Semua akan terbayar!
Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan.
"Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana.
"Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.
Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.
Ruangan Osis
"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.
Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat.
"Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua osis di sekolahnya.
"Kenapa, bukannya kamu masih kelas sebelas dan masih ada kesempatan lagi untuk menjabat bahkan lebih dari jabatan kamu itu?" tanya Ilham mengambil dokumen di dalam laci mejanya.
Nahla tersenyum miring. Ia menatap beberapa titik ruangan tersebut. "Akan ada saatnya jengan dengan tanggung jawab, begitu juga dengan saya," jawab Nahla bersandar ke sofa.
Ilham mengangguk dari raut wajah Nahla selama ini sebenarnya dia merasa terpaksa menjalaninya.
"Eum, Kak Ilham mau lanjut kemana?" tanya Nahla sekedar basa-basi.
Ilham melirik sekilas Nahla. "Alhamdulillah, diberi kesempatan melanjutkan pendidikan ke Jerman," jawab Ilham seraya tersenyum.
Nahla ikut tersenyum ikut senang mendengar kabar baik tersebut. "Selamat, sukses buat pak ketos," kekeh Nahla.
Ilham mengangguk kemudian dia bangkit duduk di sebelah Nahla. Dia meletakkan beberapa dokumen di atas meja.
"Ini program kerja terakhir kita," tunjuk Ilham menunjuk beberapa dokumen yang terbuka di hadapan mereka.
Nahla mengangguk dan mengambil pena di atas meja Ilham. Ia mengambil beberapa dokumen dan mendatanganinya. "Oh ya, ini ada beberapa lagi dokumen untuk diajukan ke kepala sekolah." Ilham mengambil dokumen itu di rak dekatnya.
"Dokumen apa?" Pasalnya Nahla tidak tahu menahu soal dokumen itu kecuali yang bergelekan di atas meja ini.
"Baca dulu," ujar Ilham tersenyum tipis.
Nahla membaca dengan seksama, seketika ia berdecak antara kagum dan kaget sekaligus.
"Serius?" tanya Nahla masih tidak percaya dengan isi dokumen tersebut.
"Heum, buat kita dong. Hehe, setahun kerja waktunya nikmati liburan jauh," ujar Ilham.
"I lake," decak Nahla, karena sebelumnya angkatan osis belum ada seperti ini.
Ilham mengangguk, dalam hati ia bersyukur Nahla bisa senang karena rencananya ini dan juga yang lain walau belum dia beri tahu.
Sudah sejam mereka diskusi, sebenarnya bukan diskusi tapi hanya mengobrol biasa. Hingga gesekan pintu mengagetkan mereka berdua.
"Hayo, Pak Ketos sama Bu Waketos ngapain dua-duan?" tuding Anak Osis berbarangan masuk ke dalam ruangan itu.
Mereka langsung menyebar mencari tempat duduk senyaman mereka. Syifa memicingkan matanya menatap Ilham dan Nahla bergantian. "Ngapain kaliam berdua-duan dalam sini?" tanyanya dengan senyum devil.
Ilham melirik Nahla yang hanya cuek. "Kalian nggak lihat kami ngapain?" tanya Nahla balik membuat anak osis lainnya menatap curiga.
"Kalian—"
"Kalian tadi senyum-senyum tatap-tatapan juga, hayo Pak Ketos Buk Ketos ada apa diantara kalian?" celetuk Syafir dari kursi yang biasa ditempati Ilham.
"Ada dua hati yang akan bersatu," celetuk Syifa duduk berselang kaki di depan meja.
Dua orang yang tengah duduk di tengah-tengah mereka hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Karena tidak ada respon dari mereka, yang lain juga ikut membisu. Syifa menatap ke dinding di depannya. Terdapat jam dinding yang tergantung rapi.
"Tik, tik, tik, tik," gumam Syifa bertumpu tangan di atas meja.
"Gabutnya nggak ketulung," celetuk Syafir.
"Sirik anda," ujar Syifa menatap sinis Syafir.
Syafir tersenyum davil dia mengetok-ngetok meja dengan jarinya. "Gaes, kalian tau nggak." Syafir sengaja menggantungkan ucapannya melihat reaksi Syifa.
"He!"
"Kemarin kan dia sama Nahla ngambil tongkat ke gudang, trus—"
"Kak Syafir!" pekik Syifa bangkit dari duduk ingin sekali dia memasukan kaos kakinya sekarang juga ke dalam mulutnya.
Karena yang lain pemasaran dengan cerita Syafir. Mereka mengomporin Syafir dan Syifa.
"Awalnya sih gue sama Ilham dengar pekik sesorang. Masak ya tikus di suruh tidur," ujarnya tertawa melihat reaksi Syifa yang tengah menahan kesal.
"Buset, baru kali ini gue dengar." Tawa anak-anak lainnya. "Nah, pas udah di suruh sama Nahla turun. Tau nggak apa yang terjadi sama ni anak.." Syafir menahan tawa karena wajah Syifa sudah merah siap-siap mengamuk.
"Dia tajuh dengan estetiknya, cium lantai." Tawa Syafir meledak dia bangit dan menghindar dari Syifa yang tengah mengenggam penggaris kayu.
"Syafir, gue ndah bilang kemarin kan!" amuk Syifa berusaha menangkap Syifit yang menghindar.
Tapi naas saat Syafir hampir ketangkap.
Bruk!
Syifa menimpa badan Syafir. Mereka jatuh bersamaan ke kolong meja. Syifa tergegung detak jantungnya tidak terkendali seperti dikerja habis-habisan sama anjing keliling komplek.
"Hem, yang di kolong meja apa aman?"
Celetukan anak-anak membuat Syifa tersadar dia bangkit tapi ...
"Aduh!" Kepalanya kebentur langit-langit meja.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Syafir keluar sambil mengelus kepala Syifa.
"Sakit tau," ringis Syifa duduk di atas kursi. "Makanya sih lo nggak hati-hati," omel Syafir membuat Syifa memanyumkan bibirnya kesal.
"Yang jomlo bisa apa kan?" ledek anak-anak membuat mereka tersadar.
"He! Kalian jan—" Syifa terdiam, anak-anak menatapnya bingung.
"Kenapa lagi tuh anak?" tanya Gibran karena tidak heran lagi dengan sikap Syifa kek bunglon yang berubah-rubah.
"Bentar tadi gue mau bilang apa ya? Bingung," gumamnya sambil bertumpu tangan menatap ke depan.
"Kumat lagi dia." Syafir menepuk jidatnya. "Eh tapi ndak apa kan lupa soal yang tadi," lanjut Syafir duduk di sebelah Gibran.
Yang lain kembali diam. "Lo ngapain sih Ham? Masih ada berkas yang mau diurus?" tanya Gibran yang sadari tadi memerhatikan Ilham yang sibuk sendiri membolak-balik isi dokumen.
Ilham melirik Nahla yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya. "Kalian ngerahasian sesuatu, ada masalah sama program kerja kita?"
"Nggak ada," jawab Ilham cuek.
"Sepandai-pandai penjahat bersembunyi bakal ketauan juga," celetuk Syifa sambil memain-mainkan peda.
"Noh, benar." Syafir mengacungkan jempul ke Syifa.
"Apa yang benar?" tanya Syifa menatap datar Syafir.
"Kenapa lagi sih lo?"
"Urusan kita belum selesai ya, gue nggak lupa," gerutu Syifa.
"Berisik!" Semua menoleh ke arah Nahla. Perlahan Nahla membuka matannya, kemudian ia mengambil dokumen yang diberikan Ilham.
"Baca jan banyak tanya!" Nahla kembali bersandar dan memejamkan matanya karena pusing melandanya.
"Woh, benaran?"
______________________________________________________________________
Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang
Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me
"Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.
Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."
Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda
Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem