“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya.
Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang.
“Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua.
“Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan?
“Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok pa. Seline yakin ga bakal ngecewain papa dan mama,” jawab Seline dengan percaya diri.
“Bagus nak, mama bangga sama kamu. Kamu selalu bisa melebihi ekspektasi mama,” Trisia membelai rambut Seline dengan sayang.
Melihat hal itu, Alina sedikit terenyuh, bohong kalau dia tidak iri. Dia sangat iri pada Seline, yang mendapatkan kasih sayang papanya, serta mama yang sangat membanggakannya. Seandainya Sinta masih ada di sini, mungkin Alina tidak akan mengalami hal yang menyedihkan. Ah, untuk apa berkeluh kesah. Sinta tidak akan kembali, dan Alina harus terus beranjak.
Lesmana beranjak menanyakan keadaan galeri milik Trisia yang tampaknya menjadi perbincangan hangat di publik, karena munculnya pelukis yang menggunakan nama Ranum Rampani. Lesmana tahu, dirinya tidak perlu ikut campur. Karena Trisia cukup pintar dalam membereskan segala hal.
Trisia juga memamerkan bahwa selain Ranum Rampani, ada pelukis baru yang juga menarik perhatiannya, yakni Pigeon dan Swan Lake. Karya mereka dikagumi para penggemar seni dan mulai dibanderol dengan harga yang mahal.
Lesmana mengangguk, dirinya sangat mengerti ketertarikan Trisia kepada seni, utamanya lukisan. Melihat Trisia yang berbinar ketika membicarakan seni, membuat cinta lama yang tidur kembali terbangun. Lesmana ikut tersenyum lebar dan mengangguk. Lesmana memberikan nasehat dan komentar-komentar kecil terhadap cerita yang dilontarkan oleh Trisia. Setiap perempuan itu berbicara, Lesmana sedikit terkekeh. Semangat dan aura posistif dari Trisia ketika membicarakan hal yang dia suka selalu membuat Lesmana terkagum, dan hanyut dalam pesonanya.
Melihat pemandangan itu, Alina lagi-lagi menghela nafas, apakah papanya akan secepat itu melupakan mamanya, dan mencintai orang lain? Alina sama sekali tak paham dengan hati manusia, termasuk hatinya sendiri.
ting tong
Suara bel pintu nyaring terdengar hingga ke ruang makan. Salah satu pembantu setengah berlari menuju daun pintu, dan membukanya. Tampak sesosok laki-laki yang tinggi besar dengan lesung pipit tercetak di pipinya. Bibirnya tersenyum bersamaan dengan matanya yang seperti bulan sabit. Keberadaannya terlalu terang, seperti tokoh utama dalam komik. Laki-laki tersebut menyebut namanya, kemudian sang pembantu mempersilahkannya duduk menunggu.
Pembantu itu bergegas kembali ke ruang makan. “Non Alina, ada teman non yang bilang mau jemput non. Namanya Ronald,”.
Mendengar nama itu, Alina sedikit tersipu malu. Setelah mencium pipinya kemarin, tampaknya pria itu sama sekali tidak merasa bersalah dan makin terang-terangan mendekati Alina. Sungguh sikap yang sangat aneh bagi Alina.
Tetapi sebenarnya, Alina diselamatkan dengan adanya Ronald. Alina tidak mau berlama-lama duduk di meja makan yang memuakkan ini. Alina pamit dan bergegas menemui Ronald. Menyisakan Seline yang menatap kepergian Alina lekat-lekat.
“Lo mau jemput gue, kan. Yuk!” Alina cepat menarik Ronald untuk keluar dari rumahnya. Kalau papanya sampai tahu Ronald, mungkin Alina akan dilarang bertemu lagi. Karena Alina sendiri belum tau latar belakang Ronald.
“Wah-wah nona cantik, ternyata lo seseneng itu ya, gue jemput?” Ronald menyunggingkan senyum smirk.
“Gak juga, lo ngapain sih kesini! Ga tau diri banget ya lo dateng ke sini, setelah apa yang lo lakuin kemarin!” Alina bersungut-sungut kesal dengan tingkah Ronald.
“Memangnya gue kemarin ngapain, Alina?” tanya Ronald dengan senyum yang tidak pudar.
“Ah udah ah. Kalo lo ga niat jemput yaudah gue berangkat ama supir!” Alina sangat sangat malu. Bisa-bisanya pria ini membalikkan semua perkataannya.
Ronald menahan tangan Alina “Dasar tukang ngambek, lo kenapa jutek banget sih jadi orang. Nanti gue makin suka loh!” telinga Alina panas mendengar pujian itu. Ronald bukan satu-satunya pria yang mendekatinya. Selama satu semester di Law School, sudah banyak mahasiswa yang menyatakan ketertarikannya pada Alina. Baik itu teman seangkatan, maupun kakak tingkat. Tapi, kebanyakan dari mereka menyerah dengan sikap Alina yang terlalu cuek dan cenderung sangat susah didekati.
Namira sering mencemooh sikap cuek Alina terhadap pria. Dia bilang, Alina akan jomblo seumur hidup, atau kata-kata lain seperti perawan tua. Tapi Alina tidak pikir panjang, karena dia tau, cinta bisa sangat menyakitkan, dan cinta bisa cepat berubah. Seperti papanya.
Ronald naik ke atas motornya, dan menyuruh Alina juga duduk di motor. Ronald sengaja membawa helm yang terdapat tanduk kecil imut di atasnya. Alina menahan senyumnya. Ternyata Ronald punya sisi imut dibalik perbuatan tengilnya.
Mereka berdua kemudian berangkat ke kampus. Sepanjang jalan, Ronald mengajak Alina bercerita. Alina sangat senang, baru kali ini dirinya merasa didengar dan ditanggapi dengan menyenangkan. Alina tersenyum sepanjang jalan sambil bercerita. Sesekali Ronald menggodanya dan Alina pura-pura marah. Ketika di lampu merah, Ronald sengaja menurunkan tangannya, dan meletakkannya di sebelah kaki Alina. Dirinya tahu Alina menggunakan rok pendek. Ronald kemudian berkata kepada Alina untuk jangan lagi mengenakan rok sependek itu.
Alina lagi-lagi tersenyum. Seakan-akan, perasaannya yang berat sejak tadi telah hilang. Digantikan perasaan yang ringan dan hangat. Alina sendiri masih tak yakin dengan sikap baik Ronald yang sangat tiba-tiba ini. Alina masih belum tahu apa motif Ronald. Akan tetapi, perilaku Ronald hari ini membuat Alina melunak.
Sesampainya di kampus, mereka disambut dengan tatapan dari mahasiswa lainnya. Baik itu para laki-laki yang menyimpan rasa suka pada Alina, maupun fans Ronald yang sangat banyak.
Kemudian ada seorang perempuan yang berjalan dari kejauhan dan tersenyum pada Ronald. Perempuan itu setinggi Alina. Dengan pembawaan yang dewasa dan cerdas. Sesampainya di depan Ronald, ia menggandeng tangannya dan bergelayut manja.
“Oh, jadi ini, alesan lo yang abis nganterin gue, balik lagi ke luar kampus?” Perempuan itu tersenyum dan menatap Alina yang masih memakai helm. “Oh, lo kasih pinjem helm gue juga, Ronald?” ujar perempuan itu sambil menatap manja pada Ronald.
Ah Alina seharusnya tau, Ronald memang orang yang sangat populer. Selain itu, Ronald memiliki jiwa sosial yang tinggi. Artinya, dia ramah kepada siapapun, tidak hanya pada Alina. Perempuan ini mungkin saja pacar Ronald. Alina mengutuk dirinya sendiri karena telah berprasangka yang tidak-tidak sejak kemarin.
“Ah iya, Ronald m-makasih ya lo udah jemput gue,” suara Alina sedikit bergetar, menahan rasa malu dan kikuk. Alina serba salah, dan langsung pergi meninggalkan mereka berdua di parkiran.
“Alina! tunggu!” kejar Ronald sambil menahan Alina. Sebenarnya, Alina tidak ingin mendengar alasan Ronald, tapi dirinya tidak punya hak untuk marah. Alina membalikkan badannya menghadap Ronald, siap-siap mendengar perkataan Ronald.
Ronald sedikit tersenyum dan menunjuk sesuatu di kepala Alina, “Helmnya belum lo copot, Al”.
Alina berdiri di depan pintu apartemen dengan hati yang berdebar. Dia mengambil napas dalam-dalam, menguatkan dirinya sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk. Di dalam, pemandangan yang mengejutkan menantinya: Marco, setengah sadar dan terikat di kursi, dengan wajah penuh kebingungan dan ketakutan. Cahaya lampu yang redup membuat bayangan tubuhnya tampak suram, menambah kesan dramatis di dalam ruangan itu.Alina mendekati Marco dengan langkah tenang, tatapannya dingin. "lo bodoh banget, Marco," katanya dengan nada sinis, "Lo ga inget gimana gue bisa lolos dari gudang itu? Gue tau, lo yang bawa gue ke sana! "Marco tersentak, ia tak menyangka Alina akan mengetahui itu. Marco tidak dapat mengelak, ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Lo mau apa sekarang?" tanyanya dengan suara serak.Alina tertawa kecil, memperlihatkan senyum puas. "Lo dan Jade udah menyabotase gue selama ini. Dan gue punya bukti kuat untuk itu," katanya sambil mengeluarkan pons
Felix berhasil memotret mereka berdua, tidak lupa dengan penyadap suara tingkat tinggi. Fellix bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka rencanakan dan siapa dalang di balik semua ini. Laki-laki itu segera menemui Alina dan memberitahu semuanya.Alina merasa semakin aneh, apa yang ia lakukan sampai Seline dan Trisia membencinya sampai seperti ini. Selama ini Alina belum menemukan jawabannya. Tapi Alina yakin, dirinya akan bisa mengatasi ini semua. Ia dan Felix mulai bekerja di tempatnya masing-masing. Felix harus kembali ke Santanu sesegera mungkin untuk mempersiapkan rencana mereka dengan matang. Selama persiapan, Marco dan Alina sama-sama saling mendekatkan diri. Keduanya memiliki rencana. Setiap hari dan setiap detik, Marco selalu melaporkan apapun yang terjadi kepada Jade. Di lain sisi, Jade juga melatih nyanyiannya. Ia tidak sadar, bahwa pianist yang sedang berlatih bersamanya adalah suruhan Felix untuk memata-matai Jade.Jade juga orang yang dianggap berada di sekolah ini. Dir
FLASHBACKAlina berpikir keras, ia dan felix harus tahu siapa dalang dibalik penculikan Alina kali ini, serta cara apa yang mungkin membuat mereka semua kapok untuk menyakiti Alina. Alina dan Felix mulai satu persatu menyebut kemungkinan-kemungkinan nama yang muncul berdasarkan kebencian, atau musuh keluarga Santanu. Mereka juga menambahkan Seline dan Trisia.“Felix, gue inget badan orang yang nyulik gue! Dia tinggi, besar, otot tangannya kuat banget dan kasar!” Alina mencoba mengingat-ingat.“Hmm, kalau begitu gak mungkin dia cewe. Berarti kita harus nyari dia di kelas musik klasik bass dan tenor, atau seni musik. Nanti kita bagi ke orang-orang yang berkemungkinan punya postur tubuh sama seperti yang lo bilang,”Alina dan Felix bergegas menilik foto penerimaan siswa baru di The Castle. Mereka memilah orang-orang yang berpostur tubuh tinggi dan besar. Setelah menemukan lima kandidat, Alina dan Felix cepat-cepat mencari tahu latar belakang orang-orang tersebut. Kemudian mereka menemuka
Alina terhuyung sedikit ke belakang. Betapa semua kejadian ini bercampur menjadi satu. Memang salah Alina apa, sampai mereka berbuat setega ini dengan Alina. Pewara meminta mereka kembali ke ruangan belakang panggung. Kemudian panitia meminta para peserta untuk menonton di kursi penonton. Felix, Alina jadi teringat pada laki-laki itu. Ia adalah satu-satunya orang yang dapat menenangkannya saat ini. tangan Alina bergetar, wajahnya menahan tangis. Saat giliran Jade maju, Alina semakin menganga. Penampilan, dan aransemen Jade sama persis dengan miliknya. Jade menyanyikan Mi chiamano mimì karya Puccini dengan baik. Alina menggelengkan kepalanya. Sungguh dunia ini penuh dengan hal yang tidak disangka-sangka. Setelah Jade Selesai, Alina dipanggil menuju panggung. Marco duduk di depan pianonya, bersiap. Alina menundukkan kepalanya, sedikit membungkuk memberi hormat. Matanya lurus menatap tajam ke arah Seline, dan Ronald. Seline tersenyum kearahnya, senyum yang palsu. Alina mengangguk pada
Mulai sekarang, Alina dan Marco terlihat sering bersama. Bahkan, Marco sampai menjemput Alina di gerbang asrama putri. Keduanya berlatih siang malam. Dengan begitu, Marco akhirnya tahu, mengapa Alina bisa lebih baik dibandingkan penyanyi lainnya. Alina sangat pandai mengatur tubuhnya. Waktu berlatih, waktu istirahat, dan waktu untuk bersantai. Alina juga menjaga makanan dan minuman, serta berolahraga. Ketika berlatih, Alina sama sekali tidak membuat celah, ia ingin tampil sempurna meski pada saat latihan. Hal ini membuat Marco sangat kagum.Dari empat hari yang tersisa, mereka hanya memiliki dua hari untuk latihan sebelum berangkat ke medan perang. Alina mengatur strategi, agar mereka bisa tampil semaksimal mungkin. Alina dan Marco sama-sama anak yang ambisius. Walaupun tidak memenangkan kompetisi, target mereka adalah mengambil hati para juri dan tamu. Alina sangat fokus mendengarkan suaranya sendiri yang direkam, teliti memperhatikan apa yang kurang dari nyanyian tersebut. Marco me
etelah acara itu selesai, Alina mulai didekati oleh anak-anak dengan ekonomi menengah dan bawah. Mereka senang sekali dengan kekuatan Alina yang digunakan untuk membantu orang lain. Alina juga sangat senang apabila sedikit demi sedikit keadilan bisa ditegakkan. “Lo keren Al,” seorang wanita duduk di kursi yang sama dengan Alina. Sejenak, suara desingan angin melewati mereka berdua, gemeretak ranting yang menaungi ikut memecah kesunyian. Saat ini Alina sangat waspada dengan wanita yang ada di sampingnya ini. “Bukan gue,” kata-kata singkat itu seperti jawaban atas pertanyaan yang berputar-putar di kepala Alina. Delancy kemudian beranjak dan pergi meninggalkan Alina. Alina tertegun, apakah memang kejadian yang menimpa Alina banyak yang mengetahui, tapi mereka menutup mana soal ini? Atau bahkan, para penjahat itu menggunakan kekuasaan mereka untuk menutupi kejadian ini? Alina tidak boleh percaya begitu saja pada Delancy. Kini Alina lebih awas dengan sekitarnya. Ia tak mau lagi bersika