Aku menanggapi semua itu dengan tenang dan tetap lembut dalam bertutur kata, menghormati dia sebagai suamiku. Ya, meski aku tidak dianggap dan dihargai. Setelah dirinya merasa tenang, kemudian Mas Nando pun mencoba untuk berbicara lagi.
"Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
"Tidak Mas, Nandini nurut," sahutku
"Ya sudah, ini sudah malam, kamu istirahat saja," ucapnya sambil melangkahkan kaki ke luar.
"Mas Nando mau ke mana?" tanyaku.
"Keluar sebentar, ke depan rumah," singkatnya.
"Oh ya, Mas. Nanti Mas Nando tidur di mana? Di kamar Nandini juga tidak ada sofa," sahutku memberanikan diri untuk bertanya seperti itu.
"Ya, tidur di sini, bolehkan?" Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Aku ingin kamu selalu memberikan senyuman itu Mas Nando
"Hmm, maksudnya Mas?" jawabku yang merasa bingung, karena dia tadi menegaskan kalau tidak akan tidur dalam satu kamar denganku, kenapa sekarang dia berkata sebaliknya.
"Untuk sementara waktu, sebelum kita pindah ke rumahku, aku akan tidur seranjang dengan kamu. Apa kamu merasa keberatan?" ujarnya dengan tampang datar, yang kali ini tidak terlihat lagi senyum di wajah.
"Mmm, enggak kok, Mas, tidak keberatan," ucapku dengan malu menanyakan hal tadi yang tidak seharusnya aku tanyakan.
"Tenang saja, saya tidak akan melakukan macam-macam, mungkin juga hanya pelukan, karena biasanya jika tidur, saya selalu peluk erat guling," ucapnya dengan senyuman yang sangat manis.
"Jadi aku cuma dijadiin guling nih," gerutuku dalam hati.
"Iya Mas, Nandini nurut," ucapku sembari tersenyum malu.
"Saya hanya tidak ingin membuat kamu takut, karena sebenarnya saya tidak sejahat yang kamu pikirkan," ujarnya sambil menatapku begitu dalam.
"Iya, Mas. Terima kasih sudah berusaha menghargaiku," ucapku dengan lembut.
"Iya sama - sama, saya salut sama kamu, karena kamu orangnya tidak mudah terpancing emosi, kamu tadi cukup membuat saya malu karena tidak bisa menahan emosi yang ada dalam diri saya," ucapnya dengan senyum yang semringah.
"Dasar orang aneh, tadi marah-marah, sekarang tebar pesona," gerutuku dalam hati.
"Iya, Mas. Karena Nandini sudah terbiasa menahan amarah, lagian untuk apa juga meluapkan emosi, kita sendiri juga akan merasa rugi," ucapku dengan tutur kata yang lembut. Membuat Mas Nando menatapku lekat.
"Iya, Nandini. Maafkan ucapan saya yang kasar ke kamu tadi ya, saya juga telah salah menilai kamu," ucapnya yang kali ini ia bicara dengan lembut, membuat hatiku senang, seolah luluh dengan semua ucapannya.
"Iya, Mas, tidak apa-apa, Nandini memakluminya," sahutku dengan senyuman.
"Ya sudah, saya keluar sebentar ya, kamu bisa istirahat dulu kalau memang kamu sudah ngantuk," katanya dengan lembut.
"Iya Mas, terima kasih ya," sahutku dengan lembut.
"Terima kasih buat apa lagi?"
"Sudah mau menjadi temanku." Spontan saja aku mengucapkan kata teman, ya memang dia sendiri tidak menganggap aku sebagai istri, tapi tidak masalah kalau teman dulu, aku dan Mas Nando juga baru saling mengenal.
"Iya, Nandini, maaf ya kalau kita hanya bisa menjadi teman," ucapnya dengan nada gelisah.
"Tuh 'kan, benar dia menganggapku hanya sebagai teman," gumamku dalam hati.
"Iya, tidak apa-apa kok Mas, menjadi teman juga sudah cukup membuatku bahagia, terima kasih." ucapku yang kali ini dengan lebih lembut.
"Iya, kita teman, teman serumah, teman tidur, teman segala aktivitas. Terima kasih juga karena kamu sudah mengerti keadaanku, Nandini, kamu adalah wanita yang baik, bahkan yang paling baik yang pernah saya temui," ujarnya dengan lembut membuatku kagum .
"Apa tidak salah Mas Nando bilang begitu, aku wanita paling baik yang pernah dia temui, lalu bagaimana dengan pacarnya yang bernama Alesha itu, apa dia tidak baik ya?" gumamku dalam batin.
"Katanya mau ke luar Mas?" sahutku mengingatkan Mas Nando yang tadinya bilang ingin ke luar ke teras, tapi tidak kunjung keluar, malah duduk mendekatiku.
"Tidak jadi deh, Nandini. Saya kok merasa nyaman bicara sama kamu, kenapa dari tadi enggak gini aja ya, malah saya yang terpancing emosi," ucapnya sembari duduk mendekatiku.
"Iya, Nandini paham kok, ngerti gimana perasaan Mas Nando," ucapku dengan lembut.
"Suara kamu lembut banget, hampir aja aku terpesona sama nada bicara kamu."
Masyaallah langsung meleleh deh.
Menurutku Mas Nando ini sikapnya memang aneh, kadang ngeselin, nyebelin, tapi kalau sudah berkata lembut aku bisa langsung tunduk padanya.
"Mas Nando bisa saja. Nah, ngobrol begini kan enak Mas, tidak bikin emosi," ujarku sembari melempar senyum
"Iya, kamu benar, Nandini, bicara kamu itu bikin tenang, emosiku saja langsung hilang, saya jadi khawatir kamu bisa membuat saya takluk. hehe," candanya yang bikin dag dig dug
"Ya, kalau seumpama bisa sih, aku ingin membuat kamu takluk Mas," ujarku yang kini mulai terbiasa tidak merasa canggung lagi.
"Tapi sepertinya tidak akan bisa deh."
"Kenapa begitu Mas? Selagi ada usaha 'kan pasti bisa," ucapku dengan senyum semringah. Kali ini Mas Nando bisa meluluhkan hatiku, emosiku pun tiba-tiba langsung hilang begitu saja.
"Saya juga tidak tahu, kenapa saya bisa jadi seperti ini, Nandini," ucap Mas Nando sambil menunduk berpikir.
"Kenapa Mas?" ucapku lembut, seraya menepuk pundaknya. Aku tersadar dan langsung menurunkan tangan,
"Duh, bener-bener aku ini, kenapa bisa kelepasan begini, diperhatikan sedikit saja sudah langsung bertindak aneh." Pikiranku yang mulai tidak karuan.
"Maaf ya, Mas, kelepasan." Aku langsung minta maaf pada Mas Nando, khawatir membuatnya marah atas tindakanku ini, yang langsung saja refleks menepuk pundaknya pelan.
"Iya tidak apa-apa kok, Nandini, sepertinya kamu refleks, tapi tangan kamu lembut juga ya," ucapnya dengan lembut dan tersenyum nakal.
"Mas Aldo bisa saja, sudah ah, Nandini jadi malu," ucapku sambil nunduk. Spontan saja Mas Nando menengadahkan daguku dan mengarahkannya di dekat wajahnya. Dekat sekali, dadaku pun merasakan degupnya yang sangat kencang.
"Kamu cantik, tapi kecantikan kamu sangat alami," ucapnya dengan lembut sambil menatapku sangat dalam. Hingga dengan spontan aku memejamkan mata.
Tanpa kusadari tiba-tiba Mas Nando mengecup bibir mungilku, sontak saja aku kaget dan membuka mata.
"Tutup aja lagi mata kamu, boleh 'kan saya--" Belum dilanjutkan ucapannya, Mas Nando kembali mencium bibirku. Aku yang baru pertama kali melakukannya, membuat jantungku berdetak kencang. Hal ini membuatku nyaman. Namun, penuh pertanyaan.
"Maaf, sepertinya saya juga telah kelepasan," ucapnya.
Aku hanya bisa diam menata lagi hatiku, baru saja aku merasakan sakit hati sekaligus perasaan yang sulit untuk diterjemahkan, entah ini cinta atau apa, tapi aku merasa nyaman dengan perasaan ini, aku berharap bisa terus seperti ini.
Ternyata Mas Nando tidak segalak yang aku pikirkan, bahkan dia bisa lembut. Ayah pernah bilang kalau Mas Nando memang tidak pernah bisa marah sama perempuan, Mas Nando adalah pria yang selalu menghargai dan menghargai wanita, sikapnya lembut dan penuh perhatian. Mungkin benar apa yang ayah katakan
Namun, rasanya belum puas kalau Mas Nando belum bisa menjadi milikku seutuhnya. Bayangan-bayangan akan Alesha pacar Mas Nando sering membuatku cemas, akankah rumah tangga kami bisa membaik atau malah semakin buruk ke depannya.
"Kamu berhasil membuat saya takluk, Nandini, padahal baru pertama kali saya berinteraksi dengan kamu, apalagi kalau setiap hari saya harus bertemu kamu, dengan status kamu yang menjadi istri saya, hal ini membuat saya cemas, Nandini," ujarnya dengan ekspresi cemas.
"Cemas kenapa Mas, apa yang Mas Nando khawatirkan?" ucapku dengan lembut dan sesekali menatap matanya yang tertunduk.
"Tidak, Nandini. Saya hanya mengingat Alesha, perempuan yang telah saya kenal cukup lama, saya mencintainya dan dia juga mencintai saya, tapi dia juga belum bisa membuat saya takluk seperti ini, jujur Nandini, barusan itu ciuman pertama saya," ujar Mas Nando sembari menatapku dengan penuh kelembutan.
"Jadi, Mas Nando belum pernah ciuman, meski sudah memiliki pacar yang dia bilang mencintainya," gumamku dalam hati.
"Heran juga ya, kenapa dia bisa kelepasan gitu langsung cium aku, padahal aku 'kan baru ia kenal, apalagi dia sempat emosi tadi," gumamku dalam hati seakan bingung dengan perilaku Mas Nando barusan.
"Nandini, kok malah bengong sih. kamu dengerin saya bicara tidak sih?" tanyanya dengan nada kesal.
"Iya, dengar kok, Mas," ucapku agak kaget, karena barusan aku telah memikirkan yang tidak-tidak.
"Saya itu hanya menjelaskan saja, biar kamu tidak berpikir macam-macam mengenai diri saya," ucapnya dengan kembali lembut.
"Tidak kok, Mas. Nandini sama sekali tidak berpikir macam-macam kok, bukan hak Nandini juga mengurusi kehidupan Mas Nando dengan memikirkan yang belum tentu kebenarannya," ujarku.
"Meski saya dan Alesha telah lama berpacaran, kurang lebih sekitar lima tahun. Saya mulai menyukainya dulu saat kami masih kuliah di kampus yang sama. Namun, berbeda jurusan, pada saat itu Alesha adalah adik semester saya. Meski sudah pacaran lama, kami hanya sering mengobrol biasa, paling juga cuman pegangan tangan, hanya itu yang kami lakukan, saya tidak ingin menciumnya bahkan memeluknya juga belum pernah saya lakukan, meski terkadang Alesha menginginkannya. Namun, saya mencoba untuk menjelaskan baik-baik. Saya sangat menghormati wanita, Nandini, saya tidak mau melakukan hal yang belum berhak saya lakukan, saya inginkan itu saat saya sudah menikah nanti, eh malah saya langsung lakukan itu ke kamu, enggak tahu juga kenapa bisa begitu. Maaf ya, Nandini," ucapnya dengan nada bersalah telah kelepasan menciumku.
"Iya, tidak apa-apa kok, Mas, 'kan memang Nandini telah menjadi istri Mas Nando, agama saja tidak melarangnya Mas, bahkan mewajibkannya," ucapku dengan lembut sambil menatapnya dengan malu.
"Wajib ya?"
"Iya, 'kan memang hukumnya wajib Mas," ucapku dengan heran, masa iya Mas Nando tidak paham akan kewajiban dalam pernikahan.
"Kalau wajib boleh dong diulangi sekali lagi?" ucapnya dengan lembut sambil terus saja menatapku.
Aku terdiam, dan menundukkan pandangan, gejolak di hatiku memang menginginkannya lagi, tapi aku sendiri masih sangat malu untuk mengakuinya.
"Kamu rilex saja, saya 'kan tidak menyakiti kamu," ucapnya dengan lembut sambil membelai hijabku.Sedari tadi aku masih memakai hijab, memang aku masih enggan untuk melepasnya karena malu."Iya, Mas, apa boleh kita seperti ini?" Spontan Aku mengatakan hal itu, seakan diriku ini menolak permintaannya."Duh apa-apaan sih kamu ini, Nandini, sudah seharusnya kamu bisa melayani suami kamu dengan baik, kok bisanya masih berpikir macam-macam," gumamku dalam hati."Loh, 'kan kamu sendiri tadi yang bilang itu hukumnya wajib dan agama pun tidak melarangnya," ucapnya dengan nada agak kesal."Maaf Mas bukannya gitu, tapi--" ucapku dengan lembut tapi khawatir Mas Nando akan kembali marah."Tapi, kamu malu untuk mengakuinya? Kamu ini sangat polos sekali, saya suka kepolosan kamu," ucapnya dengan lembut dan semakin mendekatkan dirinya hingga tiada jarak lagi di antara kita.Aku terdiam, Mas Aldo langsung saja mencium bibirku dan kali ini lebih lama. Ciuman itu be
Ibu Kurnia hamil anak pertamanya, saat aku berusia 9 Tahun, aku yang tengah tinggal selama 2 tahun dengan keluarga baruku itu.Aku bahagia sekali memiliki seorang adik, akhirnya keluarga kami pun terlihat sangat lengkap. anak pertama mereka adalah Putri Intan Pramesti. Adik yang selalu membuatku bangga karena prestasi yang sering ia raih. Kini Putri telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, bahkan menurutku dia lebih cantik dariku.Usia Putri saat ini menginjak usia 18 tahun, yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya Di SMAN 29 Jakarta. Dia tumbuh menjadi remaja yang sangat pandai dan mulai suka dandan, ya memang karena dia itu cantik. Namun, kecantikan itu tak membuatnya menjadi gadis yang sombong.Saat Putri berusia 3 tahun, Ibu Kurnia Hamil lagi anak ke duanya, yang diberi nama Faizal Nauval Rahardi, Faizal yang memang hanya terpaut 3 tahun dengan Putri, kini seperti mereka ini sepantaran.Faizal menginjak pendidikan SMP, dia memilih SMP
Setelah sarapan pagi, kami pun bergegas untuk segera berangkat ke rumah Mas Nando yang ada di Jakarta, takut di jalan terjebak macet, jadi kami memutuskan untuk berangkat pagi.Aku pun pamit dan menyalami ayah dan ibu angkatku serta Paman Sam,"Ayah, Ibu, Nandini pamit tinggal di rumah Mas Nando ya," ucapku sembari menyalami mereka.Mas Nando pun melakukan hal yang sama denganku"Iya, Nandini. Hati-hati, Nak. Ibu akan selalu berdoa semoga keberkahan selalu tercurahkan di kehidupan rumah tangga kalian," ucap Ibu sembari memelukku erat."Iya, Ibu. Terima kasih banyak, Ibu telah menyayangiku, nandini pasti akan merindukan Ibu.""Iya, Nak. Ibu juga pasti akan selalu merindukan kamu, seringlah datang ke sini untuk sekadar mengunjungi kami ya, Nak, ajaklah suamimu untuk ikut serta," ucap Ibu sembari membelai hijab yang kukenakan."Iya, Bu itu pasti, saya pasti mengizinkan Nandini untuk sering ke mari, bahkan saya yang akan mengantarnya saat
Di dalam kamar air mata ini pun terasa tumpah, hatiku benar-benar hancur, mungkin tidak akan seperti ini rasanya, jika aku tidak mencintai Mas Nando, tapi aku mencintai suamiku, entah kapan cinta ini mulai tumbuh dan bersemi di hatiku aku pun tidak tau hal itu. mungkin saja saat ijab qobul terucap, ataukah karena semalam di perlakukan dengan baik oleh Mas Nando. atau bisa jadi karena senyumannya. entahlah apa yg membuatku bisa mencintai suamiku.Yang pasti saat ini aku benar - benar kecewa dengan perilaku Mas Nando. Dia tidak menghargaiku sama sekali. bahkan pertama kali aku masuk rumah ini pun harga diriku merasa diinjak-injak dengan ulahnya yang membawa perempuan itu kerumahnya, padahal di sini ada aku. Dia anggap apa aku ini.Mas Nando sama sekali tidak bisa menjaga perasaanku, untuk apa aku tinggal di sini, untuk melihat mereka yang pamer kemesraan. Aku harus pergi dari sini, tapi aku akan pergi ke mana? kembali ke rumah Ayah, itu tidak mungkin. Masalah ini akan me
"Aku kangen sama kamu Nis.""Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat."Ketemu di mana Nis?" tanyaku."Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa."Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando."Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi."Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut."Oke deh, Nandini, besok aku tu
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
"Gimana Nandini, sudah siap buat cerita?" tanya Annisa. "Iya, Nis. Aku memang harus siap menceritakan masalahku ini ke kamu," ucapku dengan nada sedih. "Iya jangan dipendam sendiri, Nandini, siapa tau saja aku bisa bantu kamu selesaikan masalah yang sedang kamu hadapin itu," ujar Annisa. "Iya, Nis. Makasih ya, kamu selalu bisa membuatku sedikit lebih tenang," ucapku "Iya, Nandini. Kita ini bukan sekadar sahabat, tapi kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku, jadi masalah yang sedang kamu hadapi itu juga masalahku, sedangkan kebahagiaan yang kamu rasakan itu juga kebahagiaan yang aku rasakan. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, Nandini. Kamu ini kan pengantin baru, seharusnya kamu bahagia, bukan malah sedih kayak gini," ucap Annisa yang mampu membuat hatiku sedikit lebih tenang. "Iya, Nis." "Apa kamu sedang bertengkar dengan Mas Nando, Nandini?" tanya Annisa. "Iya, Nis," jawabku dengan tertunduk, berusaha menata hati agar tidak samp