Di lobby hotel, Irwan memesan kopi ketiga. Tangannya yang biasa mantap menandatangani kontrak miliaran kini gemetar mengaduk minuman yang belum ia sentuh. Matanya menatap kosong ke arah lift, membayangkan apa yang terjadi di lantai atas.
Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma prosedur medis aja - masuk, lakukan, keluar. Kayak donor darah atau check-up rutin. Tapi kenapa sudah lewat setengah jam dan belum ada kabar dari Maya?
Maya berdiri di depan pintu suite, tangannya gemetar saat memasukkan key card. Suara klik pelan mengonfirmasi pintu terbuka, dan ia melangkah masuk dengan lutut yang nyaris goyah. Pak Karyo sudah menunggu di dalam, berdiri canggung di dekat jendela. Maya nyaris tersedak melihat penampilannya - kemeja putih yang ia belikan dari butik langganannya malah membuat Pak Karyo tampak semakin tidak pantas berada di suite mewah ini. Kulitnya yang gelap tampak kontras dengan kemeja putih itu. Wajahnya yang kusam tak terawat, dengan kecanggungan khas orang kampung, membuat Maya seketika menyesali keputusannya. "Ya Tuhan," bisik Maya dalam hati, "aku akan berhubungan intim dengan... ini?" Maya menelan ludah, mencoba menenangkan perutnya yang bergolak. Ia adalah eksekutif senior, terbiasa menghadapi situasi sulit dengan profesional. Tapi ini... melihat Pak Karyo yang berdiri canggung dengan kemeja yang terlalu rapi untuk tubuhnya yang kekar dan kasar, Maya merasa ingin muntah. "Su-sudah lama nunggu?" Maya coba tersenyum profesional, tapi suaranya bergetar. Untungnya, aroma sabun mewah yang ia siapkan khusus untuk Pak Karyo membuatnya tidak terlalu buruk. "Baru lima belas menit kok, Bu," Pak Karyo jawab dengan logat Jawa medok-nya yang kental, membuat Maya semakin ngeri membayangkan apa yang akan terjadi. Tangan Pak Karyo yang besar dan kasar bergerak gelisah di sisinya - tangan yang sebentar lagi akan menyentuh kulitnya yang putih mulus. "A-aku ke kamar mandi dulu," Maya buru-buru kabur, nyaris tersandung high heels-nya sendiri. Di kamar mandi mewah suite itu, ia bersandar di pintu, napasnya tersengal. Bayangan tangan kasar itu menyentuh tubuhnya membuat perutnya semakin mual. "Ini demi punya anak," Maya berbisik pada bayangannya di cermin, mencoba memoleskan lipstik merah Chanel-nya dengan tangan gemetar. "Demi anak... demi anak... aku harus kuat..." "Inget, aku Maya Andini," bisiknya pada cermin, mencoba mengingat prestasi-prestasinya - lulusan terbaik MBA, senior manager termuda di perusahaannya. "Aku pasti bisa lakuin ini." Tapi getaran dalam suaranya mengkhianati kepura-puraan itu. Ia melirik bed king size yang akan menjadi saksi bisu transformasinya dari eksekutif sukses menjadi wanita yang begitu putus asa akan kehadiran seorang anak hingga rela menyerahkan diri pada pembantu rumah tangganya sendiri. Sementara itu Pak Karyo berdiri canggung di dekat pintu, masih mengenakan kemeja putih baru yang Maya belikan khusus untuk malam ini dari butik langganannya. Maya membuka tas Hermesnya dengan tangan gemetar, mengeluarkan botol kecil berisi Valium yang ia dapatkan dari dokter. Di sampingnya, terlipat rapi, sebuah lingerie hitam yang ia beli siang tadi - keputusan impulsif saat melewati butik di Plaza Senayan.Awalnya ia merasa konyol, membeli pakaian dalam mewah untuk... seorang pembantu. Tapi entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang ingin mempertahankan ilusi bahwa ini bukan sekadar "prosedur aja" seperti yang mereka rencanakan.
"Aku tetep Maya Andini," bisiknya pada bayangan di cermin, jemarinya yang lentik menyentuh lingerie itu. "Senior manager yang selalu keliatan sempurna." Tapi getaran dalam suaranya mengkhianati kepura-puraan itu. Ia meneguk Valium dengan air dingin, menunggu obat itu memberikan keberanian yang ia butuhkan. Perlahan, dengan gerakan yang masih anggun walaupun gemetar, Maya melepas satu per satu pakaiannya. Blazer krem Burberry yang tadi pagi ia pilih dengan cermat untuk meeting dengan klien Jepang. Rok pensil yang membuatnya merasa berkuasa di ruang rapat. Blus sutra yang selalu memberinya rasa percaya diri. Setiap lapisan yang terlepas seolah mengupas persona profesionalnya, menyisakan seorang wanita yang begitu putus asa akan kehadiran seorang anak. Lingerie itu terasa dingin di kulitnya - sutra hitam yang kontras dengan kulit putihnya yang terawat salon. Maya memutar tubuhnya di cermin, mencoba meyakinkan diri bahwa ia masih wanita yang sama, eksekutif sukses yang biasa membuat keputusan miliaran rupiah. Tapi bayangan di cermin menunjukkan sosok yang berbeda - seorang wanita yang akan menyerahkan diri pada pembantunya sendiri. Valium mulai bekerja ketika Maya melangkah keluar kamar mandi. Efek obat penenang itu membuat kepalanya sedikit ringan, tapi tidak cukup untuk menghilangkan kegugupannya sepenuhnya. Lingerie hitam yang ia kenakan terasa seperti armor yang terlalu tipis, membuat kulitnya meremang setiap kali AC menyentuhnya. Pak Karyo masih berdiri di dekat jendela, sosoknya yang tegap tampak asing dalam kemeja putih Marks & Spencer yang Maya belikan. Keringat mulai membasahi punggungnya, membuat kemeja itu menempel pada otot-otot yang terbentuk dari bertahun-tahun kerja fisik. Maya bisa melihat bagaimana tangan kasar Pak Karyo mencengkeram tirai, menahan diri untuk tidak langsung menghampirinya. Aroma yang menguar dari tubuh Pak Karyo membuat kepala Maya semakin pusing - campuran antara sabun murah, keringat, dan sesuatu yang sangat... maskulin. Aroma yang selama ini ia cium dari jauh saat Pak Karyo membersihkan rumah atau mencuci mobil, kini begitu dekat dan menusuk, membuat lututnya gemetar. "Bu Maya..." Suara Pak Karyo terdengar serak, sangat berbeda dari nada formal yang biasa ia gunakan saat membersihkan rumah atau menyiapkan sarapan. "Cantik banget..." Pujian sederhana itu membuat pipi Maya merona. Ia, yang biasa menerima komplimen di meeting-meeting high level, entah mengapa merasa telanjang di bawah tatapan pembantunya yang kini perlahan memberanikan diri menatapnya langsung. Pak Karyo maju selangkah, otot-otot di lengannya yang biasa mengangkat furniture menegang menahan diri. "Permisi, Bu... boleh saya mendekat?" suaranya lebih berat dari biasanya. Maya mengangguk kaku, kakinya seolah terpaku ke lantai marmer yang dingin. Ia melihat bagaimana Pak Karyo mendekat dengan gerakan yang tidak lagi membungkuk hormat - ada sesuatu yang kayak pemburu dalam caranya melangkah. "Ya ampun..." Pak Karyo berbisik saat jarak mereka tinggal selangkah. Matanya yang biasanya tertunduk kini berani menjelajahi tubuh Maya dari atas ke bawah. "Bu Maya..." Tangan kakarnya terulur, gemetar hebat, lalu berhenti di udara. Pak Karyo menelan ludah keras. "Saya... boleh pegang?" Maya mengangguk kaku. Jantungnya berdebar tak karuan. Dia, seorang senior manager yang terbiasa memerintah puluhan karyawan, kini hanya bisa menunggu perintah dari pembantunya sendiri. "Lingerie-nya bagus banget, Bu." Pak Karyo melangkah maju, arogansi baru tampak dalam gerakannya. Tangannya yang hitam legam menyentuh bahu telanjang Maya, membuat kontras yang mengejutkan antara kulit kasar gelap dengan kulit halus putih. "Kayak di film-film blue yang kadang saya lihat di HP." Maya tersentak. "Kamu nonton begituan?" Pak Karyo tersenyum miring, senyum yang tak pernah Maya lihat selama ini. "Di desa saya, Bu, cowok-cowok suka kumpul nonton bareng." Jemari kasarnya turun, menelusuri tali lingerie hitam di bahu Maya. Tiba-tiba Pak Karyo menarik Maya ke dalam pelukannya. Otot-otot kerasnya menekan tubuh Maya yang dibalut lingerie tipis. Aroma keringat bercampur sabun murah langsung menusuk hidung Maya. "Pak Karyo!" Maya mendorong dada bidang di hadapannya, tapi gerakannya lemah. "Bapak... keringetan banget." "Maaf, Bu," Pak Karyo melonggarkan pelukannya, tapi tangannya yang kasar tetap melingkari pinggang Maya dengan posesif. "Saya keringetan banyak gini karena... Bu Maya di depan saya... pake baju begini." Napasnya terengah, kemeja putih Marks & Spencer yang Maya belikan kini menempel di tubuhnya yang basah oleh keringat. "Badan saya panas semua... liat Bu Maya sedekat ini. Lingerie hitam begini... transparan lagi." Pak Karyo menelan ludah keras, matanya tak bisa lepas dari lekuk tubuh Maya yang terlihat jelas dari balik kain tipis itu. "Majikan saya... yang cantik... yang biasanya pake baju kerja rapi... sekarang cuma pake beginian di depan saya. Gimana saya nggak grogi? Nggak keringatan?" Tangannya yang gemetar bergerak menyentuh tali lingerie di bahu Maya. "Dari tadi jantung saya kayak mau keluar, Bu. Takut salah gerak... takut Bu Maya berubah pikiran." Maya mencoba menahan napas. Kemeja putih Marks & Spencer yang ia belikan kini basah oleh keringat, menempel pada tubuh berotot Pak Karyo. Campuran antara bau sabun murahan dan keringat kerja keras membuatnya ingin mundur, tapi tangan Pak Karyo masih melingkari pinggangnya. Pujian dengan logat medok itu entah mengapa membuat lutut Maya melemas. Ada sesuatu yang sangat primitif dalam cara Pak Karyo memandangnya - tatapan yang jauh berbeda dari pandangan hormat para kolega di kantornya. "Mungkin..." Maya menelan ludah, berusaha mengembalikan kontrol dalam suaranya. "Mendingan Pak Karyo mandi dulu deh?" Ia menunjuk ke arah kamar mandi. "Aku... aku udah siapin sabun khusus." Pak Karyo mengangguk patuh, mengambil handuk dan peralatan mandi yang Maya siapkan. Langkahnya berat menuju kamar mandi, seolah masih tidak percaya dengan situasi ini. Maya bisa mendengar suara gemerisik pakaian yang dilepas, diikuti suara shower yang dinyalakan. Maya duduk di tepi ranjang, jemarinya yang lentik memainkan ujung lingerie-nya dengan gelisah. Aroma sabun hotel mewah bercampur dengan wangi parfum Chanel-nya, menciptakan atmosfer yang entah mengapa membuatnya semakin gugup. Ponselnya bergetar - panggilan ketiga dari Irwan - tapi ia mengabaikannya.Pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi setelah ini, pada tangan-tangan kekar yang akan menyentuhnya, pada tubuh gelap berotot yang akan...
Dua jam berlalu, dan Maya telah kehilangan hitungan berapa kali Pak Karyo membuatnya orgasme. Setiap kali ia berpikir sudah selesai, jemari Pak Karyo akan menyentuhnya lagi, membangkitkan gairah yang ia kira sudah terpuaskan. "Pak Karyo..." Maya mendesah lemah, tubuhnya masih bergetar dari orgasme terakhir. Keringat membasahi kulit putihnya, rambut yang biasanya rapi kini lepek menempel di dahi. "Udah... aku udah nggak kuat lagi..." Napasnya pendek-pendek. Tubuhnya seperti habis lari maraton, tapi masih mendamba sentuhan itu. Tangannya gemetar saat mencoba mendorong dada berotot Pak Karyo, tapi dorongannya lemah, seperti basa-basi. "Belum kok, Bu," Pak Karyo berbisik serak. Tangannya yang kasar mengelus wajah Maya dengan kelembutan yang kontradiktif, sebelum turun ke leher, lalu payudaranya yang masih sensitif. "Saya masih pengen Bu Maya." Otot-otot lengan Pak Karyo yang gelap bergerak di bawah kulitnya saat ia bergeser, menekan tubuh Maya lebih dalam ke kasur. Tidak ada tanda
Belum selesai dengan gelombang keduanya, Maya merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggantikan jari-jari Pak Karyo. Matanya terbuka lebar saat menyadari Pak Karyo telah bergerak turun, wajahnya kini berada di antara kakinya. "Oh!" Maya terkesiap saat lidah kasar Pak Karyo menyentuhnya. Sensasi itu begitu intens hingga tubuhnya otomatis mencoba menjauh, tapi tangan kuat Pak Karyo menahannya tetap di tempat. "Pak... apa yang... ahh..." Maya tak mampu berpikir jernih. Lidah Pak Karyo bergerak dengan terampil, mencari titik-titik yang membuat tubuhnya menggeliat. Tangannya refleks mencengkeram rambut Pak Karyo, mendorongnya lebih dalam. Pak Karyo bergumam pelan, vibrasi suaranya mengirim gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh Maya. Kedua tangan kekarnya kini mengangkat paha Maya, membuatnya semakin terbuka dan tak berdaya. "Pak... Kar... ahh..." Maya meracau. Seorang eksekutif yang terbiasa mendikte orang lain, kini tak mampu membentuk satu kalimat utuh. Otaknya seperti melel
Suara shower berhenti. Maya menahan napas, jantungnya berdegup kencang mendengar langkah-langkah berat mendekat. Pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan kepulan uap hangat yang beraroma sabun mahal. "Ahh...." Maya berbisik tanpa sadar. Pak Karyo berdiri di ambang pintu, handuk putih hotel melilit rendah di pinggangnya. Air mengalir dari rambutnya yang hitam pekat, menetes turun melewati dada bidangnya yang berotot, mengikuti lekuk-lekuk keras yang terbentuk dari bertahun-tahun kerja fisik. Setiap tetes air yang meluncur di kulit gelapnya yang mengkilap membuat Maya semakin sulit bernapas. "Bu..." Suara Pak Karyo terdengar dalam dan serak. Maya bisa melihat bagaimana otot-otot di lehernya bergerak saat ia menelan ludah. "Boleh saya mendekat?" Maya mengangguk lemah, tubuhnya gemetar. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh basah Pak Karyo memenuhi ruangan, membuat kepalanya pusing. Ini bukan lagi aroma pekerja kasar yang biasa ia hindari. Wajahnya yang tegas dengan rahang
Di lobby hotel, Irwan memesan kopi ketiga. Tangannya yang biasa mantap menandatangani kontrak miliaran kini gemetar mengaduk minuman yang belum ia sentuh. Matanya menatap kosong ke arah lift, membayangkan apa yang terjadi di lantai atas.Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma prosedur medis aja - masuk, lakukan, keluar. Kayak donor darah atau check-up rutin. Tapi kenapa sudah lewat setengah jam dan belum ada kabar dari Maya? Maya berdiri di depan pintu suite, tangannya gemetar saat memasukkan key card. Suara klik pelan mengonfirmasi pintu terbuka, dan ia melangkah masuk dengan lutut yang nyaris goyah. Pak Karyo sudah menunggu di dalam, berdiri canggung di dekat jendela. Maya nyaris tersedak melihat penampilannya - kemeja putih yang ia belikan dari butik langganannya malah membuat Pak Karyo tampak semakin tidak pantas berada di suite mewah ini. Kulitnya yang gelap tampak kontras dengan kemeja putih itu. Wajahnya yang kusam tak terawat, dengan kecanggungan khas orang kampung, mem
Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka. "Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget. Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika ber
Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh. Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa. Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalin