangis, mengadu pada saya kalau Daddy dan Maminya jahat. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Alvino, sampai-sampai berani ke rumah sakit sendirian." Mendengar penjelasan Chloe barusan, Caesar dibuat geleng-geleng kepala dengan gebrakan tingkat baru Alvino. Anak itu menoleh pa