"Hai gadis!"
Sapa seorang pemuda di jalan. Clara menengok ke belakang, sesaat setelah mendengar suara tersebut.Ia merasa heran, ada orang yang belum dikenal menyapa begitu saja. Clara menatapnya sejenak, lalu berbalik ke arah semula yang mana dia dari tadi hanya menatap ke depan.
"Ya..kok, diam saja sih?"Pemuda tadi mengajak bicara lagi, meski Clara hanya menengok sebentar. Selebihnya diam dan melanjutkan arah perjalanannya.Clara tidak ingin menggubris pemuda yang belum dikenalnya itu.
"Ih, siapa sih orang ini? Berani-beraninya dia bertanya di tengah jalan. Mana percaya diri banget lagi?" Clara menggerutu dalam hati, sambil terus melanglangkahkan kakinya.Sang pemuda itu semakin mendekat dan berkata penuh manja. Ia bertanya tentang Clara yang diam saja tidak menanggapi ucapan orang tadi. Dipandanginya dari ujung kaki hingga kepala. Clara menebak sesuatu.
"Rapih benar penampilanya, atasan putih bawah hitam? Karyawan barukah, yang lagi training atau orientasi? Atau memang itu seragamya?" tanya Clara dalam hati."Nah, begitu dong. Berhenti melangkah dulu, hargailah sesama manusia dengan sapaan," ucap orang tadi sok bijaksana.Kembali Clara memperhatikan orang itu. Dia benar -benar sudah menghentikan langkahnya. Satu sisi ingin bersikap sopan dan ramah serta menanggapi setiap ucapannya, sebagai sesama insan. Di sisi lain ia merasa sedikit takut, karena memang belum tahu orang itu. Apalagi mengenalnya.Belum paham seluk beluknya, juga ada rasa cemas dan khawatir. Baikkah orang ini? Atau ada maksud tertentu? Bahkan Perempuan berkulit putih, hidung mancung dan tinggi hampir seratus enam puluh centi meter ini, ada keinginan untuk menghindar atau berlari saja. Namun ia bingung juga takut dikejar.
"Kita duduk di taman yuk!" ajak orang tadi.
"Hah, buat apa baru kenal sudah mengajak ke taman? Adakah maksud tertentu yang ada di benaknya? Berani benar orang ini?" ucap Clara dalam hati."Aduh, maaf tidak bisa. Aku harus segera pulang."Clara berkata kepada orang tadi dengan sedikit meninggikan suaranya. Tidak sampai teriak sih. Masih ada batas keramahannya dalam menanggapi orang lain.***
"Kita ke Taman itu sebentar saja?" pinta orang itu, sambil menunjuk ke sebuah taman umum yang biasa untuk hiburan orang banyak itu."Sekali lagi mohon maaf, aku harus segera pulang. Lagian aku belum begitu mengenal abang, dan tidak ingin berurusan yang terlalu lama denganmu."Clara mempercepat langkah kaki, orang yang masih muda berwajah tampan, kulitnya putih dengan tinggi yang hanya lebih sedikit dari perempuan berambut pirang sebahu dan wajahnya sangat manis ini. Pemuda itu mengikuti langkah Clara, sehingga membuatnya merinding dan agak takut."Hai neng, mengapa cepat-cepat jalannya sih? Takut ya?"Pemuda itu betanya, sambil melangkahkan kakinya cepat, sesekali napasnya terengah. Clara tidak peduli, ia masih saja melanjutkan jalanya dan semakin dipercepat.Clara tidak ingin menanggapi orang yang baru dikenal tapi belum tahu namanya.
"Eh, neng. Kok, semakin cepat saja jalannya sih? Berhenti dong! Tenang saja aku cuma mau mengobrol saja, enggak berbuat apa? Cuma suka saja sama kamu."Pemuda tampan yang awal ketemu dengan Clara, memanggil dengan sebutan gadis. Kini memanggilnya Neng. Pemuda yang seorang karyawan baru di area perkantoran di sekitar jalan yang dilalui Clara saat pulang sekolah ini, sangat tertarik dengan Clara sejak awal melihatnya.Karena kesal Clara semakin menjauh saja, akhirnya pemuda tadi mengucapkan rasa dihatinya sejak awal melihat gadis berseragam atasan kemeja pendek dan bawahan rok abu-abu sedengkul ini.Sejak kerja di kantor dekat sekolah Clara. Ia sering melihat perempuan manis berambut sebahu yang disemir warna merah kecoklatan ini.
Karena sering melihat Clara berjalan atau menunggu jemputan. Pemuda ini tertarik dengan wajah manis dan tubuh ramping berkulit putih susu ini.Kebetulan saat ini ia bertemu Clara dan berjalan depan belakang, pemuda itu mengambil kesempatan untuk bertanya sekaligus ingin mengajak bincang -bincang di Taman dekat jalan yamg dilalui itu. Namun Clara yang merasa belum kenal, agak takut melihat pemuda itu.
