Kembaran Suamiku
Kembaran Suamiku #1
"Dek, mulai sekarang kita tinggal di rumah Ibu ya! Biar Ibu ada yang ngrawat, Mas Hasyim sering sibuk." Suamiku berkata lembut seraya mengusap rambut.
Kami tak menjalani hubungan pacaran sebelum menikah seperti beberapa orang lain lakukan. Maka dari itu, kami masih beradaptasi.
"Dengan senang hati aku akan merawat Ibu, Mas," jawabku sambil tersenyum padanya.
"Terimakasih ya, Dek," ucapnya seraya mendaratkan kecupan hangat ke keningku.
"Sama-sama, Mas."
***
Setelah sampai di rumah Ibu mertua pada malam hari, sebentar kami mengobrol dengan Mas Hasyim-kakak kembarnya Mas Hisyam. Ibu sudah istirahat di kamar beliau karena sudah malam.
Berhubung sudah menjelang larut malam, Mas Hisyam mengantarkan aku ke kamarnya di rumah ini dan dia kembali ke ruang tamu. Teringat wajah lelahnya, dengan cepat kukibas dan bersihkan sebentar, sedangkan Mas Hisyam masih mengobrol dengan kakak kembarnya.
Tak berapa lama, Mas Hisyam datang dan menutup serta mengunci pintu.
"Tidurlah, Dek," titahnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Namun aku langsung ke kamar mandi di dalam kamar ini untuk mencuci muka dan menggosok gigi dan mengganti pakaian homedress panjang lalu berwudhu.
Usai keluar dari kamar mandi, kulihat Mas Hisyam sudah terlelap di ranjang seraya memeluk guling. Cepat sekali suamiku tertidur, kusunggingkan senyum menatapnya seraya mendudukkan pantat di kursi yang menghadap meja rias. Usai memakai cream malam, aku pun menyusul Mas Hisyam tidur diaw*li dengan doa, ayat kursi serta zikir yang dahulu diamalkan oleh Sayyidah Fatimah radhiyallahu 'anha bekal dari ayahandanya yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi w* salam.
Pagi sekali, usai sholat subuh aku menyiapkan sarapan dan memasak untuk menu makan siang nanti. Ibu mertuaku sakit stroke sudah dua tahun sebelum aku menikah dengan Mas Hisyam.
Ayah Mas Hisyam sudah tiada. Saat itu kecelakaan melanda Ayah dan Ibu Mas Hisyam, Ayahnya meninggal, dan Ibu patah tulang kaki serta stroke akibat mendengar kabar sang suaminya meninggal.
Segala upaya dilakukan Mas Hisyam dan Mas Hasyim -kembaran suamiku-. Namun tidak ada perubahan pada Ibu. Sampai saat ini belum ada yang bisa membuat Ibu tersenyum. Itu kata Mas Hisyam. Sungguh, sangat prihatin dengan hal itu.
Setelah semua siap di meja makan, aku mendorong Ibu dengan kursi rodanya ke meja makan dan mengajak dua puteranya untuk sarapan bersama.
Kusuapi Ibu seperti aku menyayangi Ibuku sendiri, karena beliau juga ibu suamiku.
"Lahap sekali Ibu makannya, masakan Ara enak sekali ya, Bu?"goda Mas Hasyim--kembaran suamiku--pada Ibunya.
Sepertinya Ibu ingin berusaha tersenyum merespon anaknya. Terlihat sekali bibir beliau ketarik sedikit dan menyipitkan mata.
Mas Hisyam antusias melihat perubahan pada Ibunya.
Sedangkan Mas Hasyim melirikku dan pandangan kami bertemu, langsung kutarik wajah agar melihat ke bawah.
"Sudah waktunya berangkat, Mas. Takut telat." Aku mengingatkan Mas Hisyam yang melihat ke arahku lalu berdiri.
Aku mengambilkan tas kerjanya dan mengantarkannya sampai ambang pintu.
Tak lupa tangannya kucium dan ia mengecup keningku. Suamiku berlalu hingga tidak terlihat lagi punggung mobilnya. Setelah itu kembali lagi ke dalam, ternyata Ibu sudah dibawa ke kamar oleh Mas Hasyim.
"Ara, tolong kasih obat Ibu, ya! Saya mau berangkat. Titip Ibu," ucap Mas Hasyim padaku seraya membenahi kancing di lengannya.
"Baik, Mas," jawabku mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Mas Hasyim berangkat ke kantor, dan aku di rumah bersama Ibu mertua.
Rasanya lega karena tidak canggung berada dengan lelaki yang bukan mahromku.
Ibu tidur selepas minum obat, kini aku mengerjakan apa yang ada dalam rumah ini. Kumulai dengan menyapu lantai, dari teras, ruang tamu, ruang tengah, kamar-kamar dapur dan segala ruang serta bagian belakang. Tak kubiarkan sedikit kotoran menempel lantai.
Aku ingin membuat Ibu mertua dan suamiku senang dengan caraku. Setelah itu, segera mencuci pakaian Ibu, Mas Hisyam suamiku dan Mas Hasyim kembaran suamiku juga bajuku sendiri.
Meskipun pakai mesin cuci rasanya cukup melelahkan, mengeringkan dan menjemur, karena hal-hal itu biasa dilakukan asisten rumah tangga. Bukan berarti tak pernah mencuci, ya ... sering. Hanya saja tak sebanyak ini.
Untuk mengepel biarkan besok saja, tubuhku terasa lelah. Namun tak mengapa, jika segala hal dilakukan dengan ikhlas, insyaallah akan mendatangkan pahala.
Usai sudah urusan pakaian dan mengerjakan segalanya sampai selesai aku pun mandi.
Aku merebahkan diri di atas ranjang, meluruskan tulang punggung sekedar beristirahat, hari sudah mulai siang, jam bertandang sudah pukul setengah sebelas.
Tok! tok!
Terdengar ketukan di pintu kamarku. Siapa, ya? Perasaan Ibu hanya di kamar belum bisa kemana-kemana, dua lelaki di rumah ini pun sedang di kantor. Bi Asih yang selaku ART pun izin cuti pulang kampung karena suaminya meninggal, sampai benar-benar move on, katanya.
Aku masih berpikir. Siapa yang mengetuk pintu itu?
Krek!
Pintu terbuka. Lelaki berjas hitam dengan rambut klimisnya masuk tanpa aku bukakan. Berhubung tak ada orang selain Ibu, maka pintu tidak kukunci.
"Loh, Mas? Kok udah pulang?" tanyaku pada lelaki bertubuh kekar itu.
Ia tersenyum. Kubuka dasinya.
"Ara, kamu cantik sekali pakai baju tidur tipis seperti ini." Terlihat pria itu menelan saliva dari manik di tenggorokannya yang naik turun.
Ara?
Bukankah selama ini Mas Hisyam selalu memanggilku dengan panggilan 'Dek'?
Astaghfirullahal 'adziim, jika dia bukan suamiku sungguh hancur martabatku karena auratku terlihat oleh selain suamiku. Buru-buru kututup dada dengan kedua tangan.
Niat hati untuk merelakskan badan yang lelah, sehingga aku memakai baju tidur ini untuk di kamar saja.
Baju tidur yang menjadi seserahan Mas Hisyam untukku, baru sempat aku mencucinya sebelum aku berangkat ke sini, dan sekarang aku baru sempat mencoba dan memakainya. Aku memakai gamis serta jilbab saat keluar dari kamar ini.
Setiap di dalam kamar, aku lebih sering memakai pakaian pendek, supaya kulitku memiliki waktu untuk bernafas juga.
