Pencarian donor dimulai minggu berikutnya. Maya memutuskan untuk mendekati sepupunya, Andi, yang sudah memiliki tiga anak. Mereka bertemu di Starbucks sebuah mall di Jakarta Selatan, jauh dari lingkungan sosial mereka yang saling mengenal.
"Jadi," Andi menyesap espresso-nya dengan gugup, "kalian mau aku... ngasih..." "Spermamu," Maya menyelesaikan kalimatnya, mencoba kedengaran profesional seperti waktu meeting. "Secara medis, tentu aja. Semua bakal dilakukan dengan prosedur yang bener." Andi nyaris tersedak kopinya. "Kamu udah gila?" bisiknya tajam. "Gimana kalo Tante tau? Atau Papa? Mereka bisa kena stroke!" "Nggak bakal ada yang tau," Maya mencondongkan tubuhnya, suaranya memohon. "Please, Ndi. Kamu tau kan banget kami pengen punya anak." "Nggak mungkin." Andi menggeleng tegas, membereskan tasnya. "Aku nggak mau ikutan drama kayak gini. Cari orang lain aja deh." Ia berdiri, lalu menambahkan dengan nada lebih lembut, "Dan May... please jangan cerita ke siapa-siapa soal obrolan ini ya." Irwan tidak lebih beruntung. Ia mencoba peruntungannya dengan Dimas, teman kuliahnya yang masih lajang. Mereka bertemu di Senayan National Golf Club, tempat yang cukup eksklusif untuk menjamin privasi. "Sorry, Wan," Dimas mengayunkan stick golf-nya dengan gugup, bolanya meleset jauh. "Ini... terlalu berat. Maksud gue, kita emang temen deket, tapi..." "Kita bikin perjanjian resmi," Irwan menjelaskan, tangannya gemetar memegang stick. "Semuanya legal dan rahasia." "Dan bayangin setiap liat anak lo nanti, itu sebenernya..." Dimas menggeleng kuat-kuat. "Nggak bisa, Wan." Dimas meninggalkan lapangan golf bahkan sebelum menyelesaikan hole ketiga. Sejak itu, ia menghilang dari grup W******p alumni, dan status terakhir dilihat-nya di chat personal dengan Irwan selalu "Lama sejak terakhir dilihat". Penolakan demi penolakan berdatangan. Undangan makan malam yang biasanya disambut antusias, kini selalu berakhir dengan "Ada meeting dadakan" atau "Anak lagi sakit". Group chat yang biasanya ramai dengan candaan dan gosip, mendadak sepi setiap Maya atau Irwan mengirim pesan. "Liat deh cara mereka ngeliatin aku di supermarket tadi," Maya terisak suatu malam. "Istri Dimas pura-pura nggak liat, padahal jelas-jelas kita papasan di bagian sayur." Irwan melampiaskan frustrasinya dengan lembur. Kantornya yang biasanya sepi setelah jam lima, kini menjadi tempat pelariannya hingga tengah malam. Proposal-proposal menumpuk di mejanya bukan karena banyak pekerjaan, tapi karena ia takut pulang dan menghadapi kenyataan. Suatu malam, Maya pulang dengan wajah kusut. Blazer Burberry-nya tampak kusut, maskara luntur di sudut matanya. Satu lagi makan siang yang dibatalkan sepihak oleh teman-temannya - kali ini Sandra, sahabatnya sejak kuliah. "Ini semua gara-gara kamu!" Maya membanting tas Hermes-nya ke lantai. Pak Karyo yang sedang mengepel di dekat situ terlonjak kaget, tapi tetap diam melanjutkan pekerjaannya. "Kalo aja kamu normal..." "Kalo kamu normal, kita nggak perlu bikin malu diri sendiri kayak gini!" Kata-kata itu menggema di dapur yang luas. Pak Karyo, yang sedang mengelap konter dapur, menghentikan gerakannya sejenak. Selama empat tahun bekerja di rumah ini, ia sudah terbiasa dengan pertengkaran majikannya. Biasanya hanya bisikan-bisikan tajam atau pintu yang dibanting. Tapi malam ini berbeda. "Kamu pikir aku mau kayak gini?" Irwan membalas, suaranya bergetar. "Kamu pikir aku sengaja bikin kita jadi bahan omongan?" Maya tertawa getir. Air mata mengalir di pipinya yang masih berbekas foundation mahal. "Setidaknya kamu nggak perlu ngadepin tatapan mereka tiap hari. Tatapan kasihan, tatapan jijik..." Ia mengambil gelas dari rak, tangannya gemetar saat menuang air. "Kamu bisa sembunyi di balik meeting sama lembur-lembur kamu itu." "Dan kamu pikir aku bahagia?" Irwan menghempaskan diri di kursi makan. "Kamu pikir aku nggak ngerasa... nggak ngerasa..." Suaranya tercekat. Pak Karyo melirik dari sudut matanya. Untuk pertama kalinya, ia melihat Irwan - pria yang selalu tampil tegar dan profesional itu menangis. Air mata mengalir di pipinya tanpa suara, bahunya berguncang menahan isakan. "Permisi, Pak, Bu..." Pak Karyo berdeham pelan, merasa tidak nyaman menyaksikan momen intim ini. "Saya.... mungkin saya ke belakang dulu." "Nggak usah, Pak Karyo," Maya menggeleng lemah. "Selesain aja kerjaan Bapak. Toh semua orang juga udah tau betapa menyedihkannya rumah tangga kita." Pak Karyo menunduk, melanjutkan pekerjaannya membersihkan dapur. Tapi matanya sesekali melirik ke arah Maya yang kini terduduk lemas di meja makan, dan Irwan yang masih terisak tanpa suara. Sebagai pria berusia 54 tahun dengan lima anak yang sehat, hatinya terenyuh melihat penderitaan pasangan muda ini. Tangannya yang kuat menggenggam lap dengan lebih erat. Ia ingat bagaimana dulu istrinya melahirkan anak-anak mereka dengan mudah. Lima kali hamil, lima kali melahirkan dengan lancar. Bahkan di usianya yang sudah kepala lima, ia masih sering mendapat godaan dari tetangga-tetangga di kampung tentang 'kehebatannya'. Maya terisak lagi, kali ini lebih keras. "Aku nggak kuat lagi, Yang... Aku nggak kuat liat Sandra gendong bayinya tadi. Dia bahkan nikah dua tahun setelah kita..." Irwan bangkit, hendak memeluk istrinya, tapi Maya menghindar. "Jangan pegang-pegang," bisiknya tajam. "Aku nggak mau... aku nggak bisa..." Pak Karyo meletakkan lapnya perlahan. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya - sesuatu yang membuatnya memberanikan diri melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan selama empat tahun bekerja di rumah ini. "Maaf, Pak, Bu..." Pak Karyo berdeham pelan, menghentikan aktivitasnya mengelap konter dapur. Matanya melirik canggung pada kedua majikannya yang masih bersitegang. Maya menoleh tajam. "Apa?" Suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan, mata merahnya masih basah oleh air mata. Pak Karyo tersentak kecil. Selama empat tahun bekerja di rumah ini, ia jarang melihat nyonyanya semarah ini. Tangannya yang kasar meremas lap di genggamannya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi keberaniannya menciut melihat tatapan Maya. "Sa-saya..." ia memulai ragu, "Saya cuma mau bilang kalau-" "Bilang apa?" Maya memotong tidak sabar. "Kalau sudah waktunya Bapak istirahat? Ya, silakan. Kami butuh privasi." Pak Karyo menunduk, mengurungkan niatnya. "Nggih, Bu. Permisi." Ia mundur perlahan, matanya sesekali melirik ke arah Irwan yang masih terdiam. Sepeninggal Pak Karyo, suasana dapur kembali mencekam. Denting samar sendok kopi Irwan yang terus diaduk tanpa tujuan memecah keheningan. "Ini nggak adil, Wan," Maya berbisik, tangannya menggenggam ujung blazernya hingga kusut. "Berapa banyak lagi penolakan yang harus kita terima? Sepupu kamu, teman-teman kita... semua menjauh begitu kita minta bantuan." Irwan meletakkan sendoknya dengan suara denting pelan. "Aku udah hubungi semua orang yang bisa dipercaya, Maya. Tapi ini permintaan yang... sulit." "Sulit?" Maya tertawa getir. "Kita cuma minta sperma mereka, bukan ginjal!" Suaranya meninggi, getaran emosi terdengar jelas. "Dimas bahkan nggak mau ketemu kita lagi sejak kita bilang soal donor." Irwan menghela napas berat. "Gimana pun, ini masalah sensitif. Orang-orang takut ada komplikasi nanti, takut kalau-" "Kalau apa? Kalau aku tiba-tiba jatuh cinta sama donor?" Maya mencibir sarkastis. "Kamu pikir aku semurahan itu?" "Maya, bukan gitu..." Irwan bangkit dari kursinya, kursi kayu itu berderit keras di lantai marmer. "Tapi kita harus realistis. Siapa yang mau ambil risiko jadi donor untuk kita tanpa ada ikatan apapun setelahnya?" Di sudut dapur, tanpa mereka sadari, Pak Karyo berdiri diam, tangannya menggenggam kantong sampah yang seharusnya ia buang ke luar. Matanya menatap kedua majikannya dengan sorot yang sulit dibaca. "Aku lelah, Wan," suara Maya melunak, bahunya turun dalam kekalahan. "Aku lelah terus berharap, terus mencari... tapi hasil tetap sama." Irwan mendekati istrinya, tangannya ragu hendak menyentuh bahu Maya yang bergetar menahan isak. "Kita akan temukan jalan keluar. Mungkin... mungkin memang sudah waktunya kita pertimbangkan adopsi?" "Nggak!" Maya menjauh, matanya menatap nyalang. "Aku pengen ngerasain hamil, Wan. Ngerasain bayi bergerak di perut aku sendiri. Ngerasain semua yang Linda rasain, yang semua sepupu kamu rasain!" Suaranya pecah oleh isak tangis. "Maya..." Irwan menatap nanar, tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, Pak Karyo bergerak pelan. Sepatu lusuhnya berderit kecil di lantai mengkilap, menarik perhatian Maya. "Pak Karyo masih di sini?" Maya mengusap air matanya kasar, memasang wajah tegas yang biasa ia tunjukkan di kantor. "Saya bilang Bapak boleh pulang." "Maaf, Bu..." Pak Karyo mengeratkan genggamannya pada kantong sampah, ada keraguan di matanya. "Saya cuma... saya mau..." Ia tidak melanjutkan kata-katanya, terintimidasi oleh tatapan Maya. "Apa?" desak Maya tidak sabar. "Kalau nggak penting, tolong biarkan kami sendiri." Pak Karyo mengangguk cepat, lalu berbalik menuju pintu belakang. Langkahnya sedikit terburu-buru, punggungnya yang biasa tegap kini sedikit membungkuk. Sepeninggal Pak Karyo untuk kedua kalinya, Maya menatap Irwan dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak tahan lagi, Wan. Aku nggak bisa terus hidup dalam penolakan begini." "Maya, dengarkan aku-" "NGGAK!" Maya mendorong Irwan menjauh. "Kamu nggak ngerti perasaan aku! Kamu nggak pernah bisa ngerti!" Ia menyambar tasnya dan berjalan cepat ke arah tangga, meninggalkan Irwan yang terpaku. Dari pintu belakang yang sedikit terbuka, Pak Karyo mengamati dalam diam, kantong sampah masih di tangannya. Ada sesuatu dalam tatapannya - sebuah keputusan yang mulai terbentuk. Malam itu, Maya tidur dengan air mata mengering di pipinya, sementara Irwan terjaga di ruang kerjanya. Di kamar belakang yang sederhana, Pak Karyo menatap foto lima anaknya yang tersenyum lebar, jemarinya yang kasar menelusuri wajah-wajah bahagia itu dengan gerakan penuh pertimbangan.Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m
Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m
Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre
Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p
Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.
Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada