”Sudah berapa kali aku bilang, kamu harus bangun lebih pagi dariku. Apa kamu lupa tugasmu apa saja? Apa harus kuingatkan lagi apa saja tugas seorang istri padamu?”
Audry tersentak ketika Jeff menghardiknya karena mereka terlambat bangun. “Maaf, Pi, aku lupa menyalakan alarm.” ”Itu bukan alasan, Audry. Apa kamu tahu, pagi ini aku harus bertemu klien penting. Apa kamu mau tanggung jawab kalau dia membatalkan kerjasama dan perusahaan kita akan menanggung kerugian ratusan juta?” ”Maaf, aku-” ”Diam! Tutup mulutmu! Perempuan bodoh sepertimu tidak akan mengerti apa-apa.” Jeff menepis tangan Audry yang sedang membantu memilih bajunya di lemari dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terdorong ke samping. Audry memilih bungkam. Ini bukanlah pertama kalinya Jeff marah hanya karena hal-hal sepele. Sikap kasar laki-laki itu dan hinaannya sudah menjadi makanan Audry sehari-hari, namun tetap saja membuat Audry merasa sedih. Setelah berpakaian, Jeff bergegas pergi. Meninggalkan Audry sendiri dengan kesedihannya. Mengabaikan sesaat kejadian barusan, Audry lalu keluar dari kamar. Ia harus memandikan Tania, memberi makan dan mengantarnya ke sekolah. ”Papi mana, Mommy?” Gadis ciliknya bertanya ketika hanya ada dirinya dan sang ibu di meja makan. “Papi sudah berangkat ke kantor. Sekarang Tata sarapan sama Mommy aja ya?” Meski kecewa karena papinya yang selalu sibuk namun Tania mengangguk patuh. Ia menyuap oatmeal yang disediakan asisten rumah tangga mereka. Selesai sarapan, Audry mengantar Tania ke sekolahnya. Dulu, Jeff tidak mengizinkannya menyetir sendiri. Ke mana-mana ia diantar supir. Namun sebuah kejadian membuat laki-laki itu memecat si supir karena rasa cemburunya yang berlebihan. Hanya karena Audry sangat ramah dan baik pada supirnya itu. “Baik-baik di sekolah ya, Ta, nanti siang Mommy jemput.” Audry mengecup pipi Tania kanan kiri setelah menyerahkan pada gurunya. “Dadaaa Mommy!” Tania tersenyum melambaikan tangan. Audry masuk ke mobilnya. Ia tertegun selama sepersekian menit sambil memindai wajahnya di spion. Wajahya cantik. Tapi bukan cantik yang berlebihan. Ia mewarisi kecantikan klasik dan natural dari ibunya. Warna kulitnya bukan putih, tapi kuning langsat. Pakaian yang melekat di tubuhnya juga mahal dan bermerek. Ia terlihat seperti perempuan kelas atas dan sangat serasi dengan Jeff. Hanya saja keluarga laki-laki itu selalu menganggapnya rendah dan murah. Terlepas dari sifat kasarnya, satu hal yang membuat Audry salut pada Jeff adalah pria itu selalu membela Audry di depan keluarganya. Jeff menunjukkan pada orang-orang bahwa pernikahannya dengan Audry baik-baik saja dan mereka hidup sangat bahagia. Dari sekolah Tania, Audry pulang ke rumah. Ia harus bersiap-siap untuk acara siang ini. Sebagai istri Jeff sesekali ia mempunyai sejumlah agenda seperti menghadiri pesta, arisan dan beberapa kegiatan sosialita. Yang semuanya sangat membosankan. Sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah ketika Audry tiba. Itu adalah mobil Estelle, kakak iparnya. Estelle sedang berdiri di ruang tamu dengan tangan bersedekap di dada. Matanya memindai area sekitar. Entah apa yang sedang dipikirkannya. “Tumben Kakak ke sini?” sapa Audry pelan. Perempuan itu sontak memutar badan dan memegang dada. Ia terkejut mendengar suara Audry. “Bisa sopan sedikit nggak sih? Kamu tuh bikin aku kaget!” ”Maaf, Kak.” Audry rasa tadi ia menyapa dengan pelan. Hanya saja kakak iparnya ini yang lebay. “Aku mau melihat dokumen izin pendirian perusahaan, cepat ambilkan sekarang.” Perempuan berwajah cantik tapi jutek itu memberi perintah. ”Dokumen pendirian perusahaan? Tapi untuk apa, Kak?” tanya Audry heran. “Jangan banyak tanya, Audry. Lakukan saja apa yang kuperintahkan.” Estelle menolak memberitahu dan malah menatap Audry dengan tajam. ”Tentu saja aku harus tahu. Itu kan dokumen penting. Lagian aku nggak bisa ngasih dokumen itu tanpa seizin Jeff.” Estelle merasa tidak senang atas sikap Audry yang membangkang padanya. Perempuan itu berjalan mendekat dan membusungkan dada. “Apa kamu lupa kalau aku adalah keluarga Jeff? Aku kakak kandungnya.” “Aku nggak lupa dan nggak akan mungkin lupa. Masalahnya aku tidak tahu di mana letak dokumen itu.” Pada bagian ini Audry tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh tidak tahu di mana letaknya. Lagi pula andai pun ia tahu Audry tidak akan semudah itu memberikannya pada orang lain tanpa seizin Jeff. Sekali lagi. “Kamu jangan bohong, Audry. Kamu pasti tahu di mana letak dokumen itu. Kamu kan istrinya Jeff,” sanggah Estelle tidak percaya. “Aku memang istri Jeff, Kak, tapi aku nggak pernah ikut campur urusan perusahaan. Semua Jeff yang mengurus termasuk menyimpan dokumen itu.” Estelle mendengkus kesal. Tentu saja ia tidak akan percaya pada kata-kata adik iparnya. “Dasar tidak tahu balas budi. Sudah untung Jeff menikahimu. Kalau tidak kamu akan hidup di kolong jembatan hingga saat ini.” Audry hanya bisa mengelus dada mendengar hinaan kakak iparnya. Apa hubungannya coba sikapnya yang tidak mau memberikan dokumen perusahaan dengan balas budi? Estelle berlalu pergi membawa keangkuhan bersama suara mesin mobilnya yang terdengar menderu. “Bu Audry, ada telepon dari Bapak.” Pembantu datang memberitahu sambil membawa telepon untuknya. “Makasih, Bi.” Perempuan yang telah bertahun-tahun mengabdi di keluarga Jeff itu mengangguk pelan lantas berlalu ke belakang menyelesaikan tugasnya. “Halo, Pi,” sapa Audry pelan. ”Aku telepon dari tadi kenapa nggak dijawab?” Audry langsung menerima kemarahan Jeff begitu mendengar suara pria itu. ”Papi menelepon? Kok hpku nggak bunyi?” ”Ya mana aku tahu. Kamu begonya sampai kapan sih? Yang punya hp kan kamu.” “Sebentar, Pi.” Audry masuk ke kamar dan mencari benda itu. Mulai dari atas nakas, di meja hingga di bawah tumpukan bantal. Ia juga memeriksa di dalam tasnya, namun hasilnya sama saja. Audry tidak menemukannya. Mengembuskan napas panjang, Audry baru ingat sesuatu. Pantas saja ia lupa menyalakan alarm, ternyata ponselnya entah di mana. Astaga, Audry baru ingat kalau gawainya itu kemarin ia bawa saat ke dokter. Lalu ia ke apartemen Dypta. Apa mungkin ketinggalan di sana? “Pi, maaf, hpku nggak ketemu.” ”Nggak ketemu gimana? Hpmu hilang?” “Bukan hilang sih kayaknya, tapi aku lupa meletakkannya di mana.” ”Audry, Audry, apa sih isi kepalamu? Apa yang kamu pikirin sampai letak benda sepenting itu bisa lupa? Apa jangan-jangan otakmu sama kosongnya kayak otak udang?” Audry bisa membayangkan raut marah suaminya serta matanya yang memerah saat ini di ujung telepon sana. Kalau saja pria itu sedang berada di dekatnya saat ini mungkin saja sudah menjambak rambutnya. “Mungkin hanya salah letak. Nanti aku cari lagi," jawab Audry pelan. Ia tahu persis, melawan kata-kata suaminya sama artinya dengan melakukan hal yang sia-sia dan hanya buang-buang air ludah. Jeff berdecak, kemudian menutup panggilan begitu saja. Audry langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia merasa sangat lelah. Bukan fisik, tapi batin dan mental. Mungkin sebaiknya ia keluar dulu sekalian memastikan keberadaan gawainya di apartemen Dypta. *** Dypta baru saja selesai mandi ketika bel apartemennya berbunyi. Hanya dengan handuk yang memagari tubuhnya laki-laki itu membuka pintu. Ia terkejut ketika melihat siapa tamunya yang datang hari itu. Audry, istri omnya. ***Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r