Sasikirana
Bang Vian menyangkal tuduhan yang diarahkan barusan. Entah kenapa aku yakin dia mulai jatuh cinta kepadaku. Logikanya nggak mungkin suamiku bereaksi kayak tadi waktu lihat Kak Joko berdiri di depanku. Ditambah lagi statement yang mengatakan harus pergi dengannya.
Ya, walau nggak pernah pacaran lama tapi aku cukup tahu gelagat pria. Menurut cerita teman-teman di tempat kerja, makhluk bernama laki-laki itu suka gengsi mengakui perasaan. Padahal tanda-tandanya sudah jelas. Masih ingat gimana reaksi Bang Vian waktu tahu aku baru saja bertemu dengan teman laki-laki. Gusar banget tuh tampangnya walau tetap sok jaim.
“Ngapain sih kamu sering dipanggil sama
MelvianoBegitu tiba di depan tempat Sasi duduk. Aku berbicara sebentar dengan Michael. Sebisa mungkin diberikan kode kepada istriku agar dia bisa keluar terlebih dahulu, namun tidak digubris.“Mengenai operasional, saya rasa kita bisa berdiskusi lagi besok after lunch, Pak,” kata Michael memecahkan konsentrasiku.Pandangan ini kembali beralih kepada Sasi yang sedang termenung menatap layar monitor. Dia sedang memikirkan apa?“Oh iya, Pak. Besok info saja dengan Vidya, biar dia yang arrange schedule. Kemungkinan saya besok akan ke kantor pusat sebentar pagi-pagi,” tanggapku melihat Michael sekilas.
Sasikirana“Apa maksud kamu, Dek?” cetus Bang Vian ketika mobil berhenti mendadak.Beruntung aku mengenakan sabuk pengaman, sehingga aman dari benturan ketika Bang Vian menginjak rem tiba-tiba.“Emang saya barusan ngomong apa ya, Bang?” Aku tersenyum aneh.Bang Vian kembali menginjak gas ketika gerbang dibuka oleh petugas. Mobil menepi setelah berada di luar area gedung. Dia membuka sabuk pengaman, kemudian memutar tubuh sedikit menghadapku. Mampus, suamiku curiga.Lagian ini mulut kenapa sih bisa ngomong kayak tadi? Bisa fatal nih akibatnya.“Tadi kamu bilang Kalila marah setiap kali bertemu dengan Vidya. Apa itu maksudnya? Apa kamu pernah berjumpa dengan Kalila sebelumny
Melviano Sasi bisa melihat makhluk halus? Lelucon apa yang sedang dilontarkannya sekarang? Aku benar-benar tidak percaya dengan hal semacam itu. Menurutku arwah orang yang sudah meninggal tidak akan lagi tinggal di dunia. Mereka semua sudah pergi ke tempat semestinya. “Abang nggak percaya, ‘kan?” lirihnya menundukkan kepala. “Udah saya duga Abang pasti nggak percaya.” Dia mendesah pelan sambil memegang pinggir tempat tidur. “Nggak ada orang di dunia ini yang bisa melihat makhluk halus, Dek,” tanggapku kemudian. “Mereka juga nggak ada.” Sasi menaikkan pandangan dan menatapku lekat. “Ada, Bang! Buktinya saya. Saya bisa merasakan dan melihat kehadiran mereka sejak usia sepuluh tahun.” Sesaat kemudia
SasikiranaSusah banget bikin Bang Vian percaya kalau aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Orang seperti dirinya selalu mengedepankan logika, sehingga menyebut kelebihanku ini hal yang nggak masuk di akal. Hufh!Beruntung Papa Stanley masih ada di ruang kerja. Aku bisa membuktikan kepadanya apa yang baru saja dikatakan bukan bualan belaka.“Gimana? Abang udah percaya?” tanyaku keesokan pagi.Setelah berada di ruang kerja, Bang Vian lebih banyak diam sampai kami tertidur. Mungkin dia sedang menelaah apa yang kusampaikan tadi malam. Apalagi menurut cerita Papa Stanley, kejadian tersebut hanya diketahui mereka berdua. Itulah satu-satunya cara untuk meyakinkan suamiku, agar percaya dengan apa yang kukatakan.Bang Vian berhenti mema
MelvianoKenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus benar-benar mengejutkan. Awalnya aku tidak percaya sampai dia menceritakan aib di masa kecilku yang hanya diketahui Papa.Ternyata kemampuan melihat makhluk astral itu juga menjadi alasan, kenapa dia diusir dari keluarganya. Ah, nasibnya sungguh tragis. Kehilangan Ibu sejak masih bayi, setelah sang Ayah meninggal, Sasi juga diusir oleh keluarga sendiri.Aku terdiam dalam waktu yang lama, larut dengan pikiran sendiri. Apakah harus menceritakan tentang Kalila dan Vidya kepadanya atau tidak? Mungkinkah Sasi pernah bertemu dengan roh Kalila?“Dek.” Aku memalingkan paras kepadanya.“Kenapa, Ba
SasikiranaEntah kenapa tiba-tiba dada terasa sedikit sesak ketika bertemu dengan wanita anggun yang berdiri di samping paman Bang Vian. Bulir bening tiba-tiba menetes di pipi begitu saja tanpa permisi. Diri ini tertegun ketika netra cokelat kehijauan kami bertemu beberapa saat.“Kamu nggak apa-apa, Dek?” tegur Bang Vian menyentakkan.Kepala ini langsung menoleh kepadanya seiringan dengan jari bergerak menyeka air mata. Sebuah senyum tipis terukir di bibirku.“Nggak kenapa-napa kok, Bang,” sahutku segera.“Oya, perkenalkan ini Om Jhonny, adik Papa. Ini istriku, Om. Namanya Sasikirana,” ujar Bang Vian memperkenalkan kami.Tangan ini terulur ke depan disambut oleh pria
MelvianoRoh di dalam tubuh Tante Diana? Yang benar saja. Itu tidak mungkin terjadi.“Jangan ngawur ah, Dek. Setahu saya, Tante Diana nggak kayak kamu deh,” ujarku dengan tangan masih berada di pinggang Sasi.Dia melihat ke plafon beberapa detik sebelum turun dari pangkuanku. “Mungkin saya salah lihat kali ya.”Aku mengangguk setuju. Bisa jadi dia salah lihat. Setahuku Tante Diana tidak memiliki kemampuan seperti Sasi. Mereka dulu pernah tinggal di rumah selama dua tahun sebelum pindah ke New York. Selama itu juga tidak ada yang mencurigakan dari beliau.“Kamu mau ke rumah Mbak Nisa sekarang nggak?” tawarku mengerling kepada Sasi yang tampak masih bingung.“Eh?
Sasikirana“Kamu pernah bertemu Kalila, Sasi?” tanya Bang Vian membuatku menelan ludah.Kalila melihatku dengan mata melotot sambil menggelengkan kepala. Dia menempelkan ujung jari telunjuk di bibir, memintaku untuk tutup mulut.Aku menggeleng dengan cepat sambil menggoyangkan kedua tangan di depan. “Nggak. Belum.”“Trus tadi kamu bilang Kalila marah saat bertemu Vidya,” kejar Bang Vian nggak mudah percaya begitu saja.“Oh itu. Saya asal ngomong aja, Bang. Kayaknya sih Mbak Kalila marah sama Mbak Vidya.” Aku tertawa aneh di ujung kalimat.Suasana menjadi hening saat Bang Vian nggak bicara lagi. Sekarang aku penasaran gimana Kalila meninggal? Kalau dilihat