Home / Rumah Tangga / Kerah Baju Bernoda Merah / 7. Tidak Sudi Disentuh

Share

7. Tidak Sudi Disentuh

Author: Nana Rose
last update Huling Na-update: 2023-03-01 23:09:21

"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.

Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap.

"Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.

Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang.

"Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu.

"Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di luar sana," ujar Rani meremas tangan cukup kencang.

Rani tidak sadar sudah cukup lama berdiam sendiri melamun di ruang tamu. Adi membuat pelan langkah kakinya saat menuruni tangga. Sengaja berpura-pura tidak melihat sosok Rani di depan matanya.

"Mas Adi? Ternyata dia belum tidur. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini." Rani menggelengkan kepala pelan.

Rani berjalan seperti biasa mendekati Adi. Menunduk cukup dalam sambil memainkan jari kuku. Adi sedikit melirik lalu kembali menutup pintu lemari es.

"Mas Adi!" Terdengar suara dari belakang punggung Adi.

Adi menoleh perlahan menatap wajah istri yang masih nampak sedih. Untuk yang kedua kalinya Adi merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, menahan agar bibir tidak bertanya.

"Iya, ada apa?" jawab Adi seraya memalingkan wajah.

"Aku mau pulang ke Solo. Kasihan kalau Bapak terlalu lama sendiri," ucap Rani tanpa menoleh ke Adi.

"Harus malam ini? Kamu lihat jam itu! Sudah jam berapa sekarang? Aku tidak mungkin membiarkan istriku sendiri di jam rawan seperti ini," kata Adi dengan tersenyum manis. Namun, tidak munafik hari kecil sedikit khawatir.

Rani menoleh ke arah jam dinding yang sangat besar di ruang tengah. Adi juga ikut menoleh sambil memerhatikan wajah istrinya.

"Jadi pulang ke Solo?" Adi memastikan kembali.

"Besok saja."

Rani membalikkan badan berjalan kembali ke ruang tamu. Pikiran menjadi semakin kalut karena tidak bisa membayangkan tidur seranjang dengan Adi.

"Ya Allah, apa ada wanita selain aku yang tidak ingin disentuh oleh suaminya sendiri," batin Rani merasa semakin sesak dan sesak sekali.

Tangan Rani bergetar saat akan mengambil dua tas di atas lantai. Tidak sadar jika ada suami yang mengawasi tiap jengkal gerak geriknya. Mengambil napas sangat dalam tetapi tidak kuat dan hampir terjatuh.

"Rani!" teriak Adi berlari menghampiri istrinya.

Sigap sekali tangan Adi menopang tubuh Rani. Mata berkunang-kunang dan mulai kabur. Rani memegang kening yang mulai berdenyut. Kepala serasa mau pecah.

"Sayang, kamu tidak apa-apa? Ayo, kita ke rumah sakit!" ajak Adi masih menahan berat badan Rani.

Rani berusaha membuka mata. Sedikit demi sedikit mulai dapat melihat dengan jelas. Pertama yang ia lihat adalah wajah Adi. Mereka bertatapan hanya dalam jarak sejengkal saja.

Jantung Rani berdebar sangat kencang diiringi napas yang memburu. Aroma napas Adi terasa sangat dingin. Adi tanpa berkedip menatap istrinya.

"Rani, aku akui kamu memang cantik. Wajahmu manis, anggun, dan pria mana yang bisa menolak pesona kecantikanmu," batin Adi tanpa sadar mengembangkan senyuman di wajah.

"Aku tidak apa-apa, Mas."

Rani segera berdiri dan merapikan jilbab. Menahan sekuat tenaga agar tetap terlihat kuat di depan Adi. Menenteng dua tas besar sendiri menaiki tangga perlahan.

"Sudah, biar aku saja! Kamu nanti malah tambah sakit."

Rani hanya bisa diam tanpa berkata. Pasrah melihat Adi membawa dua tas besar miliknya. Langkah Adi agak cepat menaiki tangga demi tangga.

"Apa yang membuat istriku sangat berbeda?" Adi menoleh ke belakang.

Tanpa sengaja mereka kembali bertatapan. Wajah Rani menjadi lebih merah dan salah tingkah. Terlihat sangat gusar dan sesekali melirik ke muka Adi.

"Astagfirullah, rasanya kesal sekali melihat wajah Mas Adi. Aku teringat noda merah itu lagi," batin Rani berlalu dengan kasar.

Adi menarik napas panjang seraya menggelengkan kepala. Mengayunkan kaki lagi naik ke lantai atas. Masuk ke dalam kamar dengan sedikit lesu. Masih memikirkan sikap Rani.

"Aku ingin sekali pulang. Aku tidak bisa terus begini. Aku takut sekali," lirih Rani sekuat tenaga menahan tetesan air mata.

"Kalau aku pulang mungkin Bapak tidak akan curiga. Tetapi, pasti makin lama tahu kalau aku dan Mas Adi saling diam," lanjut Rani semakin galau.

"Rani, apa aku boleh nyentuh kamu?" Adi memegang pundak Rani dari belakang.

"Mas Adi!" teriak Rani.

Adi semakin kaget melihat istrinya yang terlihat jijik saat ia sentuh. Adi mengamati dua tangan berulang kali dan memastikan tidak ada kotoran di tangannya.

"Aku sekotor itukah?" Adi menaikkan nada bicara. Rani sedikit tersentak lalu kembali menatap Adi penuh tatapan kebencian.

Wajah Adi sudah nampak lelah dan pasrah. Memalingkan muka kesal menghadapi istrinya. Jika tidak malu mungkin sudah banyak mengeluarkan air mata.

Ranie nyelonong begitu saja dan acuh sekali. Meninggalkan suami di lantai bawah sendiri. Bergelut dengan rasa penasaran dan kesal yang semakin membuncah.

"Rani! Rani! Rani!" teriak Adi kencang mengejar istrinya.

Rani sedikit menoleh ke belakang. Terlihat Adi mengejar dari belakang. Menapaki anak tangga berusaha menyusul Rani. Langkah Rani semakin cepat hingga hampir terjatuh. Kaki tersandung salah satu anak tangga.

"Astagfirullah!"

"Rani! Tunggu!"

Rani menahan kaki perih segera berlari menutup pintu kamar tidur. Adi hampir menabrak pintu. Emosi Adi sudah susah untuk dikendalikan. Berulang kali mengetuk pintu kamar. Namun, Rani hanya diam sambil merintih kesakitan.

"Rani! Buka pintunya! Kamu jangan macam-macam sama saya!" Adi berteriak kencang memasang posisi mendobrak pintu.

"Ya Allah, aku takut sekali. Aku sudah tidak kuat lagi menahan pintu ini," lirih Rani diiringi keringat dingin mengucur deras.

Rani berjalan menjauh dari pintu dan dalam hitungan detik Adi berhasil mendobrak pintu hingga sedikit rusak. Rani berteriak ketakutan.

"Rani, jangan paksa aku untuk melakukan semua ini! Kita baru saja menikah, Ran! Jangan jadikan aku suami yang durhaka!" teriak Adi tepat di depan muka Rani.

"Lepas! Jangan sentuh aku! Singkirkan tanganmu dari wajahku!"

"Apa?" Adi sangat terkejut mendengar perkataan yang keluar enteng dari mulut Rani.

Rani memejamkan mata perlahan sambil menangis sesenggukan. Adi semakin bingung dan merasa aneh dengan sikap Rani.

"Rani, aku ini suamimu! Kamu jangan menolak sentuhan ku!" Adi berteriak kencang sambil meremas rambut sangat kesal dan seperti orang yang hampir depresi.

"Aku tidak mau kamu sentuh!"

"Jangan gila kamu, Ran! Kita sudah menikah!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kerah Baju Bernoda Merah   60. Jarang Pulang

    Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel

  • Kerah Baju Bernoda Merah   59. Kenapa Berubah Lagi?

    Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb

  • Kerah Baju Bernoda Merah   58. Sebuah Pelukan

    "Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se

  • Kerah Baju Bernoda Merah   57. Masih Bertahan

    Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit

  • Kerah Baju Bernoda Merah   56. Masa Pendekatan

    Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam

  • Kerah Baju Bernoda Merah   55. Mulut Manis Citra

    Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be

  • Kerah Baju Bernoda Merah   54. Suami Kasar

    "Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me

  • Kerah Baju Bernoda Merah   53. Bujuk Rayu

    Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan

  • Kerah Baju Bernoda Merah   52. Susah Lepas

    Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status