Share

08 - Gerilya

Author: Rytíř
last update Last Updated: 2022-03-21 06:54:56

Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka.

“Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.

“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya.

“Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.

“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya.

“Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.

Mendengar penjelasannya itu, Mergo menjadi terdiam tak bisa berkata apa-apa. Begitu juga dengan keempat rekannya yang lain, seperti paham dengan kondisi Rangkahasa tersebut.

“Benar juga, Mergo,” ujar salah seorang rekannya yang bernama Yasa.

“Andai kita pergi sore tadi mungkin kita bisa meninggalkan Rangkahasa di sini. Tapi hari sudah malam, dan kita mungkin akan lama di luar sana. Kau pasti tahu, kau tak bisa meninggalkan Rangkahasa malam-malam,” jelasnya.

“Baiklah!” jawab Mergo.

“Tapi berjanjilah, kau tidak boleh terlalu bernafsu dan sembrono seperti yang biasa kau lakukan saat peperangan. Kita ke sana bukan untuk berperang,” jelas Mergo pada Rangkahasa.

Mendengar jawaban itu, Rangkahasa langsung memacu larinya bergegas mengambil senjata dan jubah lusuhnya. Setelah itu, pergilah mereka berenam menuju ke arah selatan dengan berjalan kaki.

Mereka berangkat diam-diam di antara semak-semak, jauh dari jalan utama untuk menghindari kecurigaan dari mata-mata yang mungkin saja mengintai.

Setelah beberapa lama melakukan perjalanan, sampailah mereka di salah satu tebing di dekat pantai. Dari sana mereka mencoba mengamati posisi-posisi penjaga yang patroli, serta susunan perkemahan dari prajurit musuh.

“Apa rencana kita, Mergo?” tanya Yasa.

“Kita tidak mungkin sekadar membuat keributan saja. Kalau tahu ini hanya keributan kecil, itu tidak akan mencegah mereka jika memang ingin menyerang besok,” jelasnya.

“Yah, setidaknya kita akan pulang membawa kepala satu orang pimpinan mereka,” jawab Mergo.

“Untuk itu, kalian berlima alihkan perhatian mereka.”

“Apa kau tahu di mana pimpinannya?” tanya Rangkahasa.

“Aku sudah mengintai mereka sore tadi,” jawab Mergo.

“Rangkahasa, kamu ikut saja dengan mereka. Biar aku lakukan ini sendiri.”

“Tapi Mergo...” jawab Rangkahasa nampak keberatan jika harus berpisah dari pimpinannya tersebut. 

Namun Mergo langsung menepuk bahu Rangkahasa, berusaha menghilangkan kekhawatirannya itu.

“Tidak apa-apa. Justru bagus kalau mereka datang lagi mengganggumu,” jelas Mergo dengan sedikit senyum.

Setelah itu, Mergo berpisah dari teman-temannya. Dia menuruni tebing itu sendirian mengendap-endap di kegelapan. Setelah dia memastikan tak ada siapa-siapa di sana, Mergo memberikan kode pada teman-temannya untuk ikut turun.

Namun setelah itu dia langsung pergi tanpa menunggu mereka menyusulnya. Mergo langsung bergerak ke arah kanan, sementara teman-temannya pergi ke arah kiri.

Dari semak-semak itu, Yasa menyiapkan satu panah yang ujungnya berapi, dan menembakkannya ke salah satu tenda. Anak panah itu menyulut kebakaran, serta menyulut kepanikan di antara prajurit yang berjaga.

“Sekarang saatnya, kalian keluarlah!” seru Yasa sang pemanah tersebut.

Baru setelah itu keempat orang lainnya keluar, berteriak keras-keras sengaja memancing keributan. Sementara Yasa si pemanah sedikit menjaga jarak dari mereka.

Tidak semua prajurit yang keluar karena tahu yang menyerang hanya lima orang. Sementara itu, sebagian dari prajurit yang berpatroli masih sibuk memadamkan api.

Setelah berhasil membunuh beberapa orang prajurit, kelima orang itu berlagak seperti terdesak mundur. Secara bertahap mereka memancing prajurit-prajurit musuh menjauhi perkemahan tersebut menuju tepi hutan.

Meski sudah berhasil memancing perhatian begitu banyak prajurit, mereka sadar bahwa ternyata masih terlalu banyak prajurit lain yang bersiaga di perkemahan.

“Yasa, apa rencana ini akan berhasil?” tanya Rangkahasa.

“Jangan pikirkan itu!” bentaknya.

“Jika kau sudah ikut, lakukan saja sesuai perintah Mergo,” jelas rekannya itu.

Orang yang bernama Yasa itu kembali memilih menjauhi pertempuran. Hal itu cukup wajar karena dia adalah seorang ahli pemanah. Dia butuh ruang untuk tetap efektif melakukan serangan jarak jauh.

Di saat Yasa sibuk melepaskan anak panahnya, tiba-tiba sesuatu yang begitu asing melesat dari arah hutan di belakangnya. Seakan tahu apa yang sedang menghampiri mereka, Yasa langsung berteriak memperingatkan temannya.

“Rangkahasa, mereka datang,” teriaknya sembari berhamburan dari semak-semak itu.

Melihat beberapa roh jahat melayang ke arahnya, Rangkahasa mulai panik. Tak peduli sehebat apapun kemampuannya, dia tahu bahwa dirinya tak pernah bisa menyerang mereka.

Rangkahasa pun berlarian diburu oleh roh-roh jahat tersebut. Sementara teman-temannya yang lain menyusul, memastikan prajurit-prajurit musuh tidak melukai Rangkahasa yang sedang ketakutan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keris Bunga Bangkai   197 - Pendekar Misterius Di Daerah Perbatasan

    Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta

  • Keris Bunga Bangkai   196 - Ajian Peluruh Indra

    Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug

  • Keris Bunga Bangkai   195 - Keputusan Rangkahasa

    Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya

  • Keris Bunga Bangkai   194 - Perpisahan

    Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga

  • Keris Bunga Bangkai   193 - Melepaskan Beban

    Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu

  • Keris Bunga Bangkai   192 - Kudeta

    Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status