Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka.
"Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget. Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika berani membocorkan rahasia. Bahkan ada klausul yang melarang kontak fisik di luar "prosedur yang ditentukan", dengan sanksi pidana yang mengerikan. "Yang..." Maya mengangkat wajahnya, menatap Irwan yang berdiri kaku di seberang meja. Ia mengerti sekarang - kontrak ini bukan sekadar perjanjian legal. Ini adalah rantai yang akan memastikan Pak Karyo tetap di tempatnya, selamanya hanya sebagai... alat. Di sudut dapur, Pak Karyo masih sibuk dengan piring-piring kotor, tapi Maya bisa melihat bahunya yang menegang. Pria itu pasti mendengar semuanya. "Lebih baik gini," Irwan menjawab datar, tangannya yang gemetar tersembunyi di balik punggung. "Biar semua... tetap di tempatnya." Maya mengangguk pelan, jemarinya membalik halaman berikutnya. Klausa tentang jadwal pertemuan yang harus disetujui Irwan. Larangan berkomunikasi langsung tanpa pengawasan. Bahkan ada pasal khusus yang mewajibkan Pak Karyo menjalani tes kesehatan mingguan - seolah ia tidak lebih dari seekor pejantan ternak. "Pak Karyo," Maya memanggil dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya. "Sini bentar?" Pak Karyo mendekat dengan langkah tenang, tangannya yang basah ia lap ke celemek lusuhnya. Maya mendongak, untuk pertama kalinya benar-benar memperhatikan pria yang akan... tidak, ia tidak sanggup melanjutkan pikiran itu. "Ini kontraknya, Pak. Harus ditandatangani," Maya berusaha terdengar profesional, seperti saat ia memimpin rapat dengan vendor. "Dibaca dulu ya." Pak Karyo mengambil dokumen itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia membacanya perlahan, sesekali mengernyitkan dahi pada istilah-istilah hukum yang tidak ia pahami. Maya menemukan dirinya memperhatikan jemari Pak Karyo yang kasar menggenggam kertas - jemari yang dalam beberapa hari akan... "Saya ngerti, Bu," suara Pak Karyo memecah lamunan Maya. "Tapi..." ia terdiam sejenak, matanya melirik sekilas ke arah Maya sebelum kembali menunduk. "Apa nggak kebanyakan uangnya?" "Udah, nggak usah dipikirin nominalnya," Irwan menyela cepat, menangkap kilatan aneh di mata pembantunya saat menatap Maya. "Yang penting Pak Karyo paham akibatnya kalo sampe ada yang tau." Pak Karyo mengangguk, mengambil pulpen yang disodorkan Maya. Tangannya sempat bersentuhan dengan jemari lentik majikannya, membuat Maya tersentak kecil. Irwan melihat semua itu dengan dada yang semakin sesak. Setelah kontrak ditandatangani, Maya semakin terobsesi dengan persiapan. Setiap pagi ia mengukur suhu tubuhnya dengan termometer digital khusus, mencatat setiap perubahan sekecil apapun di aplikasi di ponselnya. "Liat nih," Maya menunjukkan grafik di ponselnya pada Irwan suatu malam. "Kata aplikasi ini, masa suburku mulai minggu depan." Ada nada aneh dalam suaranya - campuran antara antisipasi dan kegugupan yang membuat Irwan semakin gelisah. "Kita harus booking hotel," Maya melanjutkan, jemarinya dengan cepat mengetik di ponselnya. "Ah, Ritz Carlton ada suite yang bagus." "Maya..." Irwan menatap layar yang menampilkan foto kamar mewah dengan king size bed dan pemandangan kota. "Apa nggak terlalu..." "Kalo mau ngelakuin ini, harus di tempat yang bener," Maya memotong tegas. Ia berbalik ke arah Pak Karyo yang sedang menyedot debu di sudut ruangan. "Pak Karyo, coba liat deh. Bagus kan?" Pak Karyo mendekat dengan ragu, matanya melebar melihat foto kamar hotel yang harganya mungkin setara dengan gajinya selama berbulan-bulan. Maya menunjukkan beberapa foto lain, jemarinya menggeser layar dengan antusias yang membuat Irwan semakin tidak nyaman. "Ini kamar mandinya, ada bathtub jacuzzi," Maya menjelaskan, seolah sedang memperkenalkan properti pada klien VIP. "Pak Karyo harus mandi yang bersih ya sebelum..." Suaranya menghilang, wajahnya mendadak merona menyadari apa yang baru saja ia katakan. Irwan melihat bagaimana Pak Karyo menelan ludah, matanya tidak lepas dari layar ponsel Maya - atau mungkin dari jemari lentik yang memegangnya. Ada sesuatu dalam cara pembantunya memandang yang membuat alarm berbunyi di kepala Irwan. "Saya permisi dulu, Bu," Pak Karyo mundur dengan canggung, kembali ke penyedot debunya. Tapi Irwan bisa melihat bagaimana pria itu sesekali melirik ke arah Maya yang masih sibuk dengan ponselnya, membicarakan detail booking kamar dengan nada yang terdengar seperti seorang wanita yang merencanakan kencan rahasia. Malam itu, Maya tidur dengan laptop menyala di sampingnya, membaca artikel-artikel tentang posisi yang paling efektif untuk pembuahan. Irwan berbaring dalam gelap, mendengarkan suara keyboard dan desah napas istrinya yang semakin memburu setiap kali membaca detail tertentu. Di lantai bawah, ia bisa mendengar Pak Karyo masih membereskan rumah - suara yang biasanya menenangkan kini terasa seperti countdown menuju sesuatu yang tidak bisa ia hentikan. Malam sebelumnya, Maya tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Irwan yang mendengkur halus, matanya menatap langit-langit kamar yang remang. Besok. Besok ia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan dalam hidupnya sebagai wanita karir sukses. Pagi harinya, sarapan berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Maya nyaris tidak menyentuh roti panggangnya, sementara Irwan berkali-kali mengaduk kopi yang sudah dingin. Pak Karyo, yang biasanya sibuk membereskan dapur, kini duduk kaku di meja makan atas permintaan Maya - "buat ngomongin detail terakhir," katanya. "Jadi gini," Maya berdeham, suaranya lebih tinggi dari biasanya. "Check-in mulai jam dua siang." Ia mengeluarkan amplop dari tas Hermesnya. "Nih kuncinya. Pak Karyo masuk duluan ya sore, nunggu di kamar. Saya... saya nyusul..." Pak Karyo mengangguk, tangannya yang kasar menerima amplop itu dengan gemetar. Maya tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana jemari gelap itu kontras dengan amplop putih hotel bintang lima. "Saya udah siapin baju ganti," Maya melanjutkan, menghindari tatapan kedua pria di hadapannya. "Ada di paper bag di kamar Pak Karyo. Tolong... dipake ya." Suaranya mengecil saat mengingat bagaimana ia memilih kemeja putih itu di butik langganannya - untuk pertama kalinya membeli baju pria yang bukan untuk Irwan. Pukul satu siang, Maya berdiri di depan lemari pakaiannya yang luas. Tangannya menyentuh deretan blazer dan rok yang biasa memberinya kepercayaan diri di kantor. Apa yang seharusnya dipakai seorang wanita karir saat akan... tidak, ia tidak sanggup melanjutkan pikiran itu. Akhirnya ia memilih setelan krem favoritnya - blazer dan rok yang selalu membuatnya merasa cantik dan berkuasa. Tapi kali ini, saat ia memakainya, rasanya seperti mengenakan kostum. Seperti sedang berpura-pura menjadi Maya yang biasanya. Pukul setengah dua, Pak Karyo berangkat duluan dengan taksi - tidak mungkin menggunakan mobil keluarga untuk hal seperti ini. Maya mengamati dari jendela kamar bagaimana pria itu berjalan ke gerbang komplek. Tubuhnya yang biasa membungkuk hormat kini tegap dalam kemeja putih baru, menenteng paper bag berisi pakaian ganti. "Aku anterin," Irwan berkata pelan, mengambil kunci mobil dari meja. Maya mengangguk, tidak mempercayai suaranya untuk berbicara. Perjalanan ke hotel berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan. Maya menatap kosong ke jalanan Jakarta yang macet, sementara Irwan mencengkeram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Ketika mobil mereka memasuki basement hotel, Maya merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. "Kamu tunggu di lobby aja," Maya berbisik, suaranya bergetar. "Aku... aku telepon ya kalo udah... kalo udah selesai." Irwan mengangguk kaku, memarkir mobilnya di spot terjauh dari lift. Maya turun dengan langkah yang ia harap terlihat mantap, meski lututnya gemetar hebat. Blazer kremnya yang biasa terasa pas kini seolah mencekik. Di lobby hotel, Irwan memesan kopi pertamanya. Ia duduk di sudut yang tersembunyi dari pandangan umum, berusaha menenangkan diri. Ia membayangkan prosedur ini akan berlangsung cepat dan klinis - masuk, lakukan, keluar. Seperti prosedur medis biasa. Tapi ketika setengah jam berlalu tanpa kabar dari Maya, kecemasannya mulai memuncak.Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m
Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m
Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre
Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p
Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.
Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada