Share

Bab 8

Penulis: Waterverri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 21:23:36

Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka.

"Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya.

Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget.

Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika berani membocorkan rahasia. Bahkan ada klausul yang melarang kontak fisik di luar "prosedur yang ditentukan", dengan sanksi pidana yang mengerikan.

"Yang..." Maya mengangkat wajahnya, menatap Irwan yang berdiri kaku di seberang meja. Ia mengerti sekarang - kontrak ini bukan sekadar perjanjian legal. Ini adalah rantai yang akan memastikan Pak Karyo tetap di tempatnya, selamanya hanya sebagai... alat.

Di sudut dapur, Pak Karyo masih sibuk dengan piring-piring kotor, tapi Maya bisa melihat bahunya yang menegang. Pria itu pasti mendengar semuanya.

"Lebih baik gini," Irwan menjawab datar, tangannya yang gemetar tersembunyi di balik punggung. "Biar semua... tetap di tempatnya."

Maya mengangguk pelan, jemarinya membalik halaman berikutnya. Klausa tentang jadwal pertemuan yang harus disetujui Irwan. Larangan berkomunikasi langsung tanpa pengawasan. Bahkan ada pasal khusus yang mewajibkan Pak Karyo menjalani tes kesehatan mingguan - seolah ia tidak lebih dari seekor pejantan ternak.

"Pak Karyo," Maya memanggil dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya. "Sini bentar?"

Pak Karyo mendekat dengan langkah tenang, tangannya yang basah ia lap ke celemek lusuhnya. Maya mendongak, untuk pertama kalinya benar-benar memperhatikan pria yang akan... tidak, ia tidak sanggup melanjutkan pikiran itu.

"Ini kontraknya, Pak. Harus ditandatangani," Maya berusaha terdengar profesional, seperti saat ia memimpin rapat dengan vendor. "Dibaca dulu ya."

Pak Karyo mengambil dokumen itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia membacanya perlahan, sesekali mengernyitkan dahi pada istilah-istilah hukum yang tidak ia pahami. Maya menemukan dirinya memperhatikan jemari Pak Karyo yang kasar menggenggam kertas - jemari yang dalam beberapa hari akan...

"Saya ngerti, Bu," suara Pak Karyo memecah lamunan Maya. "Tapi..." ia terdiam sejenak, matanya melirik sekilas ke arah Maya sebelum kembali menunduk. "Apa nggak kebanyakan uangnya?"

"Udah, nggak usah dipikirin nominalnya," Irwan menyela cepat, menangkap kilatan aneh di mata pembantunya saat menatap Maya. "Yang penting Pak Karyo paham akibatnya kalo sampe ada yang tau."

Pak Karyo mengangguk, mengambil pulpen yang disodorkan Maya. Tangannya sempat bersentuhan dengan jemari lentik majikannya, membuat Maya tersentak kecil. Irwan melihat semua itu dengan dada yang semakin sesak.

Setelah kontrak ditandatangani, Maya semakin terobsesi dengan persiapan. Setiap pagi ia mengukur suhu tubuhnya dengan termometer digital khusus, mencatat setiap perubahan sekecil apapun di aplikasi di ponselnya.

"Liat nih," Maya menunjukkan grafik di ponselnya pada Irwan suatu malam. "Kata aplikasi ini, masa suburku mulai minggu depan." Ada nada aneh dalam suaranya - campuran antara antisipasi dan kegugupan yang membuat Irwan semakin gelisah.

"Kita harus booking hotel," Maya melanjutkan, jemarinya dengan cepat mengetik di ponselnya. "Ah, Ritz Carlton ada suite yang bagus."

"Maya..." Irwan menatap layar yang menampilkan foto kamar mewah dengan king size bed dan pemandangan kota. "Apa nggak terlalu..."

"Kalo mau ngelakuin ini, harus di tempat yang bener," Maya memotong tegas. Ia berbalik ke arah Pak Karyo yang sedang menyedot debu di sudut ruangan. "Pak Karyo, coba liat deh. Bagus kan?"

Pak Karyo mendekat dengan ragu, matanya melebar melihat foto kamar hotel yang harganya mungkin setara dengan gajinya selama berbulan-bulan. Maya menunjukkan beberapa foto lain, jemarinya menggeser layar dengan antusias yang membuat Irwan semakin tidak nyaman.

"Ini kamar mandinya, ada bathtub jacuzzi," Maya menjelaskan, seolah sedang memperkenalkan properti pada klien VIP. "Pak Karyo harus mandi yang bersih ya sebelum..." Suaranya menghilang, wajahnya mendadak merona menyadari apa yang baru saja ia katakan.

Irwan melihat bagaimana Pak Karyo menelan ludah, matanya tidak lepas dari layar ponsel Maya - atau mungkin dari jemari lentik yang memegangnya. Ada sesuatu dalam cara pembantunya memandang yang membuat alarm berbunyi di kepala Irwan.

"Saya permisi dulu, Bu," Pak Karyo mundur dengan canggung, kembali ke penyedot debunya. Tapi Irwan bisa melihat bagaimana pria itu sesekali melirik ke arah Maya yang masih sibuk dengan ponselnya, membicarakan detail booking kamar dengan nada yang terdengar seperti seorang wanita yang merencanakan kencan rahasia.

Malam itu, Maya tidur dengan laptop menyala di sampingnya, membaca artikel-artikel tentang posisi yang paling efektif untuk pembuahan. Irwan berbaring dalam gelap, mendengarkan suara keyboard dan desah napas istrinya yang semakin memburu setiap kali membaca detail tertentu.

Di lantai bawah, ia bisa mendengar Pak Karyo masih membereskan rumah - suara yang biasanya menenangkan kini terasa seperti countdown menuju sesuatu yang tidak bisa ia hentikan.

Malam sebelumnya, Maya tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Irwan yang mendengkur halus, matanya menatap langit-langit kamar yang remang. Besok. Besok ia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan dalam hidupnya sebagai wanita karir sukses.

Pagi harinya, sarapan berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Maya nyaris tidak menyentuh roti panggangnya, sementara Irwan berkali-kali mengaduk kopi yang sudah dingin. Pak Karyo, yang biasanya sibuk membereskan dapur, kini duduk kaku di meja makan atas permintaan Maya - "buat ngomongin detail terakhir," katanya.

"Jadi gini," Maya berdeham, suaranya lebih tinggi dari biasanya. "Check-in mulai jam dua siang." Ia mengeluarkan amplop dari tas Hermesnya. "Nih kuncinya. Pak Karyo masuk duluan ya sore, nunggu di kamar. Saya... saya nyusul..."

Pak Karyo mengangguk, tangannya yang kasar menerima amplop itu dengan gemetar. Maya tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana jemari gelap itu kontras dengan amplop putih hotel bintang lima.

"Saya udah siapin baju ganti," Maya melanjutkan, menghindari tatapan kedua pria di hadapannya. "Ada di paper bag di kamar Pak Karyo. Tolong... dipake ya." Suaranya mengecil saat mengingat bagaimana ia memilih kemeja putih itu di butik langganannya - untuk pertama kalinya membeli baju pria yang bukan untuk Irwan.

Pukul satu siang, Maya berdiri di depan lemari pakaiannya yang luas. Tangannya menyentuh deretan blazer dan rok yang biasa memberinya kepercayaan diri di kantor. Apa yang seharusnya dipakai seorang wanita karir saat akan... tidak, ia tidak sanggup melanjutkan pikiran itu.

Akhirnya ia memilih setelan krem favoritnya - blazer dan rok yang selalu membuatnya merasa cantik dan berkuasa. Tapi kali ini, saat ia memakainya, rasanya seperti mengenakan kostum. Seperti sedang berpura-pura menjadi Maya yang biasanya.

Pukul setengah dua, Pak Karyo berangkat duluan dengan taksi - tidak mungkin menggunakan mobil keluarga untuk hal seperti ini. Maya mengamati dari jendela kamar bagaimana pria itu berjalan ke gerbang komplek. Tubuhnya yang biasa membungkuk hormat kini tegap dalam kemeja putih baru, menenteng paper bag berisi pakaian ganti.

