Beranda / Urban / Kembaran Sang CEO / 04. Sosok Pencuri Brankas

Share

04. Sosok Pencuri Brankas

Penulis: Fit
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-08 08:52:15

Malam terasa sangat dingin, Heris menarik selimutnya lebih tinggi lagi hingga menutupi dada. Namun dahinya mulai berkerut saat rambutnya seperti diterpa angin kencang. Akhirnya ia segera membuka mata. Ia melirik ke arah jendela yang ada di dekat ranjang. Kedua matanya terbelalak saat menyadari kalau jendelanya sudah terbuka lebar.

"Bagaimana bisa?" gumam Heris sembari turun dari ranjangnya.

Baru saja menjejakkan kakinya di lantai. Matanya langsung tertuju pada lemari yang sudah terbuka lebar. Untuk kedua kalinya ia mendapati semua pakaian sudah berserakan di lantai.

"Brankasnya!"

Heris melangkah cepat ke arah lemari tersebut. Kedua matanya terpejam erat, lalu sebelah tangannya memukul lemari dengan kuat. Ia kehilangan satu-satunya barang yang mungkin berisi kepingan puzzle pembunuhan Haris.

"Papa!"

Teriakan Hamdan yang begitu keras menyeruak masuk ke telinga Heris. Secepat mungkin ia berlari keluar dari kamar. Ia menuruni tangga dengan terburu-buru. Begitu tiba di bawah, ia mendapati Aleya yang sudah tergeletak di lantai dengan bersimbah darah.

Tubuhnya mematung, memandangi darah yang mulai mengalir di lantai. Sementara Hamdan dengan cekatan langsung menarik Heris ke arah telepon rumah.

"Papa, panggil ambulance!" seru Hamdan.

Heris menaikkan kedua alisnya. "Ya? Ya, ambulance!"

Telunjuk Heris mulai bergerak menekan nomor-nomor yang ada di sana. Setelah berhasil memanggil ambulance, kedua kakinya mulai terasa lemas. Hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Hamdan menggenggam sebelah tangan Heris dengan erat.

"Papa jangan takut. Ada Hamdan," katanya sembari tersenyum.

Bagaimana bisa anak seusianya berusaha menenangkan orang dewasa? Padahal wajahnya juga sudah sangat pucat, batin Heris.

Tiga menit kemudian, ambulance tiba di depan rumah. Lalu mereka segera membawa Aleya yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah sakit terdekat. Hamdan dan Heris mengikuti ambulance menggunakan mobil pribadi.

Saat hendak keluar dari halaman rumah, tanpa sadar Heris melihat seseorang mengenakan masker dan topi hitam tengah melambaikan tangan ke arahnya. Di samping orang itu, nampak sebuah kotak yang tidak lain adalah brankas.

Namun Heris tidak bisa menghentikan mobilnya. Sebab ia harus pergi ke rumah sakit dan memastikan keadaan Aleya baik-baik saja. Terlebih lagi, Hamdan nampak sangat khawatir. Terlihat jelas dari caranya menggenggam kedua tangan seolah kedinginan.

"Kamu gak bawa jaket?" tanya Heris.

Hamdan menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. Heris menghela napas pelan, lalu menepikan mobilnya. Ia melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Hamdan menggeleng lagi saat Heris menyodorkan benda tersebut.

"Nanti Papa kedinginan," ujar Hamdan.

Heris menaikkan sebelah alisnya. "Papa kedinginan? Papa pernah telanjang di tengah jalan yang suhunya nol derajat celcius."

Kedua sudut bibir Hamdan langsung tertarik mendengarnya. "Gak mungkin, Pa."

"Kenapa?"

"Cuma orang gila yang telanjang di tengah jalan."

Heris mendecak pelan, lalu meletakkan jaket itu di pangkuan Hamdan. "Intinya Papa gak akan kedinginan."

Hamdan tertawa kecil, namun ia tidak lagi protes. Ia langsung mengenakan jaket itu dengan senyum yang tidak kunjung pudar dari wajahnya.

"Aku seneng deh, Pa."

Heris melirik sekilas ke arah Hamdan. "Seneng kenapa? Mama kamu lagi sakit loh."

"Aku seneng, soalnya saat kejadian seperti ini, Papa ada di samping aku." Hamdan menggeleng pelan. "Maksudnya bukan Papa yang dulu."

"Memangnya Papa yang sekarang, kenapa?"

"Papa lebih asik dan bisa diajak ngobrol. Aku ngerasa punya papa beneran," jawab Hamdan dengan senyum lebar.

Dahi Heris langsung berkerut. "Selama ini kamu gak ngerasa punya papa beneran?"

Hamdan mengangguk. "Aku sadar cuma anak angkat, Pa. Jadi selama ini aku nyoba buat kasih batasan."

Jadi dia cuma anak angkat? Tapi, anak sekecil ini ... Bagaimana bisa dia mengerti batasan?

~~~

Duk!

Punggung Heris terpaksa menabrak dinding dengan keras. Sementara William di depannya kini melayangkan tatapan tajam. Sebelah tangannya mencengkram kuat bahu Heris.

"Apa yang terjadi? Saya sudah pernah bilang, jangan melewati batas, 'kan?"

Heris menautkan kedua alisnya. "Jadi, kamu mengira saya yang sudah buat Aleya masuk rumah sakit?"

"Tidak ada orang asing yang bisa dicurigai selain Anda!"

Heris langsung mendorong William menjauh darinya. Ia tidak menyangka akan dituduh menjadi tersangka seperti ini. Padahal saat itu, ia baru saja terbangun dari tidur.

"Kenapa harus saya?! Saat itu juga ada Hamdan! Bahkan dia lebih pantas untuk dijadikan tersangka, karena ada di samping Aleya!"

Bugh!

Heris langsung menyeka sudut bibirnya yang baru saja terkena pukulan. Ia menatap tajam ke arah William yang masih nampak belum puas. Sebelah tangannya terkepal kuat, ia berniat membalas pukulan uang dilayangkan oleh pria tersebut. Namun kedatangan Hamdan langsung menbuat Heris mengurungkan niatnya.

William tersenyum manis ke arah Hamdan dan langsung mengacak rambut anak tersebut. "Ada apa, Hamdan? Kenapa kamu gak nunggu di depan ruangan Mama?"

"Aku mau nunggu bareng Papa," ujar Hamdan sembari memeluk Heris.

Dahi anak itu berkerut saat menengadahkan kepalanya. Ia melihat luka di sudut bibir Heris.

"Papa habis dipukul?" tanya Hamdan dengan raut wajah khawatir.

Heris tersenyum tipis sembari mengusap sudut bibirnya, lalu ia menggeleng. Namun Hamdan nampaknya tidak percaya. Ia berbalik dan langsung memukuli perut William.

"Kenapa Om mukulin Papa terus sih? Emangnya Papa salah apa sama Om?!" kata Hamdan dengan suara melengking.

Heris mengerutkan dahinya. Apa selama ini Kak Haris selalu dipukul sama dia?

Secepat mungkin Heris menarik Hamdan ke dekatnya. Lalu ia menggendong anak itu menuju ke depan ruang ICU. Sementara William masih berdiri di tempatnya. Ia terus mengawasi kedua orang tersebut tanpa berkedip.

Hingga fokusnya mulai terbagi saat ponsel di sakunya bergetar. Ia langsung berjalan cepat menuju ke arah pintu tangga darurat saat melihat nama yang menghubunginya. Rahangnya mengeras begitu penelepon mulai menyapanya terlebih dahulu.

"Sudah lama ya, Wil?"

Sebelah tangan William terkepal kuat. "Apa lagi yang Anda inginkan?"

"Kamu pikir bisa terus bersembunyi dan memanipulasi semuanya?"

"Apa maksud Anda?"

Terdengar suara tawa dari seberang yang membuat William semakin geram. Ia mengeratkan cengkramannya pada ponsel.

