"Assalamualaikum," ucap Mas Nando yang mulai memasuki kamarku dengan wajah gelisah.
"Wa'alaikumussalam." Aku menjawab salam darinya dengan senyum penuh arti.
Bukan berniat untuk berbicara denganku, dia berlalu memasuki kamar mandi, lalu kudapati dia keluar dari kamar mandi dengan wajah sendu, seperti tak ada lagi semangat dalam hidupnya.
Aku pun menatap suamiku itu dengan lekat, dalam hati, aku ingin sekali mendekatinya. Namun, rasa malu dan gugup membuatku tak sanggup jika harus mendekatinya terlebih dahulu.
Mas Nando yang mulai sadar dengan tatapanku, ia mencoba untuk menghindar, kusadari itu. Aku hanya tertunduk malu sambil berpikir, apakah Mas Nando tidak merasa bahagia dengan pernikahan ini? Hatiku terus bertanya-tanya.
Hingga lamunanku dikagetkan oleh Mas Nando yang memberiku kertas entah apa yang tertulis di kertas itu, aku mencoba menerima dan mulai membacanya.
Sebuah tulisan tangan Mas Nando. Ya Mas Nando sendiri yang menulisnya, isi dari surat itu adalah sebuah perjanjian. Perjanjian apa yang dimaksud Mas Nando, aku mulai bingung dengan keadaan ini, keadaan yang memaksaku untuk tetap terlihat tenang.
Di kertas itu tertulis sebuah perjanjian yang Mas Nando buat untukku, dia menuturkan bahwa selama menjalani pernikahan ini aku dan Mas Nando tidak akan terikat. Apa maksud dari surat perjanjian ini, aku yang merasa bingung dan tidak paham akan maksud dari semua ini, pun memberanikan diri untuk bertanya pada Mas Nando.
"Mas, Ini maksudnya apa ya? Maaf saya tidak mengerti," ucapku dengan mencoba untuk tetap tenang.
"Apa kamu sudah membacanya?" tanya Mas Nando yang masih berdiri dengan jarak yang cukup jauh denganku.
"Iya, sudah kok Mas, tapi ini maksudnya gimana ya, bisa tolong dijelaskan, biar Nandini tidak salah paham?" tanyaku dengan nada lembut, tetapi penuh tanda tanya.
"Kata-kata yang mana yang tidak kamu pahami?" Mas Nando malah balik bertanya.
"Maksud dari kita tidak akan terikat itu apa ya, Mas?" Aku menegaskan kalimat yang membuatku tersentak dan serasa menghujam hatiku,
"Apakah Mas Nando tidak menginginkanku?" gumamku dalam hati.
"Apa kamu berpikir kalau aku menerima perjodohan ini?" Pertanyaan yang Mas Nando lontarkan itu membuat hatiku semakin terasa nyeri.
"Maaf, Mas. Nandini masih belum mengerti apa yang Mas Nando inginkan dari semua ini," ucapku dengan tetap lembut meski hatiku mulai terasa sakit.
"Sekarang saya ingin bertanya, apakah kamu menyetujui perjodohan ini?" tanya Mas Nando dengan tegas, yang membuatku takut, kali ini dengan tatapan yang sangat tajam.
"Seandainya saya tidak menyetujuinya, pasti saya tidak akan menerimanya Mas," ucapku dengan agak terbata-bata karena merasa takut Mas Nando akan marah.
"Nandini, apakah kamu sangat yakin kalau Nando Mahesa Pratama akan menerimamu begitu saja?" pungkas Mas Nando yang semakin tegas dengan tatapan tajam.
"Maaf, Mas, tapi bisa tidak lebih dipelanin sedikit suaranya, Nandini khawatir suara kita akan terdengar oleh keluargaku dan keluarga Mas Nando yang berada di sana," ujarku mengingatkan Mas Nando bahwa keluarganya juga berada di sini.
"Bagus dong, kalau mereka dengar, saya tidak seperti kamu yang bisa terus-menerus berpura-pura seolah kita bahagia dengan pernikahan ini."
Ya Allah rasanya aku ingin menangis tapi aku harus tetap kuat.
"Memang aku bahagia kok, Mas, aku tidak sedang berpura-pura," ucapku dengan lembut berharap Mas Nando memahaminya.
"Sudahlah, lebih baik kamu simpan saja rasa bahagia yang kamu rasakan itu, karena saya tidak akan pernah memedulikannya," ujar Mas Nando yang setiap ucapannya membuat hatiku semakin sakit.
"Apa Mas Nando terpaksa menikahiku?" Aku lontarkan pertanyaan itu karena hatiku sudah merasa sangat sakit dengan semua pernyataannya tadi.
"Iya, saya terpaksa menikahimu Nandini," jawab Mas Nando yang tanpa melihat ke arahku.
"Tapi kenapa Mas Nando menerima perjodohan ini, bolehkah Nandini mengetahui alasannya?" Aku menanyakannya, mengapa dia harus berpura-pura menerima perjodohan ini.
"Kamu tahu kenapa? Itu semua karena kalian semua yang memaksaku harus menerimanya."
"Iya, Mas. Akan tetapi, seharusnya Mas Nando menolaknya, kalau memang Mas Nando tidak menginginkanku," ucapku yang kali ini tidak bisa selembut kapas lagi, karena sedari tadi Mas Nando selalu memancing emosiku.
"Kamu pikir mudah untuk menolak perjodohan ini? Sedangkan orang tua kita tidak akan pernah membiarkan kita menolaknya, apa kamu tahu akibat apa yang akan saya alami, jika saya menolak perjodohan ini?" Mas Nando menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak bisa menerimaku.
"Nandini memang tidak tahu apa pun mengenai perjodohan ini Mas, yang Nandini tahu Ayah telah memilihkan laki-laki yang baik untuk menjadi imam Nandini, yang bisa membimbing Nandini menjadi lebih baik lagi kedepannya. Hanya itu yang Nandini ketahui, Mas," sahutku dengan pelan dan lembut.
Aku harus tetap menahan emosi dan berusaha tetap menghormati serta menghargai semua keputusan yang akan diambil oleh Mas Nando nanti, yang menyangkut rumah tangga kami.
"Tapi saya tidak bisa dengan mudah menerima orang baru yang asing bagi saya, Nandini. Saya harap kamu bisa mengerti itu," ujar Mas Nando dengan kesal.
"Iya, Mas Nandini akan berusaha untuk selalu mengerti dan menghargai apa pun keputusan Mas Nando," ucapku dengan tetap berusaha tenang, meski hati meledak-ledak menahan emosi.
"Bagus kalau kamu mengerti kalau saya tidak menginginkanmu hadir di kehidupan saya," tegas Mas Nando.
Perkataan itu yang membuat hatiku terasa begitu nyeri. jika tidak menginginkanku mengapa dia menerima perjodohan ini dan melukai hatiku.
"Akan tetapi, semua sudah terlanjur, bagaimanapun juga Nandini sudah sah menjadi istri Mas Nando dan Nandini akan terus berusaha menjadi istri yang baik," ucapku masih dengan nada lembut, karena sebenarnya aku tidak pernah bisa marah, meski hatiku sangat tersakiti.
"Kamu tidak perlu melakukan tugas kamu sebagai seorang istri, dan saya juga tidak perlu memperlakukan kamu sebagaimana seorang suami memperlakukan istrinya, kamu mengerti!" Dia mempertegas.
Semua itu membuat batinku ingin memberontak. Namun, aku hanya bisa diam. Bibir ini terasa kelu, aku sudah tak sanggup untuk berkata apa pun lagi, teras percuma kalau aku harus menjelaskan. Mas Nando pasti tidak akan menerimanya, karena dia sedang emosi.
Aku pun terdiam, membiarkan Mas Nando meluapkan emosinya terhadap diriku. Aku juga salah telah mempercayai janjinya, yang aku pikir dia akan menepatinya.
"Kamu dengarkan baik-baik, saya menerima perjodohan ini bukan saya merasa tertarik dengan kamu, semua itu saya lakukan hanya karena semua yang saya miliki akan begitu saja jika saya menolaknya, saya tidak menginginkan hal itu," ujar Mas Nando dengan tegas.
"Kamu tahu ini. Orang tua saya sangat mencintai kamu, aku heran apa yang membuat mereka menyukai kamu dan menginginkan kamu menjadi menantu mereka, padahal saya lihat kamu biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial di mata saya, kamu ini terlalu polos Nandini!" ujarnya lagi.
"Saya akui kamu memang cantik, tapi bukan hanya kecantikan yang mampu mempengaruhi hati saya, karena apa? Karena hati saya sudah terlanjur di tempati oleh wanita yang sangat saya kagumi sejak dulu. Kini saya gagal menikahinya dan itu semua karena kamu hadir di kehidupan saya, yang telah memaksa saya untuk menerima semua kenyataan ini," ujarnya begitu sadis sembari menatapku tajam.
Aku masih menahan emosi yang ingin segera meledak, aku mencoba untuk terus menahan dengan berusaha untuk tetap tenang. Aku telah menerima perjodohan ini, dan aku juga harus menerima semua konsekuensinya.
"Di kertas itu tertulis sebuah kesepakatan, yang kamu tidak boleh melanggarnya, kesepakatan ini memang saya sendiri yang menulisnya, tetapi kamu harus menyetujuinya," ujar Mas Nando dengan nada penuh emosi.
"Saya akan menjelaskan satu persatu, saya harap kamu bisa mengerti dan memahaminya," ujarnya.
"Kesepakatan ini terdiri dari lima kesepakatan yang tidak boleh kamu langgar, kesepakatan yang pertama, saya dan kamu tinggal dalam satu rumah. Namun, tentu saja tidak berada dalam satu kamar, saya tidur di kamar saya sendiri dan kamu nanti bisa tidur di kamar tamu. Kesepakatan itu bisa kita lakukan saat kita sudah pindah di rumah saya nanti."
"Kesepakatan yang kedua, kamu tidak harus menyiapkan segala keperluan saya, karena saya sudah terbiasa melakukannya sendiri. Kamu bisa melakukan kegiatan kamu sendiri dan tidak harus memberitahu saya, tidak perlu pamit kalau kamu ingin pergi ke mana pun kamu mau, saya juga tidak harus meminta persetujuan kamu, tidak perlu juga meminta izin, kita bisa hidup dalam satu rumah, tapi tetap seperti orang asing, kamu anggap saja kita tidak saling kenal. Kamu tidak mengenal saya, dan saya juga tidak mengenal kamu."
"Kesepakatan yang ketiga, kamu tidak diizinkan untuk mengurusi semua urusan pribadi saya, kamu urus saja diri kamu sendiri, kamu bebas melakukan apa saja yang kamu suka dan yang diinginkan, saya tidak akan membatasi pergaulan kamu, saya juga tidak akan melarang kamu untuk melakukan apa pun itu, dan saya akan tetap memberikan kamu uang belanja setiap bulan, jika habis kamu bisa memintanya lagi. Saya tidak akan menolak."
"Kesepakatan yang ke empat, di luar rumah kamu harus tetap realistis seolah-olah rumah tangga kita ini baik-baik saja, tidak ada masalah. Kamu harus selalu terlihat bahagia, jangan pernah pasang muka sedih, kita akan terlihat mesra saat di luar rumah, hanya di luar rumah saja, itu pun saat bertemu dengan keluargaku dan keluarga kamu, selain itu kita akan tetap terlihat seperti orang asing yang tidak saling kenal."
"Kesepakatan yang kelima, kamu harus siap saya ceraikan, rumah tangga kita ini hanya akan bertahan selama satu tahun, setelah itu saya akan menceraikan kamu. Karena saya akan menikahi pacar saya Alesha. Saya harap kamu bisa mengerti." Kesepakatan terakhir yang membuat hati ini terasa teriris, hati ini terluka.
Aku terdiam, rasanya aku tidak ingin membahas hal ini lebih jauh lagi, khawatir malah akan menimbulkan risiko. aku pun memutuskan untuk diam.
Mas Nando yang mulai berani memandangku dengan tatapan yang serius. Namun, aku diam saja, biarlah Mas Nando puas dengan semua amarahnya, aku akan jadi pendengar.
Kami pun hanyut dalam diam, tidak
ada lagi yang bicara, Mas Nando memandangku dengan pandangan yang seolah merasa bersalah. Ia pun mencoba mengatur napasnya dan kembali diam. Mungkin dia sedang introspeksi diri atau bisa jadi juga dia telah meluapkan segala emosinya.Aku menanggapi semua itu dengan tenang dan tetap lembut dalam bertutur kata, menghormati dia sebagai suamiku. Ya, meski aku tidak dianggap dan dihargai. Setelah dirinya merasa tenang, kemudian Mas Nando pun mencoba untuk berbicara lagi."Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?""Tidak Mas, Nandini nurut," sahutku"Ya sudah, ini sudah malam, kamu istirahat saja," ucapnya sambil melangkahkan kaki ke luar."Mas Nando mau ke mana?" tanyaku."Keluar sebentar, ke depan rumah," singkatnya."Oh ya, Mas. Nanti Mas Nando tidur di mana? Di kamar Nandini juga tidak ada sofa," sahutku memberanikan diri untuk bertanya seperti itu."Ya, tidur di sini, bolehkan?" Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Aku ingin kamu selalu memberikan senyuman itu Mas Nando"Hmm, maksudnya Mas?" jawabku yang merasa bingung, karena dia tadi menegaskan kalau tidak akan tidur dalam satu kamar denganku, kenapa sekarang dia berkata sebaliknya."Untuk sementara w
"Kamu rilex saja, saya 'kan tidak menyakiti kamu," ucapnya dengan lembut sambil membelai hijabku.Sedari tadi aku masih memakai hijab, memang aku masih enggan untuk melepasnya karena malu."Iya, Mas, apa boleh kita seperti ini?" Spontan Aku mengatakan hal itu, seakan diriku ini menolak permintaannya."Duh apa-apaan sih kamu ini, Nandini, sudah seharusnya kamu bisa melayani suami kamu dengan baik, kok bisanya masih berpikir macam-macam," gumamku dalam hati."Loh, 'kan kamu sendiri tadi yang bilang itu hukumnya wajib dan agama pun tidak melarangnya," ucapnya dengan nada agak kesal."Maaf Mas bukannya gitu, tapi--" ucapku dengan lembut tapi khawatir Mas Nando akan kembali marah."Tapi, kamu malu untuk mengakuinya? Kamu ini sangat polos sekali, saya suka kepolosan kamu," ucapnya dengan lembut dan semakin mendekatkan dirinya hingga tiada jarak lagi di antara kita.Aku terdiam, Mas Aldo langsung saja mencium bibirku dan kali ini lebih lama. Ciuman itu be
Ibu Kurnia hamil anak pertamanya, saat aku berusia 9 Tahun, aku yang tengah tinggal selama 2 tahun dengan keluarga baruku itu.Aku bahagia sekali memiliki seorang adik, akhirnya keluarga kami pun terlihat sangat lengkap. anak pertama mereka adalah Putri Intan Pramesti. Adik yang selalu membuatku bangga karena prestasi yang sering ia raih. Kini Putri telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, bahkan menurutku dia lebih cantik dariku.Usia Putri saat ini menginjak usia 18 tahun, yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya Di SMAN 29 Jakarta. Dia tumbuh menjadi remaja yang sangat pandai dan mulai suka dandan, ya memang karena dia itu cantik. Namun, kecantikan itu tak membuatnya menjadi gadis yang sombong.Saat Putri berusia 3 tahun, Ibu Kurnia Hamil lagi anak ke duanya, yang diberi nama Faizal Nauval Rahardi, Faizal yang memang hanya terpaut 3 tahun dengan Putri, kini seperti mereka ini sepantaran.Faizal menginjak pendidikan SMP, dia memilih SMP
Setelah sarapan pagi, kami pun bergegas untuk segera berangkat ke rumah Mas Nando yang ada di Jakarta, takut di jalan terjebak macet, jadi kami memutuskan untuk berangkat pagi.Aku pun pamit dan menyalami ayah dan ibu angkatku serta Paman Sam,"Ayah, Ibu, Nandini pamit tinggal di rumah Mas Nando ya," ucapku sembari menyalami mereka.Mas Nando pun melakukan hal yang sama denganku"Iya, Nandini. Hati-hati, Nak. Ibu akan selalu berdoa semoga keberkahan selalu tercurahkan di kehidupan rumah tangga kalian," ucap Ibu sembari memelukku erat."Iya, Ibu. Terima kasih banyak, Ibu telah menyayangiku, nandini pasti akan merindukan Ibu.""Iya, Nak. Ibu juga pasti akan selalu merindukan kamu, seringlah datang ke sini untuk sekadar mengunjungi kami ya, Nak, ajaklah suamimu untuk ikut serta," ucap Ibu sembari membelai hijab yang kukenakan."Iya, Bu itu pasti, saya pasti mengizinkan Nandini untuk sering ke mari, bahkan saya yang akan mengantarnya saat
Di dalam kamar air mata ini pun terasa tumpah, hatiku benar-benar hancur, mungkin tidak akan seperti ini rasanya, jika aku tidak mencintai Mas Nando, tapi aku mencintai suamiku, entah kapan cinta ini mulai tumbuh dan bersemi di hatiku aku pun tidak tau hal itu. mungkin saja saat ijab qobul terucap, ataukah karena semalam di perlakukan dengan baik oleh Mas Nando. atau bisa jadi karena senyumannya. entahlah apa yg membuatku bisa mencintai suamiku.Yang pasti saat ini aku benar - benar kecewa dengan perilaku Mas Nando. Dia tidak menghargaiku sama sekali. bahkan pertama kali aku masuk rumah ini pun harga diriku merasa diinjak-injak dengan ulahnya yang membawa perempuan itu kerumahnya, padahal di sini ada aku. Dia anggap apa aku ini.Mas Nando sama sekali tidak bisa menjaga perasaanku, untuk apa aku tinggal di sini, untuk melihat mereka yang pamer kemesraan. Aku harus pergi dari sini, tapi aku akan pergi ke mana? kembali ke rumah Ayah, itu tidak mungkin. Masalah ini akan me
"Aku kangen sama kamu Nis.""Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat."Ketemu di mana Nis?" tanyaku."Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa."Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando."Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi."Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut."Oke deh, Nandini, besok aku tu
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya