"Ketika rasa tidak lagi bisa dipahami, dan ketika keadaan menjadi tempat pelampiasan."
***
Nahla membanting handphonenya ke lantai, sekarang ia kesal. Kesal karena pesan yang baru saja ia terima.
"Ck."
Dia mengambil tas selempangnya yang berada di atas nakas dan bergegas turun ke bawah.
"Nahla, kamu mau kemana?" tanya Ilen dari dapur bersama Anin. Gadis kecil itu tersenyum menatap Nahla.
"Anin juga anak Mama," ujarnya menjawab kebingungan Nahla melihat mereka berdua.
Nahla mengangguk paham, ia merasa lega karena keadaan di rumah mulai membaik. "Maaf," gumamnya.
Nahla menggeleng. "Nahla senang," ujarnya tersenyum menatap kedua orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Nahla izin keluar," pamitnya membuat Ilen mengangguk kecil.
***
Sesampainya di halaman rumah yang cukup besar, Nahla segera menuju pintu utama rumah tersebut. Dengan tidak sabar ia menekan bell rumah itu berulang kali.
Perlahan pintu rumah terbuka memperlihatkan wanita dengan setelan rapi. "Abang ada Kak?" tanya Nahla tho the point tanpa basa basi.
"Abang? Ada yuk masuk," ajaknya. Nahla berjalan di belakang wanita tersebut.
"Abang kamu ada di ruang kerja, ke sana aja. Kakak mau ke rumah sakit juga," ujarnya. Nahla mengangguk dan segera menemui abangnya.
Tanpa permisi Nahla segera membuka pintu dimana abangnya sedang berada. "Kamu?" tanyanya melirik Nahla sekilas.
"Ngapain?" tanyanya lagi tetap fokus dengan laptopnya.
"Ngapain?" tanya Nahla balik karena kekesalannya kembali.
Naufal memilih menutup laptopnya dan beranjak ke sofa yang ditempati Nahla. "Kenapa lagi?" tanya Naufal menghela napas dengan sikap adik semata wayannya.
Nahla mengelurkan handphonenya dari dalam tasnya dan memperlihatkan pesan yang ia terima tadi. Naufal mengambil tanpa banyak tanya dan membacanya.
"Lalu?" tanyanya menghela napas, ini bukan pesan pertama atau dua kali yang diperlihatkan Nahla kepadanya. Tapi sudah berulang kali.
Nahla menengkakkan kepalanya menatap Naufal. "Lalu?" Pengen Nahla menangis sekarang. Kenapa tidak ada orang yang bisa memahami dirinya walau sedikit saja. Apa harus ia yang selalu memahami orang lain.
"Percuma Nahla bilang ke Abang," keluh Nahla merebut kembali handphone dan menyimpannya kembali.
"Kamu sendiri tidak bisa memahami diri, Abang kamu suruh memahami mana bisa," sahut Naufal bersandar di sofa.
"Kepala batu," celetuknya memejamkan matanya.
"Lebih baik aku cerita sama Kak Nurul dari pada Abang," dengkus Nahla.
"Sok, silakan jawabannya juga bakal sama," gumamnya tersenyum tipis.
"Bukan kamu saja yang ikut tertekan dengan keadaan, tapi Abang juga." Naufal bangkit kembali ke meja kerjanya.
"Pahami diri kamu." Naufal tersenyum miring.
"Tapi ...."
"Tapi, itu yang nggak bisa?" tanya Naufal membuat Nahla bungkam.
"Ya, ya serah," gumam Nahla kehabisan kata-kata.
"Tapi, tidak semua orang bisa kita pahami dan tidak semua orang juga bisa memahami diri sendiri," kata Nahla, Naufal mengangguk singkat.
"Salah," bantahnya tidak sesuai dengan sikapnya saat ini.
"Nyatanya kamu bisa memahami orang lain, tapi dirimu?" Tawa kecil mengisi ruangan tersebut.
"Diriku?" Nahla menghela napas, "Hanya aku yang bisa memahaminya sendiri," lanjutnya menatap datar abangnya.
"Ya."
"Yaudah sana pulang," suruhnya membuat Nahla menatapnya jengkel.
"Ngusir?" tanyanya dengan mimik wajah tidak bersahabat.