Tubuhku gemetaran, bahkan aku lupa Mas Hisyam menggunakan kemeja bercorak apa, karena keduanya tadi mengenakan jas, kemeja, dan dasi dengan warna yang sama, hanya saja sedikit beda corak yang bodohnya aku tidak mengingatnya atau karena lelah mengerjakan tugas rumah ini tadi.
Menikah karena ta'aruf yang sebentar sajalah yang membuatku belum begitu hafal tentang perbedaan suamiku dan kembarannya.
Memang, dulu aku adalah adik kelas mereka berdua di suatu Madrasah Aliyah, namun kami tidak saling mengenal, karena Madrasah Aliyah itu begitu besar dan sangat terkenal di kota ini.
Gedung antara putra dan putri pun berbeda, mungkin suatu kuasa Allah aku berjodoh dengan Mas Hisyam yang kebetulan sama almamaternya.
"Ja-jangan mendekat!" ucapku terbata sambil meraih selimut yang tertata di atas ranjang untuk menutupi tubuhku.
"Kenapa, Sayang?" jawabnya dengan tanya kebingungan dan semakin mendekatiku.
"Ka-kamu siapa?" tanyaku gugup.
Bersambung..
Kembaran Suamiku#48Sini, lihat telapak tanganmu," kata Mbak Sukmo pada Alisa. Alisa pun menyodorkan tangannya pada dukun tersebut. Lalu Mbah Sukmo membaca garis tangan Alisa sangat saksama dan komat-kamit membaca mantra. "Jika apa yang kamu kirimkan gagal, maka kamu harus bertapa di bawah Gunung Lawu selama tujuh hari tujuh malam. Jika tidak ...." Mbah Sukmo menjeda perkataannya. "Jika tidak, kenapa, Mbah?" timpal Alisa mengerutkan keningnya. "Jangan banyak tanya!" bentak Mbah Sukmo pada Alisa. Alisa terkejut dan langsung menunduk serta mengangguk segan terjadap pemuja kesyirikan tersebut. "Kamu akan matii dibunuuh oleh kejahatannmu sendiri," kata Mbah Sukmo melanjutkan. "Ma-mati?" Alisa tercengang mendengarnya. "Ya!" jawab ketus Mbah Sukmo. "Saya yakin pasti tembus ke orangnya, Mbah," kata Alisa begitu yakin. Sedangkan preman botak hanya ketakutan dan diam dengan
Kembaran Suamiku#47"Apa? Preman, Bu Marni?" tanya Hasyim terkejut. "Iya, Pak Hasyim. Tapi untung Ibu sangat cerdas. Preman itu diajak ke sini untuk mengantar Ibu. Sekarang Ibu Ratna ada di kamarnya," terang Bu Marni sangat terharu dan senang karena majikannya dalam keadaan selamat. "Se-serius, Bu Marni? Masyaallah alhamdulillah." Hasyim pun saking senangnya berlari ke kamar ibunya. Bu Marni turut bahagia dan mengunci pintu rumah dengan cepat"Assalamualaikum, Ibu," sapa Hasyim setelah berdiri di ambang pintu. Tampak Bu Ratna usai salat dan basah netranya. Hasyim memeluk ibunya itu dengan erat. Bu Ratna justru menangis tersedu. Mengusap kepala putranya berkali-kali. "Alhamdulillah Ibu selamat," kata Hasyim sangat bahagia. Alhamdulillah Ibu sudah melewati semua ini nak tapi Ibu menghabiskan tabungan sebanyak 30 juta untuk membayar preman itu agar mau jujur dan mengantar Ibu pulang." Bu Ratna menje
Kembaran Suamiku46. penculikan Bu Ratna"Ara, kamu yang tenang dulu ya.. Ini semua biar Mas yang urus. Ini bukan ranah kamu.. Okay!" titah Hasyim agar istrinya tidak banyak beban pikiran. Ara menghela napas perlahan dan menghembuskannya perlahan. Mencoba tenang atas kabar sang mertua tercinta. Sementara di kediaman sang ibu Hasyim, Bu Marni sibuk mencari majikannya itu. Ternyata di sebuah gudang, Ibu Ratna diikat tangan dan kakinya dan mulutnya dilakban oleh dua orang preman tidak tahu diri. Pasalnya sasaran mereka itu adalah wanita paruh baya yang tidak tahu apa-apa. "Siapa kalian?" Lemah Ibu Ratna bertanya pada kedua preman tersebut setelah lakban di mulutnya dibuka. "Tak perlu tahu, kamu, nenek tua!" gertak preman itu."Preman suruhan siapa kalian? Biar kubayar lebih tinggi kalian dari pada bayaran majikan kalian!" seru Bu Ratna menantang. "Kaya juga kau, nenek tua!" kata salah seorang preman itu k
Kembaran Suamiku 45. Teror untuk IbuSetelah 3 tahun menikah, aku bersama Mas Hasyim dengan bahagia merawat Zafran dan Afrina. Selama di Kota Gudeg ini, Mas Hasyim sangat menikmati pekerjaannya. Mas Hasyim libur, ia mengajak kami pesta kebun. Baru lekas menggelar tikar, dering ponsel Mas Hasyim berbunyi. "Syim, Ibu seperti diteror seorang lelaki berjaket dan bertopi hitam," ujar Ibu dalam telepon yang suaranya dikeraskan Mas Hasyim. "Astaghfirullah, Ibu telepon polisi dulu, Bu agar ada penjagaan," jawab Mas Hasyim yang kudengar. Semoga ibu tidak kenapa-napa. Aku sangat takut karena beliau sudah sepuh dan harus diawasi Bu Marni. "Suruh orangnya Mas untuk jaga Ibu," bisikku panik pada Mas Hasyim yang tengah menelpon ibunya. Tangan Mas Hasyim mengangkat jempolnya dan mengangguk padaku. Di saat suasana santai seperti ini ada saja keadaan yang membuat kami panik. Apalagi mengenai ibu yang tentu tak bsia berbuat ban
Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuPagi masih buta, mendadak sekali mengatur waktu untuk jenguk Ibu dan Mama Papa serta menjatuhkan talaq pada istri pertamaku.Suasana lenggang karena masih pagi, bisa diperkirkan perjalanan hanya dua jam lebih.Mengantar Ara dan Zafran serta pengasuhnya ke rumah Mama, tak lupa buah tangan kami bawakan untuk Mama dan Ibu."Jam sepuluh nanti bangunin Mas ya, Sayang. Mas mau selesaikan urusan dengan Alisa.""iya, Mas. Tidurlah! Pasti lelah habis safar."***"Mas, jam sepuluh."Suara lembutnya masuk ke dalam mimpi.Bangun, membersihkan diri dan bersiap. *Setelah sampai depan gerbang rumah Ibu Alisa, memarkirkan mobil dan masuk. Memencet tombol bel di samping pintu utama.Krek..Alisa membukakan pintu, akupun masuk.Kutepis tangan gempalnya yang hendak merangkul. Dia berangsur mundur. Wajah pias seketika muncul."Mas...""Duduklah, Alisa." ia duduk di sofa."Kedat
44Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuTrauma?Ah, aku sama sekali tidak kepikiran tentang trauma Ara. "Oh, saya rasa tidak, Mas."Jawabku sekenanya."Ini tanda terimakasih saya, tidak seberapa, Mas."Kugenggamkan amplop cokelat berisi nominal untuknya."Tidak usah, Mas. Saya ikhlas menolong istri Mas.""Tolong diterima, Mas. Ini amanah dari istri saya.""Jika begitu, maka saya terima. Terimakasih ya, Mas.""Sama-sama. Saya pamit dulu, Mas Agung."Ia pun mengangguk dan menjabat tanganku.***"Pa, besok Mama kontrol ke klinik. Papa besok udah ke Jogja ya?" Ucap Ara saat di depan Zafran dan Afrina.Tapi panggilan itu lebih kusuka, kayak ada manis-manisnya gitu. Sampai lupa, besok jadwalku masuk setelah ambil cuti istri melahirkan."Apa Papa tunda dulu, Ma? Papa takut Mama pergi tanpa Papa."Kejadian itu menjadi trauma bagiku. Terlebih Ar
42Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuPov. Hasyim*Kulihat kedua netranya terpejam. "Sayang?"Panggilku padanya, mengusap pipi yang putih nan lembut."Dia ngantuk, Nak. Biar tidur. Semalaman nggak bisa tidur."Tukas Mama yang duduk di depan sampinga Papa yang mengemudi.Ara melenguh dan merintih kembali, menggigit bibir dan meremas tanganku yang menggenggam."Allaah! Sakit banget, Mas.""Banyak dzikir, Sayang.""Bentar lagi sampai."Papa menimpali."Tarik nafas, buang, gitu terus. Pikirannya jangan sedih. Bismillah kuat, Sayang!"Mama memberi support.Do'a bersalin yang berkali-kali kulafadzkan.هناه ولدت مريم، و مريم ولدت عيسىأخرج أيها المولد . بقدرة الملك المعبود.(Hanah waladat Maryam, wa Maryama waladat 'Iisa, ukhruj ayyuhal maulud biqudrotil malikil ma'buud)Lalu kutiupkan ke ubun-ubunnya.Alfatihah, surah Yasin, dan
36.Kembaran Suamiku#cerbung#Kembang_suamiku"Mas, bangun, Sayang. Udah adzan subuh."Tangan lembutnya menyapu pipiku.Mengerjapkan mata dan duduk. "Semalam begadang, ya? Biasanya udah bangun, Mas?""Hemm iya, Sayang. Semalem nyelesaiin urusan.""Urusan apa, Mas?""Keluarga, Mas siap-siap ke masjid dulu ya, Sayang."Mengecup keningnya dan beranjak ke kamar mandi.***Hari ini pulang lebih cepat, jadi bisa mengajak Ara jalan-jalan. Pasti dia sudah penat ada di dalam rumah yang tidak besar. Mengatur fikiran agar fokus, amanah dan tanggungjawab yang aku emban kini lebih berat. Jangan sampai aku termakan bayangan tak berguna tentang foto yang kulihat kemarin.Awal bulan, adalah waktu pembagian pendapatanku.Alhamdulillah, semenjak aku menikah dengan Ara, pendapatanku semakin meningkat begitu dengan jabatanku.Bonus dari pemilik perusahaan sudah cair. Diam-d
41Kembaran Suamiku#cerbung#Kembaran_suamikuAlisa memunguti pakaiannya dan bergegas ke kamar mandi, sedangkan Doni terlelap dengan dengkurannya di atas ranjang.Saat Doni mendekati Alisa, Alisa merasa dicintai. Sedang usahanya mencintai Hasyim tidak berbuah maksimal, cinta dan kasih yang ia dapatkan tidak sempurna. Ia begitu bahagia dengan perhatian Doni selama Hasyim mengajak Ara pindah ke JogjaKarena tidak ada cinta di hati Hasyim untuknya, ia tidak begitu puas saat bersenggama, Hasyim terlalu dingin padanya. Sedangkan Doni sangat lihai memperlakukannya.Cinta dalam sebuah hubungan memang sangat dibutuhkan. Namun hubungan Alisa salah. Harusnya ia lekas menikah, bukan kumpul kebo seperti saat ini.Selesai mandi dan berganti, Alisa pulang tanpa sepengetahuan Doni.Ia terperanjat saat membuka pintu rumah dengan kunci serep yang ia bawa.Ibunya tergeletak dengan obat asma semprot di tangannya.