Wow, Bas dirimu simpan rahasia apa sih?
Ariana membuka matanya dengan pelan. Dia kemudian melepas headphone yang sejak tadi dia pakai untuk mendengar lagu demo. Sudah selesai direkam, tapi masih belum dipoles ulang. Cinta tanpa nama. Itulah judul yang diberikan untuk lagu yang terdengar seperti kejujuran bagi Ariana. Rasanya, dia tidak mau merilis lagu itu. Terlalu memalukan. "Tapi masalahnya sekarang, Bastian ini mau ikut atau tidak sih?" gumam Ariana menatap ponselnya dengan kening berkerut. Tadi siang Ariana sudah mengirim pesan untuk sang suami, tapi lelaki itu belum membalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Mungkin Bastian sibuk, tapi Ariana yakin tidak seperti itu. "Dari dulu, dia biasanya selalu membalas singkat pesanku sesibuk apa pun itu. Sekarang bahkan sudah lewat berjam-jam dan tidak ada balasan? Dia pasti menghindar." Merasa bosan, Ariana memilih untuk membuka galeri ponselnya. Dia menggulir layar benda pipih itu, sampai mememukan sebuah foto lama. Foto dirinya dan Bastian di taman belakang rumah
Jemari Ariana mengetuk pelan permukaan laptop miliknya yang terbuka lebar. Dia baru saja sampai di studio ketika Elian mengatakan ada beberapa berkas yang harus dilihat. Namun, fokus Ariana selalu saja teralihkan dengan percakapannya dengan Bastian semalam. "Sepertinya kau sedang butuh ini." Ariana mendongak dan mendapati Sebastian baru saja datang, sembari meletakkan secangkir kopi instan di hadapannya. Membuat perempuan itu memperbaiki cara duduknya yang terlalu santai. "Santai saja." Sebastian menarik kursi di sebelah partner kerjanya. "Kau bisa berbaring kalau memang sedang lelah. Apalagi aku lihat, kau sepertinya kurang bersemangat." "Padahal, proyek kita sejauh ini berjalan cukup lancar loh. Antusias orang-orang juga cukup bagus," lanjut Sebastian dengan senyum lebar. "Aku hanya ... terlalu banyak pikiran kurasa." Ariana mengedikkan bahu, sambil mengambil gelas kertas berisi kopi di hadapannya. "Omong-omong, terima kasih u
Ariana melihat jam yang terpampang nyata di sudut laptop-nya. Sudah hampir tengah malam, tapi batang hidung sang suami belum juga terlihat. Ini jelas saja membuat Ariana mengerutkan kening. "Padahal kemarin dia masih baik, tapi kenapa sekarang tiba-tiba menghilang lagi?" tanya Ariana pada diri sendiri, sambil menatap ponsel. "Pesanku belum dibalas." Merasa tidak sabar, Ariana memilih untuk menelepon saja. Dia jelas tidak akan membiarkan kalau misalnya Bastian lagi-lagi ke klub sialan itu tanpa berbicara padanya. "Awas saja kalau dia bertemu Dominique," desis Ariana mulai tidak sabar. "Halo." Untungnya, Bastian mengangkat telepon tepat sebelum sang istri akan menutup telepon. "Kau ada di mana?" tanya Ariana tidak peduli walau dirinya terdengar ketus. "Kau tidak melarikan diri ke klub dan bertemu orang aneh kan?" "Apakah menurutmu orang-orang di klub itu aneh?" Alih-alih menjawab, Bastian malah balas bertanya. "Sebenarnya tidak." Ariana terdengar tegas. "Kecuali satu orang
"Mon Cher." Suara berbisik itu terdengar seolah yang empunya suara berada di samping Bastian. Padahal, lelaki itu sedang tertidur di sofa ruang kantornya dengan gelisah. Hal yang melempar kesadaran Bastian ke tiga tahun lalu. *** "Ini ya tempatnya?" Bastian bergumam menatap pintu merah di depannya, dengan kepala singa sebagai pengetuk. "Apa kau tersesat Mon Cher?" Suara lembut seorang perempuan terdengar dan membuat Bastian langsung menoleh. "Tidak." Bastian langsung menggeleng panik. "Bagaimana kalau kita masuk dulu?" tanya perempuan berambut hitam yang digelung, dengan mata hijau zamrud yang terlihat menatap tajam. Kedua mata Bastian membelalak. Dia ingin sekali beranjak dari tempatnya, tapi sulit. Padahal dia tahu kalau perempuan itu adalah ular berbisa dan berbahaya. Bahkan, Bastian tahu nama perempuan itu, tapi tidak bisa berteriak. "Dominique." Nama itu terngiang di kepala Bastian, tapi tak ada suara yang keluar. Bastian bahkan dengan senang hati melangkah meng
Cinta tanpa nama. Cinta apa adanya. Tanpa sandiwara tak penting. Tiga kalimat itu terus terngiang di kepala Ariana, bahkan saat dia mengemudikan mobilnya pulang ke rumah. Langit petang yang sedikit mendung pun, makin mendukung lirik yang membuat Ariana makin galau. Untung saja, tidak lama kemudian Ariana sampai di rumah dengan selamat. Dia bahkan bisa mencium bau daging sapi bakar, ketika baru saja melangkah masuk. Ariana dengan mudah menebak menu makan malam hari ini. "Selamat malam Mrs. Ariana." Seseorang menyambut, dengan langkah terburu-buru. "Kebetulan semua orang sudah berkumpul di ruang makan." "Tumben sekali," gumam Ariana pada akhirnya membelokkan langkahnya ke arah yang dibicarakan tadi tanpa diminta. "Kau pulang sedikit lebih cepat dari biasanya." Anna langsung menyambut putrinya dengan senyuman dan uluran tangan lebar. "Aku hanya sedikit beruntung karena orang-orang di studio tidak menahanku." Ariana tentu saja menyambut pelukan sang ibu. "Kebetulan Bastian ju
Kening Ariana berkerut memandangi kertas musik di depannya, dengan jemari yang menyentuh piano elektrik. Dia tidak sedang memainkan musik apa pun dan hanya menyentuh tuts saja. Ariana sedang berpikir tentang musik yang akan dia buat, berdasarkan lirik di kertas itu. "Apa ada masalah?" tanya Lirien setelah cukup lama dia memperhatikan Ariana yang diam. "Kau tidak suka liriknya atau tidak bisa membuat musiknya? Atau mungkin kau hanya tidak fokus saja?" "Liriknya bagus." Ariana tidak ragu untuk mengangguk. "Aku rasa ... musiknya bisa dibuat. Maksudku, aku bisa membuat musiknya dengan baik." "Tapi?" Sebastian yang juga ada di dalam ruangan, bertanya. Dia tahu kalimat Ariana belum selesai. "Tapi entah kenapa aku merasa ada yang ... kurang cocok. Ada yang salah dengan liriknya." Ariana mengedikkan bahunya. "Kurang cocok, atau terlalu jujur?" tanya Lirien dengan sebelah alis terangkat. Ariana ikut-ikutan menaikkan sebelah alisnya. Dia merasa sedikit terkejut dengan apa yang diucap