Home / Romansa / Kembaran Suamiku / Ucapan Mas Hasyim--kembaran suamiku--yang tak sengaja kudengar

Share

Ucapan Mas Hasyim--kembaran suamiku--yang tak sengaja kudengar

last update Last Updated: 2022-01-18 16:15:07

Kembaran Suamiku #2

Ia mengerutkan kening. Tersirat tanya di wajahnya.

"Loh, kan kita sudah menikah tiga hari yang lalu."

"Jadi, ini Mas Hisyam?" Mataku membelalak menatap kening dan menjurus ke wajahnya serta turun melihat kaki yang masih memakai sepatu pantofel hitam.

"Iya, Dek." Mas Hisyam mengulas senyum dan mengusap rambutnya dengan jari, beriringan dengan dengkusan napasnya.

Huh. Lega!

"Ada apa sih, Dek Ara sayang?" Ia mengerutkan kening.

Wajah Mas Hisyam terlihat pucat bahkan matanya sedikit sayu.

Ternyata dia suamiku. Mungkin efek pandangan Mas Hasyim menuju mataku tadi pagi sehingga aku seperti trauma dan terkunci tak bisa membedakan atau karena faktor kelelahan. Entahlah.

Mulai saat ini, aku akan meneliti dan mengenali suamiku lebih dalam lagi. Aku hanya takut ada kekhilafan terjadi.

"Kok, udah pulang, Mas?" tanyaku seraya mengusap bahunya dengan tangan yang masih dingin dan gemetar karena kebingungan yang kuciptakan sendiri.

"Iya, Dek. Mas sedikit tak enak badan, kepala Mas pusing sekali," terangnya seraya mengusap daguku lalu menekan-nekan pelipisnya sendiri.

"Astaghfirullahal'adziim, istirahat dulu, Mas, aku ambilkan minum."

"Ibu udah minum obat?"

"Udah, Mas."

"Sabar ya, Sayang! Mas akan carikan perawat untuk Ibu. Kamu kelihatan capek sekali, sampai bingung mengenali suamimu sendiri." Mas Hisyam tampak mengerti dengan apa yang kurasakan saat ini. Begitu terharu dan penuh syukur aku memilikinya.

"Mas, selagi aku belum hamil, nggak apa-apa aku ngurus Ibu dan rumah. Toh, aku

'kan nggak kemana-kemana, Mas. Nanti kalau aku udah hamil, baru cari perawat untuk Ibu, Mas. Supaya nggak kelelahan aja."

Mas Hisyam menggenggam tanganku, menarikku dalam pelukan dadanya yang bidang.

"Makasih ya, Dek," ucapnya seraya mengulas senyum. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.

Detak jantung itu, benar-benar Mas Hisyam.

Kukenakan gamis ungu dan jilbab instan dengan warna senada, dan keluar mengambilkan air minum serta kue untuk Mas Hisyam sekaligus menengok Ibu kalau-kalau sudah bangun.

***

Senja pun tiba.

Rumah sudah lengkap penghuninya. Mas Hasyim sudah pulang dari kantor berkutat di kamar dan keluar sudah dalam keadaan bersih dan segar memakai kaus dan celana tiga perempat. Entahlah, orang itu sepertinya tak punya lelah, terlihat dari kegiatannya yang setelah membersihkan diri langsung mengunjungi ibunya di kamar.

Dialah yang sangat telaten mengurus Ibu dibandingkan suamiku -Mas Hisyam-.

Aku masak dan menyiapkan makan malam setelah memandikan Ibu.

Suasana begitu hening, karena belum ada anak kecil di sini.

"Mas, ayo makan dulu," ajakku, menghampiri  sang arjuna yang menghentikan gerak jemarinya di atas tombol laptop di ruang kerjanya.

Kulihat Mas Hisyam sesekali memijit pelipisnya, tanganku memijit keningnya, supaya rasa sakit itu berkurang.

"Iya ... Nanti Mas nyusul," ucapnya singkat.

Tidak ada sebutan 'Dek', tidak ada sebutan 'Sayang'. Bahkan tadi hanya memanggilku dengan nama panggilan.

Ah sudahlah!

Mungkin suamiku itu sedang benar-benar tidak enak badan, sehingga moodnya berkurang. Kenapa aku jadi baperan gini, sih?

Aku beranjak ke kamar Ibu, terdengar Mas Hasyim seperti berbicara pada Ibu, aku urungkan diri untuk masuk. Tak enak bila mengganggu mereka yang sedang berbincang hanya karena kehadiranku.

Samar terdengar sampai kata,

"Bu, Maafkan Hasyim ya, Bu! Impian Hasyim tertunda untuk meminang seseorang. Harusnya, Hasyim duluan yang menikah. Bukan Hisyam.

Sebagai seorang kakak meski kami berada di rahim Ibu secara bersama, Hasyim akan bertanggung jawab menjadi pelindung bagi Hisyam dan Ibu.

Tapi, yang terberat bagi Hasyim adalah wanita yang Hasyim incar dari dahulu sudah ...." Kalimat itu terpotong karena teriakanku.

"Allaah!" pekikku.

Belum sampai selesai, Mas Hisyam menepuk pundakku. Kaget bukan kepalang membuatku berteriak, sehingga Mas Hasyim pun bergegas keluar.

"Ada apa?"  tanya Mas Hasyim menatapku dan Mas Hisyam bergantian.

"Loh, Dek? Kok disini? Ngapain?" Mas Hisyam menatapku.

Aku menggeleng, "Enggak, enggak kok, Mas. Cu-cuma mau ngajak Ibu makan bareng kita. Permisi," kataku melenggang masuk ke kamar Ibu. Mendorong kursi roda ke arah ruang makan.

Sungguh tebal sekali rasanya mukaku menahan malu antara mereka.

***

Sebelum meletakkan tubuh di ranjang, aku memijit tubuh suamiku.

Kusimak sampai aku harus benar-benar menghafalkan dan mengenalinya.

Kalau Ibu mertua sehat, pasti beliau bisa menceritakan perbedaan dua putranya itu.

Mungkin ini memang menjadi PR tersendiri untukku.

Tidak semua orang memiliki daya ingat yang kuat. Tapi mulai sekarang, aku harus lebih intens.

Mengolah otak agar mengerti perbedaan yang terlihat sama.

"Mas, bolehkah aku meminta sesuatu?"

Dengan memberanikan diri, kukatakan ini pada suamiku --Mas Hisyam.

Mas Hisyam, suamiku itu menoleh dan duduk menghadap wajahku.

"Minta apa, Dek?" tanyanya lembut.

"Mas, tolong pangkas rambutnya yang beda dari Mas Hasyim, ya?" Aku tertunduk malu.

"Memangnya kenapa, Sayang?"

Mas Hisyam malah terkekeh mendengar ucapanku. Aneh ya?

Apakah terdengar lucu ?

"Biar jadi tanda aja biar nggak salah akunya," ucapku sambil mengangkat alis.

Dia tersenyum, manis sekali. Membuatku takut terkena serangan diabetes akut.

"Memang, tidak mudah membedakan antara Aku dan kakak kembarku, kecuali ayah dan ibu, Dek. Eyangku dulu, dari kami lahir sampai kami besar saja selalu salah memanggil. Ok, Sayang. Mas turuti permintaanmu. Asal jangan ngalungin Mas pake pita merah dan kerincingan aja. Nanti malah kayak kucing. Hehehe," jawabnya diiringi gurauan.

"Ah, Mas bisa saja," ucapku menutup mulut.

Kami pun terkekeh bersama.

Alhamdulillah sedikit bebanku menjadi ringan, karena suamiku menuruti apa yang kuminta.

***

Pagi sekali, usai subuh aku bergirlya di dapur setelah menengok Ibu ke kamarnya.

"Ara, ada air panas ?" ucap seseorang di belakangku.

Aku terkejut dan menoleh, dekat sekali dari tempatku berdiri. Ternyata Mas Hasyim. Ya dia adalah Mas Hasyim, kembaran suamiku.

Karena tadi suamiku memakai kaus abu-abu, sedangkan ini memakai kaos putih dengan model yang sama.

"Ada, Mas," jawabku.

"Oh iya, saya minta untuk merendam kaki Ibu."

"Sebentar, Mas. Saya ambilkan."

Kuambilkan baskom khusus merendam kaki Ibu, dan mengisinya dengan air panas yang dicampur air dingin. Kembaran suamiku itu menunggu di kursi meja makan.

"Mas, ini airnya. Aku bawa ke kamar Ibu, ya?" tawarku padanya. Dia bergeleng.

"Oh nggak usah, biar saya saja," jawab Mas Hasyim (kembaran suamiku) sambil tersenyum. Ia mendekatiku meraih baskom yang kubawa.

Ada tatapan berbeda dari bola matanya, bahkan lebih dalam dibandingkan suamiku sendiri.

Astaghfirullah.

Kupalingkan wajah dan kembali ke dapur untuk melanjutkan masak.

"Sayaaang, masak apa?" Tangan kekar itu melingkar di tubuhku.

Suara itu sama!

Mengapa harus sama?

Aku menoleh, kaus abu-abu membalut tubuhnya.

"Mas ... Malu sama Mas Hasyim," ucapku pada suamiku.

Dari ruang makan terlihat Mas Hasyim kembaran suamiku itu melihat kami, dan langsung memalingkan wajah, ia berangsur meninggalkan ruang makan.

Seperti ada yang mengganjal, tetapi apa?

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembaran Suamiku   48. Yang diderita Ara

    Kembaran Suamiku#48Sini, lihat telapak tanganmu," kata Mbak Sukmo pada Alisa. Alisa pun menyodorkan tangannya pada dukun tersebut. Lalu Mbah Sukmo membaca garis tangan Alisa sangat saksama dan komat-kamit membaca mantra. "Jika apa yang kamu kirimkan gagal, maka kamu harus bertapa di bawah Gunung Lawu selama tujuh hari tujuh malam. Jika tidak ...." Mbah Sukmo menjeda perkataannya. "Jika tidak, kenapa, Mbah?" timpal Alisa mengerutkan keningnya. "Jangan banyak tanya!" bentak Mbah Sukmo pada Alisa. Alisa terkejut dan langsung menunduk serta mengangguk segan terjadap pemuja kesyirikan tersebut. "Kamu akan matii dibunuuh oleh kejahatannmu sendiri," kata Mbah Sukmo melanjutkan. "Ma-mati?" Alisa tercengang mendengarnya. "Ya!" jawab ketus Mbah Sukmo. "Saya yakin pasti tembus ke orangnya, Mbah," kata Alisa begitu yakin. Sedangkan preman botak hanya ketakutan dan diam dengan

  • Kembaran Suamiku   47. Dukun bertindak

    Kembaran Suamiku#47"Apa? Preman, Bu Marni?" tanya Hasyim terkejut. "Iya, Pak Hasyim. Tapi untung Ibu sangat cerdas. Preman itu diajak ke sini untuk mengantar Ibu. Sekarang Ibu Ratna ada di kamarnya," terang Bu Marni sangat terharu dan senang karena majikannya dalam keadaan selamat. "Se-serius, Bu Marni? Masyaallah alhamdulillah." Hasyim pun saking senangnya berlari ke kamar ibunya. Bu Marni turut bahagia dan mengunci pintu rumah dengan cepat"Assalamualaikum, Ibu," sapa Hasyim setelah berdiri di ambang pintu. Tampak Bu Ratna usai salat dan basah netranya. Hasyim memeluk ibunya itu dengan erat. Bu Ratna justru menangis tersedu. Mengusap kepala putranya berkali-kali. "Alhamdulillah Ibu selamat," kata Hasyim sangat bahagia. Alhamdulillah Ibu sudah melewati semua ini nak tapi Ibu menghabiskan tabungan sebanyak 30 juta untuk membayar preman itu agar mau jujur dan mengantar Ibu pulang." Bu Ratna menje

  • Kembaran Suamiku   46. Penculikan Bu Ratna

    Kembaran Suamiku46. penculikan Bu Ratna"Ara, kamu yang tenang dulu ya.. Ini semua biar Mas yang urus. Ini bukan ranah kamu.. Okay!" titah Hasyim agar istrinya tidak banyak beban pikiran. Ara menghela napas perlahan dan menghembuskannya perlahan. Mencoba tenang atas kabar sang mertua tercinta. Sementara di kediaman sang ibu Hasyim, Bu Marni sibuk mencari majikannya itu. Ternyata di sebuah gudang, Ibu Ratna diikat tangan dan kakinya dan mulutnya dilakban oleh dua orang preman tidak tahu diri. Pasalnya sasaran mereka itu adalah wanita paruh baya yang tidak tahu apa-apa. "Siapa kalian?" Lemah Ibu Ratna bertanya pada kedua preman tersebut setelah lakban di mulutnya dibuka. "Tak perlu tahu, kamu, nenek tua!" gertak preman itu."Preman suruhan siapa kalian? Biar kubayar lebih tinggi kalian dari pada bayaran majikan kalian!" seru Bu Ratna menantang. "Kaya juga kau, nenek tua!" kata salah seorang preman itu k

  • Kembaran Suamiku   45. Teror untuk Ibu

    Kembaran Suamiku 45. Teror untuk IbuSetelah 3 tahun menikah, aku bersama Mas Hasyim dengan bahagia merawat Zafran dan Afrina. Selama di Kota Gudeg ini, Mas Hasyim sangat menikmati pekerjaannya. Mas Hasyim libur, ia mengajak kami pesta kebun. Baru lekas menggelar tikar, dering ponsel Mas Hasyim berbunyi. "Syim, Ibu seperti diteror seorang lelaki berjaket dan bertopi hitam," ujar Ibu dalam telepon yang suaranya dikeraskan Mas Hasyim. "Astaghfirullah, Ibu telepon polisi dulu, Bu agar ada penjagaan," jawab Mas Hasyim yang kudengar. Semoga ibu tidak kenapa-napa. Aku sangat takut karena beliau sudah sepuh dan harus diawasi Bu Marni. "Suruh orangnya Mas untuk jaga Ibu," bisikku panik pada Mas Hasyim yang tengah menelpon ibunya. Tangan Mas Hasyim mengangkat jempolnya dan mengangguk padaku. Di saat suasana santai seperti ini ada saja keadaan yang membuat kami panik. Apalagi mengenai ibu yang tentu tak bsia berbuat ban

  • Kembaran Suamiku   37

    Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuPagi masih buta, mendadak sekali mengatur waktu untuk jenguk Ibu dan Mama Papa serta menjatuhkan talaq pada istri pertamaku.Suasana lenggang karena masih pagi, bisa diperkirkan perjalanan hanya dua jam lebih.Mengantar Ara dan Zafran serta pengasuhnya ke rumah Mama, tak lupa buah tangan kami bawakan untuk Mama dan Ibu."Jam sepuluh nanti bangunin Mas ya, Sayang. Mas mau selesaikan urusan dengan Alisa.""iya, Mas. Tidurlah! Pasti lelah habis safar."***"Mas, jam sepuluh."Suara lembutnya masuk ke dalam mimpi.Bangun, membersihkan diri dan bersiap. *Setelah sampai depan gerbang rumah Ibu Alisa, memarkirkan mobil dan masuk. Memencet tombol bel di samping pintu utama.Krek..Alisa membukakan pintu, akupun masuk.Kutepis tangan gempalnya yang hendak merangkul. Dia berangsur mundur. Wajah pias seketika muncul."Mas...""Duduklah, Alisa." ia duduk di sofa."Kedat

  • Kembaran Suamiku   43

    44Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuTrauma?Ah, aku sama sekali tidak kepikiran tentang trauma Ara. "Oh, saya rasa tidak, Mas."Jawabku sekenanya."Ini tanda terimakasih saya, tidak seberapa, Mas."Kugenggamkan amplop cokelat berisi nominal untuknya."Tidak usah, Mas. Saya ikhlas menolong istri Mas.""Tolong diterima, Mas. Ini amanah dari istri saya.""Jika begitu, maka saya terima. Terimakasih ya, Mas.""Sama-sama. Saya pamit dulu, Mas Agung."Ia pun mengangguk dan menjabat tanganku.***"Pa, besok Mama kontrol ke klinik. Papa besok udah ke Jogja ya?" Ucap Ara saat di depan Zafran dan Afrina.Tapi panggilan itu lebih kusuka, kayak ada manis-manisnya gitu. Sampai lupa, besok jadwalku masuk setelah ambil cuti istri melahirkan."Apa Papa tunda dulu, Ma? Papa takut Mama pergi tanpa Papa."Kejadian itu menjadi trauma bagiku. Terlebih Ar

  • Kembaran Suamiku   42

    42Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuPov. Hasyim*Kulihat kedua netranya terpejam. "Sayang?"Panggilku padanya, mengusap pipi yang putih nan lembut."Dia ngantuk, Nak. Biar tidur. Semalaman nggak bisa tidur."Tukas Mama yang duduk di depan sampinga Papa yang mengemudi.Ara melenguh dan merintih kembali, menggigit bibir dan meremas tanganku yang menggenggam."Allaah! Sakit banget, Mas.""Banyak dzikir, Sayang.""Bentar lagi sampai."Papa menimpali."Tarik nafas, buang, gitu terus. Pikirannya jangan sedih. Bismillah kuat, Sayang!"Mama memberi support.Do'a bersalin yang berkali-kali kulafadzkan.هناه ولدت مريم، و مريم ولدت عيسىأخرج أيها المولد . بقدرة الملك المعبود.(Hanah waladat Maryam, wa Maryama waladat 'Iisa, ukhruj ayyuhal maulud biqudrotil malikil ma'buud)Lalu kutiupkan ke ubun-ubunnya.Alfatihah, surah Yasin, dan

  • Kembaran Suamiku   36

    36.Kembaran Suamiku#cerbung#Kembang_suamiku"Mas, bangun, Sayang. Udah adzan subuh."Tangan lembutnya menyapu pipiku.Mengerjapkan mata dan duduk. "Semalam begadang, ya? Biasanya udah bangun, Mas?""Hemm iya, Sayang. Semalem nyelesaiin urusan.""Urusan apa, Mas?""Keluarga, Mas siap-siap ke masjid dulu ya, Sayang."Mengecup keningnya dan beranjak ke kamar mandi.***Hari ini pulang lebih cepat, jadi bisa mengajak Ara jalan-jalan. Pasti dia sudah penat ada di dalam rumah yang tidak besar. Mengatur fikiran agar fokus, amanah dan tanggungjawab yang aku emban kini lebih berat. Jangan sampai aku termakan bayangan tak berguna tentang foto yang kulihat kemarin.Awal bulan, adalah waktu pembagian pendapatanku.Alhamdulillah, semenjak aku menikah dengan Ara, pendapatanku semakin meningkat begitu dengan jabatanku.Bonus dari pemilik perusahaan sudah cair. Diam-d

  • Kembaran Suamiku   41

    41Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuAlisa memunguti pakaiannya dan bergegas ke kamar mandi, sedangkan Doni terlelap dengan dengkurannya di atas ranjang.Saat Doni mendekati Alisa, Alisa merasa dicintai. Sedang usahanya mencintai Hasyim tidak berbuah maksimal, cinta dan kasih yang ia dapatkan tidak sempurna. Ia begitu bahagia dengan perhatian Doni selama Hasyim mengajak Ara pindah ke JogjaKarena tidak ada cinta di hati Hasyim untuknya, ia tidak begitu puas saat bersenggama, Hasyim terlalu dingin padanya. Sedangkan Doni sangat lihai memperlakukannya.Cinta dalam sebuah hubungan memang sangat dibutuhkan. Namun hubungan Alisa salah. Harusnya ia lekas menikah, bukan kumpul kebo seperti saat ini.Selesai mandi dan berganti, Alisa pulang tanpa sepengetahuan Doni.Ia terperanjat saat membuka pintu rumah dengan kunci serep yang ia bawa.Ibunya tergeletak dengan obat asma semprot di tangannya.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status