Share

2. Lamaran dadakan

"Apa kabar, Cantik"

Kendati sempat bingung tiba-tiba didatangi wanita paruh baya yang langsung ingin menemui dirinya, Zoya tetap menunjukkan sikap sopan dengan mempersilahkan wanita itu masuk serta duduk.

Zoya tidak sendiri, kedua sahabatnya ada bersamanya. Tapi dari gelagat mereka, Vina yang terlihat paling gelisah. Seperti maling yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya.

"Ba-baik," balas Zoya kikuk. 

"Begitu tahu hari ini kalian tidak bekerja, ibu langsung minta supir mengantar kemari. Ibu tidak sabar ingin segera melamarmu."

Duar!!

Apa? Melamar? Lelucon macam apa ini? Dan siapa wanita itu yang tiba-tiba datang dengan tujuan gilanya? 

Zoya yang baru mendudukan diri di sofa berbeda, seketika tercengang. Nafasnya mendadak tersendat-sendat nyaris berhenti di kerongkongan kalau saja Melly yang duduk di sampingnya, tidak sigap mengusap punggungnya.

"Rasanya ibu sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba."

Zoya masih berusaha mengatur nafas, sedangkan wanita yang tidak diketahui dari mana asalnya itu terus membicarakan sesuatu yang tidak Zoya mengerti.

"Mel, aku butuh minum."

Ternyata sebotol air mineral sudah tersedia di dekat Zoya yang buru-buru minum tidak sabaran. Zoya memang tidak punya riwayat asma. Tapi dalam keadaan tegang, ia merasa nafasnya menderu pendek dan jantungnya berdetak lebih kencang. Reaksi tubuh yang sampai sekarang masih sulit Zoya kendalikan.

"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Melihat cara minum Zoya terburu-buru, sepertinya wanita itu sadar Zoya tidak dalam keadaan baik-baik saja. "Apa kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Mau?"

"Ti-tidak. A-aku baik-baik saja."

"Ah syukurlah kalau begitu. Oh iya, ibu Lisa,"

Zoya yang masih sangat gugup bercampur bingung, menatap wanita itu yang mengulurkan tangan, lantas beralih pada Melly yang duduk di sebelahnya.

"A-aku.. Zo-zoya, Tan," balasnya seraya menerima uluran tangan Lisa.

Zoya masih tampak linglung, dengan memperhatikan kedua sahabat secara bergantian.

"Iya, ibu sudah tahu."

Apalagi ini?

Jadi Lisa sudah tahu siapa dirinya?

Rasanya Zoya masih tidak percaya, bagaimana Lisa bisa tahu namanya. Sedang mereka saja baru pertama kali bertemu. Kembali menoleh Melly, Zoya ingin memastikan mungkin saja sahabatnya itu mengenal siapa Lisa. Tapi begitu melihat Melly mengulas senyum canggung, Zoya mendelik curiga.

"Kamu lebih cantik dari yang ibu lihat tempo hari." 

Tempo hari?

Itu artinya mereka sudah pernah bertemu, tapi dimana?

Kenapa Zoya tidak mengingatnya. Sedangkan dibanding kedua sahabatnya, dirinya-lah yang punya ingatan paling tajam.

Sekali lagi Zoya hanya bisa menunjukkan senyum kaku. Sungguh, ia dibuat merinding. Tidak hanya kunjungan tiba-tiba dan niat tak terduga Lisa. Tapi ketika wanita itu mengatakan mereka pernah bertemu, Zoya masih berusaha keras mengingatnya.

Namun, tetap nihil. Zoya tidak bisa mengingat apapun, dan semakin yakin itu pertemuan perdana mereka.

"Ibu lihat kalian sangat cocok, kalian benar-benar serasi."

Kali ini Zoya melepar tatapan penuh selidik pada Vina, biasanya sahabatnya yang satu itu kerap bertindak random tanpa memikirkan akibatnya. Dan, pasti datangan Lisa juga bagian kerandoman Vina.

"Ma-maaf Tante, tapi aku benar-benar tidak mengenal Tante. Kalau tidak keberatan tolong beritahu aku dimana kita pernah ketemu sebelumnya."

"Sudahlah, kamu akan tahu itu nanti. Yang terpenting sekarang, ibu ingin mendengar jawaban itu langsung dari mulutmu. Apa kamu serius ingin menjadi menantu ibu?"

"Tunggu. Tunggu dulu! Aku tidak paham dengan apa yang baru saja Tante bicarakan? Siapa yang mau menikah, kekasih saja aku tidak punya." 

Memang benar, bahkan di usia yang sudah dua puluh satu tahun, Zoya masih sangat awam perihal laki-laki. Memiliki kekasih dalam waktu dekat apalagi menikah muda sebenarnya tidak ada dalam rencananya. Ia masih ingin mengumpulkan banyak uang agar bisa menggapai cita-cita.

"Iya, ibu juga sudah tahu itu," ucap Lisa lagi yang semakin membuat Zoya tercengang.

Semakin tidak masuk akal. 

Zoya merasa benar-benar ada yang tidak beres. Kembali melempar pandangan pada kedua sahabatnya, Zoya yakin merekalah pelakunya.

"Katakan, apa yang sudah kalian lakukan?" bisik Zoya pada Melly yang seketika menggeleng tegas.

"Bukan aku, tapi Vina," sanggah gadis itu melempar pandangan pada teman mereka yang duduk gelisah di tempatnya. 

"Ibu berharap kamu tidak menolak lamaran ibu, Sayang."

Mendengar Lisa kembali bersuara, Zoya berdesak nafas sekali sebelum akhirnya berbicara dengan lebih tenang.

"Begini Tante, maaf sebelumnya sudah membuat Tante repot-repot datang ke kontrakan kami yang sempit ini. Tapi sepertinya ada kesalahpaham yang harus aku bicarakan dengan kedua sahabatku." 

"Ibu paham, untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut masa depan memang tidak mudah, dan tentunya butuh banyak pertimbangan. Baiklah. Ibu harap kamu bisa mempertimbangkan ini dengan baik, tapi ibu juga tidak ingin kedatangan ibu hari ini sia-sia." Setelahnya Lisa bangkit, dan kembali berucap, "ibu akan datang minggu depan. Persiapkan dirimu."

Begitu Lisa pergi keadaan masih hening, belum ada yang bersuara dari ketiganya. Zoya masih terlalu sibuk menafsirkan apa yang Lisa sampaikan sebelum pergi tadi. Nada suaranya memang lembut, tapi dari konotasi yang digunakan, wanita itu seolah memberi ultimatum jika Zoya hanya memiliki satu pilihan, yaitu menerima lamaran yang Zoya sendiri anggap tidak masuk akal.

"Zo…"

Mendengar Vina memanggilnya ragu, Zoya segera beralih.

"Aku tahu ini pasti ulahmu, Vin. Sekarang jelaskan, apa yang sudah kau janjikan padnya sampai dia datang kemari?"

"Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu dia akan datang kemari. Aku pikir hari itu dia hanya sedang bergurau. Sungguh Zo, maafkan aku."

Khawatir Zoya akan marah padanya, Vina sudah lebih dulu terisak. Sebenarnya ia juga terkejut akan kedatangan Lisa yang mendadak, dan langsung mengutarakan tujuannya.

"Hari itu? Kapan dan dimana?" desak Zoya semakin tidak sabaran. Ia games melihat Vina yang tidak langsung menjawab, tapi justru balik melempar pandangan pada Melly yang seketika berubah gelagapan.

"Kanapa aku? Kan kau yang berbicara dengannya hari itu."

Kembali mendesak nafas sekali, Zoya berusaha menahan diri untuk tidak langsung menghakimi kedua sahabatnya.

"Teman-teman, ini bukan perkara remeh yang bisa aku bagaikan begitu saja. Sekarang katakan padaku, apa yang sudah kalian rencanakan tanpa sepengetahuanku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status