Seminggu berlalu sejak pertengkaran hebat itu. Maya dan Irwan masih tidur di kamar terpisah - Maya di kamar utama, sementara Irwan memilih tidur di sofa ruang kerjanya. Setiap pagi, mereka berpapasan di dapur seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi alamat.
"Kopi, Pak," Pak Karyo meletakkan secangkir kopi hitam di hadapan Irwan yang duduk melamun di meja makan. Maya baru saja berangkat ke kantor, meninggalkan aroma parfum Chanel yang masih mengambang di udara. Irwan mengangguk lemah. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Pak Karyo yang dengan cekatan membereskan sisa sarapan Maya - roti yang hanya dimakan setengah, telur yang nyaris tidak disentuh. Istrinya semakin kurus sejak diagnosis itu. Malam harinya, Irwan berbaring di sofa ruang kerja, mendengarkan suara isak tangis samar dari kamar sebelah. Suara yang sama yang menghantuinya setiap malam selama seminggu terakhir. Maya menangis, berusaha meredam suaranya dengan bantal, tapi dinding-dinding rumah mewah mereka seolah sengaja meneruskan setiap isakan ke telinga Irwan. "Ya Allah..." Irwan memejamkan mata, tangannya gemetar menggenggam ponsel yang menampilkan pesan dari ibunya: "Nak, tadi Mama ketemu Linda di pengajian. Udah masuk bulan kedelapan... kamu kapan ngasih Mama cucu?" Pesan itu seperti pisau yang mengiris hatinya. Irwan membayangkan tatapan kasihan yang akan ia terima di acara keluarga berikutnya. Bisikan-bisikan di belakangnya. "Kasihan ya, sudah enam tahun..." "Mungkin ada yang salah dengan dia..." Suara isakan Maya semakin jelas. Irwan bangkit dari sofa, berjalan ke arah pintu. Tangannya terangkat, hendak mengetuk, tapi tertahan. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia menyesal? Bahwa ia bersedia mempertimbangkan... tidak, ia masih belum sanggup memikirkan opsi itu. Keesokan paginya, saat Irwan turun untuk sarapan, ia mendapati Maya sudah duduk di meja makan. Tidak seperti biasanya, istrinya belum bersiap ke kantor. Masih mengenakan piyama sutra, rambut tergerai berantakan, mata sembab. "Maya?" Irwan menarik kursi di hadapan istrinya. "Kamu... nggak ke kantor?" Maya menggeleng pelan, jemarinya memainkan ujung piyama sutranya yang kusut. "Udah izin WFH." Suaranya serak, bekas menangis semalaman. "Yang... kita harus ngobrol." Irwan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Selama enam tahun pernikahan mereka, Maya tidak pernah absen atau terlambat ke kantor - bahkan saat sakit pun ia tetap memaksakan diri pergi. Melihatnya seperti ini, berantakan dan rapuh, membuat Irwan sadar betapa dalam luka yang ia torehkan pada istrinya. "Aku udah mikirin ini berkali-kali," Maya melanjutkan, matanya menatap kosong cangkir kopi di hadapannya. "Soal... donor sperma." Irwan menegang. Topik yang selama ini ia hindari akhirnya muncul juga. "Maya, kita udah bahas ini..." "Nggak, Yang. Kita belum bener-bener ngomongin ini." Maya mengangkat wajahnya, matanya yang sembab menatap langsung ke mata Irwan. "Tiap kali aku coba bahas, kamu selalu ngeles. Atau marah. Atau ngurung diri di ruang kerja." "Soalnya ini gila!" Irwan membentak, membuat Pak Karyo yang sedang membereskan dapur terlonjak kaget. "Kamu mau aku biarin cowok lain... ngehamilin kamu?" "Bukan gitu," Maya mencoba menjelaskan, suaranya bergetar menahan emosi. "Ini cuma prosedur medis. Kayak... kayak transfusi darah. Kita bisa cari donor yang kita kenal, yang kita percaya. Paling nggak kita tau latar belakangnya, dan anak kita nanti nggak bakal bingung soal asal-usulnya." "Dan menurut kamu itu bakal bikin semuanya lebih baik?" Irwan tertanya getir. "Anak yang lahir dari... dari..." ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Maya menunduk, air matanya mulai jatuh ke meja. "Aku nggak mau kehilangan kesempatan jadi ibu, Yang. Umurku udah 34 tahun. Tiap bulan yang lewat, tiap test pack yang negatif..." suaranya pecah dalam isakan. Irwan memejamkan mata, teringat kata-kata ayahnya tentang Om Hendra: "Bukan lelaki sejati". Kata-kata itu menghantuinya setiap malam, bercampur dengan suara isak tangis Maya dari kamar sebelah. "Kita bisa adopsi aja," Irwan mencoba bernegosiasi, meski ia tahu Maya belum siap dengan opsi itu. "Aku pengen ngerasain hamil, Yang," Maya berbisik. "Pengen ngerasain bayiku gerak di perutku. Pengen... pengen ngasih keturunan buat keluarga kita." Dari sudut matanya, Irwan melihat Pak Karyo yang dengan canggung melanjutkan pekerjaannya, berusaha tidak mendengarkan percakapan pribadi majikannya. Namun situasi ini terlalu intim untuk diabaikan - asisten rumah tangga mereka itu pasti sudah mendengar setiap pertengkaran, setiap isak tangis yang terjadi selama berminggu-minggu terakhir. "Aku perlu waktu," Irwan akhirnya berkata, bangkit dari kursinya. Ia tidak sanggup lagi melihat air mata Maya, tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa ia telah gagal sebagai suami. "Sampe kapan?" Maya bertanya lirih. "Sampe aku keburu tua buat punya anak?" Irwan tidak menjawab. Ia mengambil tas kerjanya dan berjalan ke pintu, meninggalkan Maya yang masih terisak di meja makan. Di belakangnya, ia bisa mendengar Pak Karyo dengan lembut menawarkan tisu pada Maya. Sepanjang hari di kantor, Irwan tidak bisa berkonsentrasi. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Maya yang berantakan di meja makan menghantuinya. Ia membayangkan bagaimana rasanya melihat istrinya mengandung anak lelaki lain - melihat perutnya membesar, mendengarnya berbicara tentang tendangan bayi yang bukan darah dagingnya. Proposal-proposal menumpuk di mejanya, tapi pikirannya terus kembali ke percakapan pagi tadi. Ia membuka ponselnya, ngetik pesan untuk Maya, lalu hapus lagi. Berkali-kali. Saat matahari mulai tenggelam, Irwan akhirnya mengirim satu pesan singkat: "Aku pulang telat. Ada yang perlu kupikirin." Irwan menyetir tanpa tujuan di jalanan Jakarta malam itu. Lampu-lampu kota yang biasanya menenangkan kini terasa mengejek. Setiap kali ia melihat pasangan di trotoar, bayangan Maya dengan donor yang mereka bicarakan memenuhi benaknya. Mobilnya berhenti di sebuah kafe yang masih buka. Ia butuh kopi atau mungkin sesuatu yang lebih keras. Tapi tidak, ia harus tetap berpikir jernih malam ini. "Americano, double shot," pesannya pada barista yang tampak bosan. Duduk di sudut kafe, Irwan mengeluarkan ponselnya. Foto pernikahan mereka enam tahun lalu masih menjadi wallpaper - Maya tersenyum bahagia dalam gaun putihnya, dan ia... ia masih percaya bisa memberikan segalanya untuk wanita itu. "Mas?" suara pelayan mengejutkannya. "Kopinya." Irwan menyesap minuman pahit itu perlahan. Seperti kenyataan yang harus ia telan bahwa ia tidak bisa memberikan apa yang Maya inginkan. Bahwa wanita yang ia cintai mungkin harus... tidak, ia bahkan tidak sanggup membayangkannya. Ponselnya bergetar. Maya. "Yang," suara Maya terdengar serak. "Kamu dimana?" "Masih perlu waktu," Irwan menjawab pendek. "Please pulang. Kita ngomong baik-baik." Irwan memejamkan mata. "Aku nggak bisa, Maya. Nggak sekarang." "Sampe kapan?" suara Maya bergetar. "Sampe aku keburu tua? Sampe semua pintu ketutup?" "Maya..." "Aku tau ini berat," Maya melanjutkan. "Tapi coba liat dari sisiku. Aku udah 34 tahun, Yang. Tiap bulan yang lewat, tiap test pack yang negatif..." suaranya pecah. Irwan menggenggam ponselnya lebih erat. Di seberang kafe, ia melihat seorang ayah menggendong anaknya yang tertidur. Pemandangan yang dulu membuatnya tersenyum, kini mengiris hatinya. "Aku pulang sekarang," katanya akhirnya. Di rumah, Maya menunggu di ruang tamu. Matanya sembab, tapi ada ketegaran dalam cara ia duduk tegak di sofa. Irwan duduk di hadapannya, jarak yang biasanya terasa intim kini seperti jurang menganga. "Aku udah mikirin semuanya," Maya memulai. "Soal donor... kita bisa cari yang pas. Seseorang yang kita kenal, yang kita percaya. Dan prosesnya bisa dilakuin dengan... profesional." "Profesional?" Irwan tertawa getir. "Gimana bisa profesional kalo kita minta orang lain buat..." ia tidak sanggup melanjutkan. "Ini bukan soal... itu," Maya mencoba menjelaskan. "Ini soal bangun keluarga kita. Kasih kesempatan ke aku - ke kita buat punya anak." "Terus gimana sama perasaanku?" suara Irwan meninggi. "Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak bayangin istriku..." ia berhenti, menarik napas dalam. "Maya, aku sayang kamu. Tapi ini... ini terlalu berat." Maya bangkit, berpindah untuk duduk di samping Irwan. "Aku juga sayang kamu," bisiknya. "Nggak bakal ada yang berubah. Kamu tetep suamiku, ayah dari anak-anak kita nanti." "Ayah?" Irwan mendengus. "Ayah dari anak yang bahkan bukan darah dagingku?" "Jadi ayah bukan cuma soal DNA," Maya menggenggam tangan Irwan. "Tapi soal siapa yang ngebesarin, ngajarin, nyayangin anak itu. Dan aku tau kamu bakal jadi ayah yang luar biasa." Irwan menatap tangan mereka yang bertaut. Tangan yang selama enam tahun selalu menjadi tempatnya bergantung, yang selalu ia genggam di setiap kesulitan. "Gimana kalo nanti..." Irwan menelan ludah. "Gimana kalo nanti aku nggak bisa sayang sama anak itu kayak anakku sendiri?" Maya menggeleng. "Aku kenal kamu, Yang. Kamu punya hati yang besar. Dan anak ini... dia bakal jadi bagian dari kita berdua. Hasil dari cinta dan pengorbanan kita." "Pengorbanan," Irwan mengulang kata itu dengan pahit. "Emang nggak ada cara lain?" "Kita udah coba semuanya," Maya menyandarkan kepalanya di bahu Irwan. "Tiga kali program bayi tabung, puluhan dokter, macem-macem pengobatan... ini satu-satunya jalan yang tersisa." Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat. Di luar, suara jangkrik memecah keheningan malam. Irwan merasakan kehangatan tubuh Maya di sampingnya, kehangatan yang selama enam tahun menjadi rumahnya. "Kalo..." Irwan akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik. "Kalo kita lakuin ini... aku punya syarat." Maya mengangkat wajahnya, matanya berbinar dengan harapan. "Donor harus orang yang bener-bener kita kenal. Yang karakternya udah terbukti. Dan..." ia mengeratkan genggamannya pada tangan Maya. "Aku harus ikut dalam semua keputusan. Nggak boleh ada yang disembunyiin dari aku." Maya mengangguk cepat. "Tentu, Yang. Apapun yang bikin kamu nyaman." "Dan satu lagi," Irwan menatap Maya lekat-lekat. "Janji sama aku... janji kalo ini nggak bakal ngubah perasaan kamu ke aku." Air mata Maya mengalir saat ia memeluk Irwan erat. "Nggak bakal, Yang. Kamu satu-satunya suamiku, satu-satunya yang aku sayang." Malam itu, untuk pertama kalinya sejak diagnosis terakhir, mereka tidur berpelukan. Maya terlelap dengan senyum di bibirnya, sementara Irwan masih terjaga, memandangi langit-langit kamar. Ia tahu keputusannya malam ini akan mengubah hidup mereka selamanya. Ia hanya bisa berharap, cintanya pada Maya cukup kuat untuk melewati semua ini.Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m
Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m
Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre
Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p
Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.
Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada