Dua jam berlalu, dan Maya telah kehilangan hitungan berapa kali Pak Karyo membuatnya orgasme. Setiap kali ia berpikir sudah selesai, jemari Pak Karyo akan menyentuhnya lagi, membangkitkan gairah yang ia kira sudah terpuaskan. "Pak Karyo..." Maya mendesah lemah, tubuhnya masih bergetar dari orgasme terakhir. Keringat membasahi kulit putihnya, rambut yang biasanya rapi kini lepek menempel di dahi. "Udah... aku udah nggak kuat lagi..." Napasnya pendek-pendek. Tubuhnya seperti habis lari maraton, tapi masih mendamba sentuhan itu. Tangannya gemetar saat mencoba mendorong dada berotot Pak Karyo, tapi dorongannya lemah, seperti basa-basi. "Belum kok, Bu," Pak Karyo berbisik serak. Tangannya yang kasar mengelus wajah Maya dengan kelembutan yang kontradiktif, sebelum turun ke leher, lalu payudaranya yang masih sensitif. "Saya masih pengen Bu Maya." Otot-otot lengan Pak Karyo yang gelap bergerak di bawah kulitnya saat ia bergeser, menekan tubuh Maya lebih dalam ke kasur. Tidak ada tanda
Belum selesai dengan gelombang keduanya, Maya merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggantikan jari-jari Pak Karyo. Matanya terbuka lebar saat menyadari Pak Karyo telah bergerak turun, wajahnya kini berada di antara kakinya. "Oh!" Maya terkesiap saat lidah kasar Pak Karyo menyentuhnya. Sensasi itu begitu intens hingga tubuhnya otomatis mencoba menjauh, tapi tangan kuat Pak Karyo menahannya tetap di tempat. "Pak... apa yang... ahh..." Maya tak mampu berpikir jernih. Lidah Pak Karyo bergerak dengan terampil, mencari titik-titik yang membuat tubuhnya menggeliat. Tangannya refleks mencengkeram rambut Pak Karyo, mendorongnya lebih dalam. Pak Karyo bergumam pelan, vibrasi suaranya mengirim gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh Maya. Kedua tangan kekarnya kini mengangkat paha Maya, membuatnya semakin terbuka dan tak berdaya. "Pak... Kar... ahh..." Maya meracau. Seorang eksekutif yang terbiasa mendikte orang lain, kini tak mampu membentuk satu kalimat utuh. Otaknya seperti melel
Suara shower berhenti. Maya menahan napas, jantungnya berdegup kencang mendengar langkah-langkah berat mendekat. Pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan kepulan uap hangat yang beraroma sabun mahal. "Ahh...." Maya berbisik tanpa sadar. Pak Karyo berdiri di ambang pintu, handuk putih hotel melilit rendah di pinggangnya. Air mengalir dari rambutnya yang hitam pekat, menetes turun melewati dada bidangnya yang berotot, mengikuti lekuk-lekuk keras yang terbentuk dari bertahun-tahun kerja fisik. Setiap tetes air yang meluncur di kulit gelapnya yang mengkilap membuat Maya semakin sulit bernapas. "Bu..." Suara Pak Karyo terdengar dalam dan serak. Maya bisa melihat bagaimana otot-otot di lehernya bergerak saat ia menelan ludah. "Boleh saya mendekat?" Maya mengangguk lemah, tubuhnya gemetar. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh basah Pak Karyo memenuhi ruangan, membuat kepalanya pusing. Ini bukan lagi aroma pekerja kasar yang biasa ia hindari. Wajahnya yang tegas dengan rahang
Di lobby hotel, Irwan memesan kopi ketiga. Tangannya yang biasa mantap menandatangani kontrak miliaran kini gemetar mengaduk minuman yang belum ia sentuh. Matanya menatap kosong ke arah lift, membayangkan apa yang terjadi di lantai atas.Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma prosedur medis aja - masuk, lakukan, keluar. Kayak donor darah atau check-up rutin. Tapi kenapa sudah lewat setengah jam dan belum ada kabar dari Maya? Maya berdiri di depan pintu suite, tangannya gemetar saat memasukkan key card. Suara klik pelan mengonfirmasi pintu terbuka, dan ia melangkah masuk dengan lutut yang nyaris goyah. Pak Karyo sudah menunggu di dalam, berdiri canggung di dekat jendela. Maya nyaris tersedak melihat penampilannya - kemeja putih yang ia belikan dari butik langganannya malah membuat Pak Karyo tampak semakin tidak pantas berada di suite mewah ini. Kulitnya yang gelap tampak kontras dengan kemeja putih itu. Wajahnya yang kusam tak terawat, dengan kecanggungan khas orang kampung, mem
Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka. "Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget. Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika ber
Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh. Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa. Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalin