"Apa, Ramon kecelakaan? Kamu yakin dia tidak sedang drama?""Mas, aku rasa kecelakaan tidak mungkin bisa dimasukkan kategori drama. Terlalu banyak uang yang dikeluarkan Ramon jika dia benar bersandiwara. Mas, tolong mengerti, aku hanya ingin menjenguk Ramon, itu pun karena Robi yang terus merengek." "Ya sudah, terserah kamu saja. Aku larang juga kamu tetap pergi.""Tentu saja, karena ini sifatnya aku memberitahu, bukan meminta ijin. Kita belum menikah dan aku tidak mau lebay meminta ijin untuk urusan yang berkaitan dengan Robi. Aku pergi besok pagi."Puspa menutup panggilannya. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di atas kasur, lalu meraih tas ransel yang ada di atas lemari. Ia memasukkan beberapa potong pakaian Robi dan juga stel pakaian untuk pulang, dan juga daster terusan satu buah, tidak lupa juga dalaman. Jika kondisi Ramon tidak begitu payah, ia akan menginap satu malam saja di sana.Azan magrib pun tiba. Suara motor Dini terdengar nyaring saat kendaraan roda dua itu sudah ber
Pukul satu siang, Puspa sudah berada di rumah sakit tempat Ramon dirawat. Ia menanyakan pada salah satu perawat di sana, dimana kamar perawatan pasien atas nama Ramon yang dua hari lalu kecelakaan. VIP? Waw? Bukankah mantan suaminya itu orang yang termasuk perhitungan juga dalam mengeluarkan uang, tapi kenapa sekarang berubah? Apa baru saja mendapat warisan? Batin Puspa. Jemari mungil nan montok milik Robi menggenggam erat jemarinya. Tangan kanannya membawa aneka buah sebagai oleh-oleh. Walau ia sudah tidak lagi bersama, tidak mungkin juga ia melenggang santai menjenguk orang sakit. Ibu dan anak itu masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai empat. Jika kamu dirawat di ruang VIP maka jam berapa saja tamu berkunjung akan dibebaskan, kecuali dalam jumlah yang banyak. "Permisi, Sus, mau ke kamar 412," sapa Puspa sambil tersenyum. "Silakan, paling ujung. Wah, anaknya Pak Ramon ya, mirip sekali," ujar perawat itu sambil memperhatikan Puspa dan Robi bergantian. Puspa hanya mengangguk ti
Gadis berusia dua puluh tahun itu sudah dibutakan oleh cinta. Ia rela melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian dari Rian. Apalagi tetehnya sedang tidak ada di Bandung, maka kesempatan baginya semakin luas. Rian memang sedang keluar kota, tapi tawaran memikat Rian dari jarak jauh tentu sangat menggiurkan baginya. Dini pun semakin semangat menuntaskan pekerjaannya hari ini, sambil bolak-balik menatap jam di tangannya yang terus bergerak maju. Saat jam istirahat, Dini makan dengan banyak. Ia membeli makan di kantin kantor dan juga memesan satu gelas jus mangga. Ia harus kuat untuk menuntaskan pekerjaannya hari ini, disambung pekerjaan nanti malam memikat Rian. Sebelum naik kembali ke atas, Dini menyempatkan mencetak foto Rian kembali. Tentu saja ia tidak mencetaknya di dekat kantor, karena bisa saja menjadi bahan gosip jika ada yang menyadari wajah Rian. DestiJam berapa lo balik kerja? Dini tersenyum senang membaca pesan dari temannya. Jam lima, Des. Doakan gue gak dapat tugas
Dini sampai di rumahnya pukul setengah satu malam. Bu Suci sampai menunggu di depan teras dengan begitu cemas. Ia mencoba menghubungi nomor ponsel Dini, tetapi tidak juga tersambung. Syukurlah sinar motor di depan pagar membuat Bu Suci bisa bernapas lega. Ia berlari untuk membukakan pagar. "Ya Allah, Nak, kamu darimana saja? Ini sudah jam setengah satu," tanya Bu Suci penuh kekhawatiran. Dini memasukkan motornya ke dalam rumah, lalu mematikan mesin motor itu. Bu Suci pun bergegas mengunci pagar kembali, kemudian menyusul Dini ke dalam rumah. "Hari ini hari paling rempong, MaUntunglah tidak ada begal di jalan tadi. Mama, Dini langsung mandi dulu ya. Badan Dini lengket." Bu Suci mengangguk kaku. Ia menutup pintu, lalu menguncinya. Memandang punggung Dini yang perlahan menghilang di balik pintu kamar mandi. Ponsel putrinya terus saja berdering. Tentu Bu Suci penasaran, siapa yang sibuk menelepon putrinya tengah malam seperti ini? Namun, jika ia mengangkat panggilan itu, putrinya bisa
"Loh, Ma, mana Pak Rian?" tanya Dini yang sudah tampil sangat cantik pagi ini. Ia sengaja buru-buru berdandan agar bisa melihat Rian pagi hari. Namun, kini bosnya itu sudah melesat pergi, tidak ada lagi wujudnya di rumah. "Dini, Ria sepertinya salah paham dan wajar sih jika salah paham." Bu Suci duduk tanpa semangat di kursi ruang tamu. "Ada apa emangnya, Ma?""Tadi Mama diminta Rian untuk menelepon Puspa. Ia khawatir karena Puspa ponselnya gak aktif. Chargernya ketinggalan di kamar. Jadi Mama diminta untuk video call.""Terus, apa yang jadi masalahnya?" Dini masih tidak mengerti. Bu Suci hanya menghela napas berat karena ada rasa kecewa juga dengan Puspa. Jika ia memberitahu Dini, apakah akan baik-baik saja? "Eh, itulah, intinya Rian kecewa karena teteh kamu gak buru-buru pulang.""Oh, gitu, mau balikan kali," timpal Dini. "Ya gak bisa, udah tinggal nunggu surat cerai. Udah sah ditalak juga kemarin itu. Kalau mau nikah lagi, salah satunya harus menikah dengan orang lain dulu. Adu
Rian mengantarkan Dini pulang ke rumah dengan mobilnya. Tentu saja hal itu membuat Bu Suci mereka heran karena sebelumnya Rian begitu anti dengan putri bungsunya. Sayang sekali, wanita paruh baya itu tidak memperhatikan jalan Dini yang sedikit mengangkang. Ia hanya heran kenapa wajah Dini amat pucat begitu turun dari mobil. "Ada apa ini, Rian? Kenapa Dini pulang sama kamu? Apa Dini bikin ulah lagi?" cecar Bu Suci dengan wajah penasaran. "Bukan, Ma, Dini hanya kurang sehat saja tadi di kantor. Kalau saya paksa pulang pakai motor, nanti pingsan di jalan bagaimana? Jadi saya yang antar," jawab Rian santai tanpa terkesan sedang membual. Dini melepas tangannya yang ada di pinggang Rian dengan malas. Sebenarnya ia masih ingin bermesraan dengan pria dewasa yang sekarang menjadi kekasihnya, tetapi ia juga harus sadar diri bahwa ia tidak bisa berjalan lama karena masih begitu sakit di bagian intimnya. "Ya sudah, kamu istirahat, saya mau pulang dulu. Mari, Ma, saya pamit." Bu Suci sekali la
Puspa pulang dengan bus siang hari menuju menuju Bandung. Robi ia tinggal sebentar dan ia titipkan pada adik suaminya. Untunglah wanita itu mau dititipin Robi sampai lusa. Sampai Ramon keluar dari rumah sakit. Lusa, ia akan kembali menjemput Robi jika Ramon belum bisa mengantar putra mereka kembali ke Bandung. Ia harus segera bertemu Rian untuk menjelaskan semuanya. Terserah lelaki itu mau mendengar atau tidak, ia akan tetap menjelaskan kejadian sebenarnya pada Rian. Bu Suci bernapas lega saat melihat Puspa berada di depan pagar rumah dengan wajah jelas tidak baik-baik saja. "Akhirnya kamu pulang juga, Puspa," seru Bu Suci saat Puspa masuk ke pekarangan rumah. Wanita itu mencium punggung tangan mamanya tanpa semangat. "Robi masih saya tinggal di sana, Ma, karena Ramon mungkin baru lusa keluar rumah sakit," kata Puspa. "Kalau dituruti maunya Robi, mungkin saya kudu selamanya di dekat papanya, tapi saya gak bisa dan sudah gak minat juga. Saya gak mau merasa bersalah pada Rian. Ma,
Dini memakai bajunya dengan cepat. Rambutnya pun ia sisir dengan sela jari tangan karena benar-benar berantakan karena ulah Rian. Pria itu pun sibuk menarik celana kerjanya dan juga risleting celana. Kemeja yang kusut ia ganti dengan kemeja yang tersimpan di dalam lemari. Ya, di dalam ruangan kerja Rian memang ada lemari kecil khusus untuk menggantung pakaian. "Pak, saya takut!" rengek Dini memasang wajah memelas. "Kenapa takut? Kamu diam saja di situ karena saat ini orang diluar sana tahunya kamu sedang saya tegur." Dini pun mengangguk paham. Dadanya berdebar saat Rian memutar anak kunci, lalu membuka pintu dengan kesal. "Oh, sekarang kakaknya, tadi adiknya yang bikin aku kesal. Dini, keluar dan jangan sampai kamu ulangi kesalahan itu lagi, jika masih ingin meneruskan PKL di sini!" Ucapan tegas Rian sembari menoleh ke dalam. Dengan kode kedipan mata, Dini pun bangun dari duduknya, berjalan menunduk keluar dari ruangan Rian. "Memangnya Dini salah apa? Kamu gak bisa menghukum Dini