Share

Kekesalan Nahla

Author: Rizkia
last update Last Updated: 2021-05-22 11:28:28

"Ketika rasa tidak lagi bisa dipahami, dan ketika keadaan menjadi tempat pelampiasan."

***

Nahla membanting handphonenya ke lantai, sekarang ia kesal. Kesal karena pesan yang baru saja ia terima.

"Ck."

Dia mengambil tas selempangnya yang berada di atas nakas dan bergegas turun ke bawah.

"Nahla, kamu mau kemana?" tanya Ilen dari dapur bersama Anin. Gadis kecil itu tersenyum menatap Nahla.

"Anin juga anak Mama," ujarnya menjawab kebingungan Nahla melihat mereka berdua.

Nahla mengangguk paham, ia merasa lega karena keadaan di rumah mulai membaik. "Maaf," gumamnya.

Nahla menggeleng. "Nahla senang," ujarnya tersenyum menatap kedua orang yang ada di hadapannya saat ini.

"Nahla izin keluar," pamitnya membuat Ilen mengangguk kecil.

***

Sesampainya di halaman rumah yang cukup besar, Nahla segera menuju pintu utama rumah tersebut. Dengan tidak sabar ia menekan bell rumah itu berulang kali.

Perlahan pintu rumah terbuka memperlihatkan wanita dengan setelan rapi. "Abang ada Kak?" tanya Nahla tho the point tanpa basa basi.

"Abang? Ada yuk masuk," ajaknya. Nahla berjalan di belakang wanita tersebut.

"Abang kamu ada di ruang kerja, ke sana aja. Kakak mau ke rumah sakit juga," ujarnya. Nahla mengangguk dan segera menemui abangnya.

Tanpa permisi Nahla segera membuka pintu dimana abangnya sedang berada. "Kamu?" tanyanya melirik Nahla sekilas.

"Ngapain?" tanyanya lagi tetap fokus dengan laptopnya.

"Ngapain?" tanya Nahla balik karena kekesalannya kembali.

Naufal memilih menutup laptopnya dan beranjak ke sofa yang ditempati Nahla. "Kenapa lagi?" tanya Naufal menghela napas dengan sikap adik semata wayannya.

Nahla mengelurkan handphonenya dari dalam tasnya dan memperlihatkan pesan yang ia terima tadi. Naufal mengambil tanpa banyak tanya dan membacanya.

"Lalu?" tanyanya menghela napas, ini bukan pesan pertama atau dua kali yang diperlihatkan Nahla kepadanya. Tapi sudah berulang kali.

Nahla menengkakkan kepalanya menatap Naufal. "Lalu?" Pengen Nahla menangis sekarang. Kenapa tidak ada orang yang bisa memahami dirinya walau sedikit saja. Apa harus ia yang selalu memahami orang lain.

"Percuma Nahla bilang ke Abang,"  keluh Nahla merebut kembali handphone dan menyimpannya kembali.

"Kamu sendiri tidak bisa memahami diri, Abang kamu suruh memahami mana bisa," sahut Naufal bersandar di sofa.

"Kepala batu," celetuknya memejamkan matanya.

"Lebih baik aku cerita sama Kak Nurul dari pada Abang," dengkus Nahla.

"Sok, silakan jawabannya juga bakal sama," gumamnya tersenyum tipis.

"Bukan kamu saja yang ikut tertekan dengan keadaan, tapi  Abang juga." Naufal bangkit kembali ke meja kerjanya.

"Pahami diri kamu." Naufal tersenyum miring.

"Tapi ...."

"Tapi, itu yang nggak bisa?" tanya Naufal membuat Nahla bungkam.

"Ya, ya serah," gumam Nahla kehabisan kata-kata.

"Tapi, tidak semua orang bisa kita pahami dan tidak semua orang juga bisa memahami diri sendiri," kata Nahla, Naufal mengangguk singkat.

"Salah," bantahnya tidak sesuai dengan sikapnya saat ini.

"Nyatanya kamu bisa memahami orang lain, tapi dirimu?" Tawa kecil mengisi ruangan tersebut.

"Diriku?" Nahla menghela napas, "Hanya aku yang bisa memahaminya sendiri," lanjutnya menatap datar abangnya.

"Ya."

"Yaudah sana pulang," suruhnya membuat Nahla menatapnya jengkel.

"Ngusir?" tanyanya dengan mimik wajah tidak bersahabat.

"Adikmu," ujar Naufal fokus kembali dengan pekerjaannya.

"Heum, dah damai," gumam Nahla bersandar ke sofa.

"Yang benar saja?" tanya Naufal tersenyum miring.

"Makanya ke rumah," ledek Nahla.

"Malas," gumam Naufal.

"Ya ya serah anda," gerutu Nahla membuat Naufal tersenyum.

"Pesan tadi, anggap aja itu ada yang salah kirim," pesan Naufal membuat Nahla mengangguk singkat.

"Basi," celetuknya karena sudah berulang kali kata itu diucapkan Naufal kepada dirinya.

"Diingatin," gerutu Naufal.

"Heum."

"Aku pamit," ujarnya bangkit membuat Naufal menoleh. "Kemana?"

"Kan tadi diusir," sindir Nahla.

"Yaudah, sana," usir Naufal tersenyum meledek.

Tanpa basa basi sedikitpun Nahla langsung meluncur pergi antara kesal atau lega karena abangnya itu.

"Non Nahla," sapa Bi Karin mengagetkan Nahla yanh baru keluar dari ruang kerja Naufal.

"Bibi," dengkus Nahla lantaran kaget.

"Hehe, maaf Non," ujarnya 'tak enak.

"Bibi kebiasaan," canda Nahla membuat wanita paruh baya tersenyum.

Nahla duduk di sofa ruang keluarga diikuti Bibi Karin. "Bi, Hana mana?" tanyanya karena tidak melihat keberadaan anak Bibi Karin.

"Di kamar Non, lagi nggak enak badan," ujarnya membuat Nahla paham.

"Mau minum?" tanya Bi Karin.

"Nggak usah Bi, Nahla mau pulang juga kok."

Bibi Karin mengangguk kecil, dia izin undur diri kebelakang karena masih ada kerjaan yang belum selesai.

Nahla masih berdiam diri di ruang keluarga ia menatap langit-langit ruangan tersebut. "Hidupku 'tak seindah yang kubayangkan," gumamnya tersenyum miring.

Lalu ia memelih pulang.

Diperjalanan pulang Nahla menatap sekitar, terik matahari membuat penglihatannya silau. Nahla menggunakan ojek online, sehingga cahaya matahari langsung bertubrukan dengan penglihatannya.

"Mas nanti mampir ke cafe diperempatan itu ya," pinta Nahla membuat Mas ojeknya mengangguk.

Setelah urusannya selesai Nahla langsung menuju rumah tanpa mampir kemana-mana lagi.

Sesampainya di rumah ia segera masuk dan mambawa makanan yang ia beli tadi. "Makasi ya Mas."

"Assalamualaikum," salamnya memasuki rumah.

"Waalaikumsalam," balas Ilen dan Anin yang tengah bermain di ruang tamu.

"Nahla bawa makanan," ujarnya membuat Anin bersorak kegirangan.

Ilen menagngguk dan membawa makanan yang dibawa Nahla menuju dapur.

"Anin main apa aja sama Mama?" tanyanya mambuat gadis itu semangat menceritakan apa saja yang dia lakukan  bersama Ilen.

Nahla tersenyum, setidaknya mamanya mau berdamai dengan keadaan dan menerima dengan ikhlas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Caraku Tentu Berbeda

    Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Bahagia

    Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Ceroboh

    "Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Peringatan Hantu Centil

    Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Kecelakaan

    Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Di bawah Langit Malam

    Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status