"Aduh." Keluh Clara yang terjatuh, tanpa sengaja kakinya tersandung sebuah batu yang ada di area pinggir jalan yang dilalui gadis ini.Karena merasa semakin takut saat mendengar ucapan pemuda tadi. Clara semakin menpercepat langkah, bahkan hendak berlari. Namun ia terjatuh dan mengeluh kesakitan.
"Neng, kamu tidak apa-apa? Makanya jangan lari-lari. Tenang saja sih! Aku cuma mau kenalan saja kok," ucap pemuda tadi.Clara terdiam dan mencoba menenangkan pikiranya. Berusaha bersangka baik, ketika pemuda yang baru dikenalnya itu kini semakin dekat saja. Bahkan wajahnya hanya berjarak beberapa centi saja. Pemuda itu semakin tertarik, saat melihat Clara dari dekat. Wajah cantik dan sangat manis itu membuat sang pemuda semakin terpesona."Plakkk!"Sebuah tamparan mendarat di pipi pemuda tadi.*Bersambung**
"Aaaach."Pemuda itu mengerang, menahan sakit akibat tamparan yang cukup keras di pipinya. Ia tidak menyangka ada orang seberani itu. Padahal dirinya tidak berbuat apa, justru ingin melihat kondisi kaki Clara yang tadi tersandung. Hal ini membuat Clara dan sang pemuda merasakan kesakitan.Clara menahan sakit pada dengkul dan jempol kakinya. Sedang sang pemuda menahan sakit di pipinya yang memerah kini. Pandangannya kini mengarah ke samping. Seorang remaja putra seusia Clara dengan seragam yang sama dengan gadis itu kini menatap tajam.Tangannya mengepal seakan ada ketidak sukaan yang membawa amarah. Sang pemuda tidak mengenal orang yang berdiri di sampingnya dan tadi menampar pipi tirusnya begitu saja. Dia bahkan tak tahu apa kesalahanya. Sehingga dia di serang begitu saja."Roy?"Segera Clara menyapa teman satu kelasnya itu. Sekuat tenaga gadis manis ini ingin mendekat kepada Roy. Namun rasa sakit mengalahkan keinginanya. Ia tidak jadi b
Pemuda itu segera naik bis yang lewat dekat jalan tempat mereka tadi bertemu dan beradu kata. Pemuda yang belum memperkenalkan namanya kepada Roy dan Clara itu, tadi bermaksud pulang ke rumahnya yang ia tempuh demgan naik bis.Kadang diantar oleh keluarganya. Belum memiliki mobil sendiri. Dan sepeda motornya bergantian dengan sang adik.Tinggal di area padat penduduk dengan fasilitas yang sederhana. Berstatus lajang dan ingin sekali menjalin cinta dengan gadis semanis Clara. Meski belum begitu tahu seluk beluk gadis itu.Sang pemuda sudah memiliki ketertarikan sejak awal berjumpa. Karena tempat kerjanya masih sewilayah dengan Clara menimba ilmu.Sang pemuda yang masih berjiwa labil ini, merasa dipermalukan oleh Roy yang tadi sempat menamparnya secara tiba-tiba.Dihatinya penuh rasa dendam meski ingin dinetralkan tetapi sakit hatnya tetap ada. Bahkan yang paling membuatnya semakin merasa kesal saat sang adik mengetahui wajah kakaknya berubah.
Ketika berdua saja"Ada apa bu? Mari silahkan masuk ke ruang dokter! Sudah girirannya," ucap Tante Naira dengan senyum manis nan ramah."Oh, iya. Terima kasih."Segera tante Naira melayani dengan tulus dan penuh kasih. Ia berusaha agar sang ibu yang tadi sempat kecewa agar kembali ceria. Dengan kecerian dan semangat dari dalam diri berharap sang ibu ini bisa sembuh sakitnya. Serta semangat selalu dalam menjalani hidupnya.Pasien itu tertegun dan merasa malu tadi sempat banyak protes. Sekarang dia diperlakukan sangat baik hingga membuatnya segan. Bahkan meminta maaf karena sudah emosi di depan para pasien yang lain. Ibu itu tetap senang berobat di klinik tempat Tante Naira yang juga saudaranya Clara ini bekerja.Sementara itu Clara yang sudah kembali menelusuri jalan. Akhirnya sampai di depan rumahnya Clara. Di depan rumah sederhana namun rapih dan asri berpintu gerbang warna kuning tembaga ini, Clara turun dengan hati-hati. Untung kaki kirinya tidak ada
"Tok..tok!"Terdengar suara orang mengetuk pintu ketika mereka berdua sedang berdekapan mesra. Segera Roy melepas tangan yang tadi dilingkarkan di pinggang Clara. Mereka berdua agak kaget dan merasa tidak biasanya ada orang mengetuk pintu di siang hari.Kecuali memang ada tamu yang menyampaikan hal penting. Roy dan Clara saling berpandangan, menerka siapa yang datang siang hari disaat orang sedang memanfaatkan waktu untuk istirahat.Para tetangga Clara sudah paham jika bertamu yidak akan siang hari. Karena waktu seperti ini biasanya untuk santai atau tidur siang."Apakah kau mengunci pintu rumah ini, Roy?"Clara bertanya dengan rasa penasaran. Setahu dia tadi waktu masuk ke dalam rumah pintu dibiarkan terbuka. Kok, sekarang ada yang mengetuk dan memang pintunya ditutup."Iya, tadi sebelum ke dapur aku menyempatkan untuk mengunci pintu," jawab Roy."Lalu, apa maksudnya kau lakukan itu?" Clara bertanya lagi, masi
"Aku sudah ingin istirahat mbak, nanti malam saja minum obatnya ya," ucap Clara."Apakah kamu ingin merasakan sakit terus? Sekarang makanlah dulu. Setelah itu obatnya diminum biar cepat sembuh." Sang kakak kembali memperingatkan Clara. Bahkan ia menggandeng tangan sang adik untuk diajak ke ruang makan."Aku ingin tidur mbak. Bukan mau makan." Clara berkata dengan wajah pucat dan mata menyipit. Lira bergegas ke dapur untuk mengambilkan roti bakar dan teh hangat juga segelas air putih."Kalau begitu makanlah roti ini!"Clara membuka matanya yang sudah mengantuk berat. Sang kakak sangat menyarankan untuk segera makan yang mau ditelan walau sekedar roti saja. Dan yang penting obatnya bisa masuk ke tubuh, untuk proses pengeringan dan penyembuhan luka.Awalnya Clara sempat menolak berulang kali, sang kakak terus membujuk hingga akhirnya Clara menerima tawaran untuk sekedar makan roti dan minum obat.Biar bagaimana juga rasa sakit h
"Clara, sudah sore. Bangunlah bersih diri segera!" Lira, sang kakak mendekati adiknya di kamar bernuansa merah muda ini. Ia membangunkan sang adik. "Nanti saja kak, aku masih mengantuk," Clara berucap sambil menggeliatkan tubuhnya, kemudian memejamkan matanya kembali. "Sejak kapan kamu jadi malasan begini, bangunlah kita makan dulu! Itu kakak sudah buatkan bubur kesukaanmu!" Lira sedikit memaksakan agar adiknya mau membuka mata. "Uuuhhh, baiklah." Clara meregangkan kedua tangannya. Sesekali ia menguap. Dipandanginya jam dinding di kamar yang ia gunakan untuk istirahat sehari-hari. Jarum panjangnya berada diangka tiga dan pendeknya diangka lima. Lima belas menit telah berlalu dari pukul lima sore.Dengan sedikit malas Clara turun dari ranjang dan membiarkan kasurnya berantakan. Segera menuju ke ruang wastafel, mencuci muka dengan sabun wajah merek terkenal. Clara sudah lupa dengan sakitnya. Tangannya sudah leluasa bergerak, bahka
Kembali ceria Sore ini tante Naira sengaja datang ke rumah Clara sang keponakan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Saat tiba di depan pintu gerbang rumah Clara, sebenarnya ingin mengucap salam, namun karena mendengar suara kedua kakak beradik yang meninggi ini, Tante Naira cemas dan segera menghampiri Lira dan Clara. Rasa kaget dan penasaran juga menghiasi hati kedua anak putri yang masih saudaranya Tante Naira. Manakala sang tante mengucap salam, mereka berdua menjawab serentak juga seperti tadi saat mengucap sapaan untuk perawat klinik tempat Clara berobat tadi. Mereka berdua segera beranjak dari tempat duduknya dan mempersilahkan tante Naira untuk masuk ke rumah. Saudara kakak beradik ini sebenarnya tadi ingin pulang ke rumah. Namun dalam perjalanan, ia berjumpa dengan seseorang. Niat istirahat di rumah keluatga diurungkannya setelah sempat ke klinik lagi. Ada hal yang ingin meminta pertimbangan kepada keponakannya itu. Sekaligus nantinya ingin mengaj
Di ruang makan Tante Naira masih melanjutkan aktifitas di ruang makan. Sementara Clara sudah selesai dan kini kembali asyik melihat postingan teman-temanya di sebuah jejaring sosial. Karena sudah mau makan, Lira menyiapkan obat yang harus dikonsumsi oleh adiknya itu. Clara agak malasan untuk minum obat, karena itu sang kakak yang selalu memperhatikan. Sementara Lira menyiapkan obat, Clara malah asyik bermain handphone. Chatingan ria dengan beberapa teman termasuk salah satunya Roy. Ia lupa bahwa setelah makan masih ada tugas minum obat. Dalam chatinganya Roy sebenarnya ingin mengajak Clara ke club, malam minggu ini. Namun melihat kondisi temannya yang penuh luka rasanya tidak mungkin untuk bermalam mingguan. "Serius sekali menanggapi pesan para temanmu, duhai adikku?" tanya sang kakak yang kini sudah selesai aktifitas di ruang makan itu. "Iya mbak, penting sih." Clara menjawab dengan tenang dan santai, sambil meneruskan ketikan pesan untuk mem