"Aku anterin," Irwan berkata pelan, mengambil kunci mobil dari meja. Maya mengangguk, tidak mempercayai suaranya untuk berbicara.

Perjalanan ke hotel berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan. Maya menatap kosong ke jalanan Jakarta yang macet, sementara Irwan mencengkeram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Ketika mobil mereka memasuki basement hotel, Maya merasakan jantungnya berdebar semakin kencang.

"Kamu tunggu di lobby aja," Maya berbisik, suaranya bergetar. "Aku... aku telepon ya kalo udah... kalo udah selesai."

Irwan mengangguk kaku, memarkir mobilnya di spot terjauh dari lift. Maya turun dengan langkah yang ia harap terlihat mantap, meski lututnya gemetar hebat. Blazer kremnya yang biasa terasa pas kini seolah mencekik.

Di lobby hotel, Irwan memesan kopi pertamanya. Ia duduk di sudut yang tersembunyi dari pandangan umum, berusaha menenangkan diri. Ia membayangkan prosedur ini akan berlangsung cepat dan klinis - masuk, lakukan, keluar. Seperti prosedur medis biasa. Tapi ketika setengah jam berlalu tanpa kabar dari Maya, kecemasannya mulai memuncak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Dewi Syahrun
iya bener sy aja bingung bacax,,bab seblmx katax donor sperma tnpa bersentuhan tpi ini malah siapin kamar hotel,,segtu antusiasx berzina hanyq krn pengen punya anak tanpa memikirkan perasaan suami,,mending cerai dlu bru nikah sm tukang kebun ...
goodnovel comment avatar
MamaZa
kan ada teknologi yg bisa donor tanpa kontak fisik...ni gmn sih??
goodnovel comment avatar
Fifi Yunani
gk sabar lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 339

    Selasa sore, Maya pulang kerja lebih awal. Dia menemukan Pak Karyo sedang menyiram tanaman di halaman depan."Selamat sore, Bu," sapanya formal karena ada tetangga yang lewat."Sore, Pak," balas Maya, tersenyum kecil.Di dalam rumah, begitu pintu tertutup, Pak Karyo langsung mengubah sikapnya."Ibu pulang cepat?" tanyanya, suaranya lebih rendah, mata awasnya menelusuri tubuh Maya dari atas ke bawah."Iya," Maya menjawab pelan, melepas sepatu hak tingginya.Pak Karyo mendekat perlahan, tapi tetap menjaga jarak aman. "Kapan Bapak pulang?""Nggak tau pasti," Maya berbisik, jantungnya mulai berdebar kencang. "Biasanya sih masih setengah jam lagi, tapi kadang dia suka lebih cepet kalo nggak macet."Mata Pak Karyo berkilat—campuran hasrat dan kewaspadaan. "Kalau gitu kita harus hati-hati," bisiknya, sembari memastikan jendela depan tetap terbuka agar bisa mendengar suara

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 338

    Selasa siang.Saat jam istirahat tiba, ponsel Irwan bergetar pelan di atas meja kerjanya.Dia melirik layar. Pesan masuk dari Maya.Jantungnya langsung berdegup lebih cepat—antisipasi bercampur dengan sedikit ketakutan yang aneh. Maya jarang mengirim pesan di tengah hari kerja, kecuali ada sesuatu yang penting. Naluri dalam dirinya tahu: ini pasti tentang apa yang terjadi pagi tadi setelah dia berangkat.Irwan membuka aplikasi pesan dengan tangan yang sedikit gemetar.Pesan pertama dari Maya: "Wan, tadi setelah kamu pergi... Pak Karyo lagi-lagi berani. Dia... menyentuh aku di meja makan."Irwan menarik napas dalam. Matanya menyipit membaca kata-kata itu.Maya melanjutkan dengan detail singkat tapi cukup untuk membuat imajinasi Irwan berlari liar: "Aku coba tahan, tapi tubuhku bereaksi. Akhirnya... aku orgasme di sana. Maaf, aku nggak bisa nahan. Kamu marah nggak?"

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 337

    Selasa pagi, rutinitas sarapan terasa berbeda. Irwan sengaja duduk lebih lama di meja makan, memperhatikan interaksi Maya dan Pak Karyo. Maya tampak gugup saat Pak Karyo menuangkan teh untuknya, tangan mereka bersentuhan sekilas."Hari ini pulang jam berapa?" tanya Irwan santai."Seperti biasa," jawab Maya. "Kenapa?""Nggak apa-apa," Irwan tersenyum. "Cuma mau tau aja."Setelah Irwan berangkat, Pak Karyo langsung menghampiri Maya yang masih duduk di meja makan."Ibu belum berangkat?" tanyanya, berdiri sangat dekat."Sebentar lagi," Maya menjawab, tidak beranjak.Pak Karyo duduk di kursi sebelah Maya, tangannya perlahan menyentuh paha Maya di bawah meja. "Masih ada waktu sebentar..."bisiknya dengan suara berat.Maya menelan ludah, melirik jam dinding. Dia memang masih punya sekitar lima belas menit sebelum benar-benar harus berangkat. "Pak Karyo..." suaranya b

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 336

    Di kantor, Maya tidak bisa berkonsentrasi. Ponselnya bergetar dengan pesan masuk:"Ibu masih kepikiran yang tadi pagi? Saya juga."Maya menggigit bibir, ragu untuk membalas. Akhirnya dia mengetik:"Pak Karyo, kita harus lebih hati-hati."Balasan datang segera:"Tapi Ibu suka kan? Saya bisa lihat dari gerakan Ibu."Maya memerah membaca pesan itu. Dia membalas:"Pak Karyo, saya mohon jangan bicara seperti itu. Saya masih istri Irwan."Balasannya datang cepat:"Tapi tubuh Ibu bilang lain tadi. Saya lihat sendiri."Maya menggigit bibir, jemarinya gemetar di atas layar ponsel. Dia harus menghentikan ini, tapi ada bagian dari dirinya yang tidak ingin berhenti."Itu... itu cuma reaksi fisik. Tidak berarti apa-apa.""Kalau tidak berarti apa-apa, kenapa Ibu masih balas chat saya?

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 335

    "Jadi, gimana sekarang?" tanya Maya pelan, menarik selimut hingga ke dadanya.Kamar utama terasa hangat meski AC menyala. Mereka baru saja selesai mandi setelah makan malam dan pembicaraan di mobil. Irwan duduk bersandar di kepala tempat tidur, tablet di tangannya, sementara Maya berbaring miring menghadapnya."Maksudnya?" Irwan mengalihkan pandangan dari tabletnya."Kita udah ngobrol banyak di mobil," Maya memperjelas. "Tapi aku masih belum jelas apa yang sebenarnya kamu mau. Tadi pagi kamu panik lihat Pak Karyo 'berani' sama aku. Tapi sekarang, setelah terapi, kayaknya kamu malah mendorong..."Irwan meletakkan tabletnya, menatap Maya serius. "Oke, aku jelasin. Tadi pagi aku belum... siap. Aku masih bingung sama perasaanku sendiri. Tapi sekarang..." Dia menghela napas. "Sekarang aku udah mantap.""Mantap gimana?""Aku udah bilang ke kamu, kan? Aku punya... preferensi ini." Irwan menggenggam

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 334

    Irwan terdiam, seolah sedang memproses informasi baru ini dengan cermat. Di balik ekspresi netralnya, otaknya berputar, menganalisis setiap detail pengakuan Maya, memasukkannya ke dalam perhitungan eksperimennya."Nggak apa-apa," Irwan akhirnya berkata, suaranya tenang. "Itu mungkin bagian alami dari... perkembangan dinamika kita. Selama kamu jujur sama aku, selama kita tetap saling terbuka..."Maya tampak sedikit terkejut dengan respons Irwan yang santai. "Jadi... kamu nggak keberatan kalau aku... kalau kami...""Yang penting kamu tetap pulang ke aku," potong Irwan, tangannya meraih tangan Maya dan meremasnya lembut. "Yang penting kita tetap saling jujur."Maya menatap Irwan dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara lega, bingung, dan sedikit curiga. Seolah dia merasa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dari respons Irwan, tapi tidak bisa menunjukkan tepatnya apa.Mobil akhirnya memas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status