"Adikmu," ujar Naufal fokus kembali dengan pekerjaannya.
"Heum, dah damai," gumam Nahla bersandar ke sofa.
"Yang benar saja?" tanya Naufal tersenyum miring.
"Makanya ke rumah," ledek Nahla.
"Malas," gumam Naufal.
"Ya ya serah anda," gerutu Nahla membuat Naufal tersenyum.
"Pesan tadi, anggap aja itu ada yang salah kirim," pesan Naufal membuat Nahla mengangguk singkat.
"Basi," celetuknya karena sudah berulang kali kata itu diucapkan Naufal kepada dirinya.
"Diingatin," gerutu Naufal.
"Heum."
"Aku pamit," ujarnya bangkit membuat Naufal menoleh. "Kemana?"
"Kan tadi diusir," sindir Nahla.
"Yaudah, sana," usir Naufal tersenyum meledek.
Tanpa basa basi sedikitpun Nahla langsung meluncur pergi antara kesal atau lega karena abangnya itu.
"Non Nahla," sapa Bi Karin mengagetkan Nahla yanh baru keluar dari ruang kerja Naufal.
"Bibi," dengkus Nahla lantaran kaget.
"Hehe, maaf Non," ujarnya 'tak enak.
"Bibi kebiasaan," canda Nahla membuat wanita paruh baya tersenyum.
Nahla duduk di sofa ruang keluarga diikuti Bibi Karin. "Bi, Hana mana?" tanyanya karena tidak melihat keberadaan anak Bibi Karin.
"Di kamar Non, lagi nggak enak badan," ujarnya membuat Nahla paham.
"Mau minum?" tanya Bi Karin.
"Nggak usah Bi, Nahla mau pulang juga kok."
Bibi Karin mengangguk kecil, dia izin undur diri kebelakang karena masih ada kerjaan yang belum selesai.
Nahla masih berdiam diri di ruang keluarga ia menatap langit-langit ruangan tersebut. "Hidupku 'tak seindah yang kubayangkan," gumamnya tersenyum miring.
Lalu ia memelih pulang.
Diperjalanan pulang Nahla menatap sekitar, terik matahari membuat penglihatannya silau. Nahla menggunakan ojek online, sehingga cahaya matahari langsung bertubrukan dengan penglihatannya.
"Mas nanti mampir ke cafe diperempatan itu ya," pinta Nahla membuat Mas ojeknya mengangguk.
Setelah urusannya selesai Nahla langsung menuju rumah tanpa mampir kemana-mana lagi.
Sesampainya di rumah ia segera masuk dan mambawa makanan yang ia beli tadi. "Makasi ya Mas."
"Assalamualaikum," salamnya memasuki rumah.
"Waalaikumsalam," balas Ilen dan Anin yang tengah bermain di ruang tamu.
"Nahla bawa makanan," ujarnya membuat Anin bersorak kegirangan.
Ilen menagngguk dan membawa makanan yang dibawa Nahla menuju dapur."Anin main apa aja sama Mama?" tanyanya mambuat gadis itu semangat menceritakan apa saja yang dia lakukan bersama Ilen.
Nahla tersenyum, setidaknya mamanya mau berdamai dengan keadaan dan menerima dengan ikhlas.
Kau menyuruhku untuk melupakanmu?***Nahla berjalan tergesa-gesa menelusuri koridor kelas. Ia tidak memerhatikan jalan hingga menabrak seseorang."Nahla!""Eh, maaf," gumam Nahla menunduk.Orang yang ditabrak Nahla berdehem dan menyodorkan buku berwarna hitam ke hadapannya. "Mau cari ini, kan?" tanya Gilang membuat Nahla langsung mengambil buku tersebut."Makasi," ujarnya langsung pergi setelah mengambil buku itu dari genggaman Gilang."Kita ada masalah?" tanya Gilang sedikit berteriak, untuk saja sekolah masih sepi.Teriakan Gilang membuat Nahla menghentikan langkahnya. Ia menghela napas dan memilih segera pergi menuju kelasnya yang berada di lantai dua.Gilang menghela napas gusar. "Oke," gumamnya, dia memilih menyusul Nahla ke lantai dua.Syifa melirik Nahla yang barusan datang. "Tumben telat," celetuknya membuat Nahla menghela napas."Mood gue lagi hancur, jan mulai deh," desis Nahla melet
Aku hanya butuh dipahami itu saja! ***"Gilang!" pekik Syifa membuat siempu hanya diam."Kenapa?" tanya Rendi mengampiri, dia melirik Gilang yang tengah duduk di tengah tumpukan kardus."Gila lo yah, dari tadi kami sibuk nyariin nyatanya lo di sini kek anak hilang," gerutu Syifa.Gilang hanya diam menatap Syifa, dia melirik Nahla yang hanya diam tanpa menoleh atau menghampirinya."Sadboy benaran, baru nemuin gue," ujarnya menatap penampilan Gilang yang sebelumnya rapi saat dia pertemu tadi pagi dengannya."Pergi kalian," usirnya menatap kosong ke depan."Mau jadi apa lo!" Sekarang giliran Rendi yang berbicara, dia 'tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu."Nggak usah ikut campur," ketusnya menatap tajam ke Rendi."Kepal
Berdamailah dengan dirimu! ***Nahla menatap perkarangan rumah di depannya. Sepi, itulah yang tergambar dalam pikirannya saat ini.Apa di sini tidak ada kehidupan sama sekali sampai-sampai perkarangan depan rumah tersebut tidak terawat.Nahla melangkahkan kakinya masuk, ia menatap sekitaran hingga suara seseorang mengagetkannya."Ngapain lo ke sini?!" tanyanya menatap Nahla datar.Nahla hanya diam sekarang ia fokos dengan penampilan pria yang ada di depannya saat ini."Gue ...." ucapan Nahla belum selesai tapi tubuhnya langsung dipeluk oleh Gilang.Dia menangis?Gilang menangis didekapan Nahla, tanpa sadar ia ikut membalas pelukan dari Gilang.
Semua akan terbayar!Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan."Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana."Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.Ruangan Osis"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat."Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua
"Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya."Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik."Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.Gadis mengangguk singkat i
Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.
Kaki jenjang Nahla terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat sangat menyengat yang biasa tidak disukai Nahla. Tapi, sekarang mati-matian membiarkan itu."Nahla." Rendi menghadang jalan Nahla."Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada yang tak bersahabat."Urusan lo?" tanya Nahla balik dengan nada yang sama."Pergi!" Rendi mengusir Nahla, bukan tanpa sebab dia mengusir Nahla tapi ini semua sebab Nahla."Oke," gumam Nahla menatap kosong ke depan. Ia pergi dari hadapan Rendi.Bagaikan tak ada semangat Nahla duduk di salah satu bangku di koridur rumah sakit tersebut. Ia menghela napas berat, apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.Ia menunduk sambil mengusap-usap tangannya yang dingin karena hawa angin malam."Nahla," panggil wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Nahla mendongkakan kepalanya."Tante Iren?" tanyanya bingung.Wanita tersebut mengangguk lalu duduk di samping
Sekarang Nahla tengah bermain dengan Anin di ruang keluarga. Sekarang rumahnya sedang kedatangan tamu teman mamanya."Anin Kakak kebelakang dulu ya," ujar Nahla menyuruh Anin tetap di sana. Gadis tersebut hanya mengangguk karena tengah asik bermain boneka."Bi In," panggil Nahla membuat wanita paruh baya itu menoleh."Iya, Non?""Biar Nahla aja ngantarin," ujarnya kebetulan ia juga mau pamit sama mamanya ke rumah sakit."Nggak apa-apa Non?""Nggak apa-apa Bi, Nahla minta bantuan aja jagain Anin. Kasian sendiri," ujar Nahla. Bi In mengangguk.Nahla membawa baki yang berisi minuman ke ruang tamu."Tante Iren?" Nahla terkejut ternyata Tante Iren yang berada di rumahnya."Nahla?" tanyanya bingung. Ilen yang melihat itu tersenyum. "Duduk dulu sini," suruhnya kepada Nahla.Nahla menurut saja, ia duduk di sebelah Ilen, mamanya. "Kamu udah kenal Tante Iren?" tanya Ilen membuat Nahla mengangguk."B