"Jangan tertawa, sialan!"

"Jangan terlalu kesal begitu. Sekarang Anda bisa memeriksa kotak e-mail untuk mendapatkan jawabannya, Tuan William."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kembaran Sang CEO   17. CEO Palsu?

    William menoleh ke segala arah dengan pandangan yang masih buram. Dahinya berkerut saat melihat banyak sekali foto yang menempel di dinding. Kedua matanya langsung terbuka lebar saat menyadari ada wajahnya di sekian banyaknya foto yang menempel di ruangan tersebut.Sial ... ruang apa ini?Saat tengah sibuk berpikir, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka lebar. Nampak dua orang pria dengan setelan jas mulai mendekat ke arahnya. Salah satu dari pria itu mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal dan mendekatkannya ke depan wajah William."Anda tau orang ini?"William menggeleng cepat. "Tidak, saya tidak tau."Bugh!Pukulan kuat langsung mendarat tepat di wajah William. Pelakunya tertawa begitu senang, apalagi melihat darah segar yang mengalir di sudut bibir William."Jawab yang benar kalau tidak mau dipukul!" bentak salah satunya."Jangan terlalu bersemangat, Rey," ujar pria yang terlihat tenang di belakang."Baik, Sena."Setelah itu, Sena mengambil alih kartu tanda pengenal yang ada d

  • Kembaran Sang CEO   16. Mayat di Ventilasi Udara

    Heris mempererat genggamannya dengan Aleya. Berulang kali ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Ia melirik sekilas ke arah wanita tersebut."Kamu siap?" tanya Heris.Aleya mengangguk sembari tersenyum. "Siap, kamu gimana?"Heris tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Belum siap."Aleya terkekeh pelan. "Kalau gitu, kita pulang dulu aja, gimana?"Senyum Heris mengembang. Mereka langsung berbalik hendak pergi. Namun pintu di belakangnya tiba-tiba saja terbuka. Keduanya langsung mematung di tempat."Kalian mau ke mana? Sudah sampai, kenapa mau pergi lagi?"Suara ini ...Heris menelan ludahnya dengan kasar. Keringat dingin mulai mengalir di sekitar wajahnya. Ia sangat ingin melarikan diri saat ini. Namun tubuhnya seperti membeku dan kedua kakinya menempel di lantai."Haris?"Heris memejamkan kedua matanya dengan erat saat suara itu terdengar tepat di sampingnya. Apalagi saat bahunya ditepuk dari belakang."Mas?"Kedua matanya sontak terbuka. Nampak Aleya yang menatapnya dengan wajah

  • Kembaran Sang CEO   15. Ingatan Masa Lalu

    Aleya bergegas bangun dari ranjang saat sinar matahari pagi mulai menyeruak masuk ke matanya. Ia menoleh ke segala arah, namun sosok Heris tidak ada di ruangan tersebut. Secepat mungkin ia berlari keluar dari sana. Langkahnya begitu cepat menyusuri koridor, hingga saat tiba di depan pintu, lengannya ditahan oleh seseorang."Kamu mau ke mana, Leya?"Aleya sontak menoleh ke arah suara tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat Heris yang sedang tersenyum. Pria itu membawa sebuah plastik berisi makanan ringan."Kamu habis dari mana?" tanya Aleya.Heris mengangkat sebelah tangannya dan menunjukkan plastik tersebut. "Beli ini buat Hamdan."Tanpa terasa kedua matanya terasa perih hingga pandangannya mulai memburam. Ia langsung memeluk pria itu dengan erat. Heris sempat terkejut, namun detik berikutnya ia membalas pelukan Aleya."Kenapa sih? Kamu mimpi buruk?" tanya Heris.Aleya menggeleng pelan. "Aku kira kamu ninggalin aku.""Gak mungkin, lah!" jawab Heris dengan cepat.Aleya langs

  • Kembaran Sang CEO   14. Kecelakaan Yang Disengaja?

    Tubuh Heris terhuyung ke samping hingga menabrak tempat sampah. Sedangkan motor yang menabraknya pergi begitu saja. Orang di sekitar langsung membantu Heris yang tergeletak dengan tubuh lemah.Aleya mematung di tempatnya, bahkan sampai Heris dibawa ke dalam rumah sakit oleh orang-orang. Ia baru tersadar saat Hamdan menggoyangkan tangannya dengan kuat."Mama! Ayo!" seru Hamdan.Aleya terdiam dan hanya mengikuti ke mana langkah kecil Hamdan pergi. Mereka melintasi koridor rumah sakit mengekori Heris yang dibawa pergi menuju ke salah satu ruangan.Tanpa mereka sadari, sejak tadi nampak pasien mencurigakan yang terus mengawasi. Setelah Aleya melintas, ia langsung menghubungi seseorang. Sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman."Rencana B selesai."~~~"Sampai kapan kita membiarkan CEO palsu itu? Dia tidak juga jera walau kita sudah berulang kali mencelakai dia," ujar seorang pria berjas hitam yang duduk dengan tangan menopang wajah."Bisa diam dulu, Rey?"Rey, wakil direktur keu

  • Kembaran Sang CEO   13. Sisi Lain Heris

    Heris bergegas bangun dari ranjang, lalu mendorong Dimas hingga menyingkir dari hadapannya. Ia menatap pria itu dengan sorot tajam. Setelah itu ia berjalan cepat ke arah Aleya. Tanpa mengatakan apa pun, ia menarik wanita itu keluar dari ruangan tersebut."Jangan mudah percaya sama orang, Leya!" kata Heris dengan penuh penekanan.Aleya mengerutkan dahinya, ia tidak bisa menahan bibirnya yang mulai melengkung. "Apa? Kamu manggil aku apa?""Tolong jangan ngalihin pembicaraan. Aku serius loh!""Loh? Kamu marah, Mas?" Aleya menghentikan langkahnya hingga Heris ikut berhenti dan menoleh. "Kok tumben kamu marah gini?"Heris mendesis pelan, sebelah tangannya menyisir rambutnya ke belakang. "Aku gak boleh marah saat ngeliat kamu digodain orang asing?""Kamu cemburu?"Heris langsung melepas genggamannya dari tangan Aleya. Ia terdiam sejenak sembari menatap wanita itu lurus tanpa ekspresi. Hingga decakan pelan lolos dari mulutnya."Gak tau deh. Aku mau cari Hamdan dulu," ujar Heris.Senyum Aleya

  • Kembaran Sang CEO   12. Cemburu

    Heris mencengkram ponselnya dengan erat. Panggilan sudah berakhir sejak beberapa menit lalu. Hingga tubuhnya mulai terhuyung saat petugas keamanan datang. Aleya yang baru tiba langsung memeluknya dari samping."Gak apa-apa. Ini bukan salah kamu," ujar Aleya.Heris melirik wanita itu, ia menggigit bibir bawahnya. Lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Untuk sesaat ia merasa sangat tenang. Tanpa sadar, pintu ruangan sudah terbuka. Aleya menjauhkan tubuhnya, lalu menyodorkan sapu tangan yang berasal dari tasnya."Tutup mulut dan hidungmu pakai ini kalau mau masuk," ujar Aleya.Heris tersenyum, ia segera menempelkan benda itu hingga menutupi setengah wajahnya. Setelah itu ia langsung masuk ke dalam ruangan. Beberapa pengawal yang terluka nampak tengah merayap di lantai sembari terbatuk-batuk.Heris yang panik langsung mengulurkan kedua tangannya untuk membantu mereka berdiri. Tanpa sadar ia menghirup asap yang ada di ruangan tersebut."Mas! Sapu tangannya!" seru Aleya.Heris menaikka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status