Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka.
“Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.
“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya.“Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.
“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya.“Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.
Mendengar penjelasannya itu, Mergo menjadi terdiam tak bisa berkata apa-apa. Begitu juga dengan keempat rekannya yang lain, seperti paham dengan kondisi Rangkahasa tersebut.
“Benar juga, Mergo,” ujar salah seorang rekannya yang bernama Yasa.
“Andai kita pergi sore tadi mungkin kita bisa meninggalkan Rangkahasa di sini. Tapi hari sudah malam, dan kita mungkin akan lama di luar sana. Kau pasti tahu, kau tak bisa meninggalkan Rangkahasa malam-malam,” jelasnya.“Baiklah!” jawab Mergo.
“Tapi berjanjilah, kau tidak boleh terlalu bernafsu dan sembrono seperti yang biasa kau lakukan saat peperangan. Kita ke sana bukan untuk berperang,” jelas Mergo pada Rangkahasa.Mendengar jawaban itu, Rangkahasa langsung memacu larinya bergegas mengambil senjata dan jubah lusuhnya. Setelah itu, pergilah mereka berenam menuju ke arah selatan dengan berjalan kaki.
Mereka berangkat diam-diam di antara semak-semak, jauh dari jalan utama untuk menghindari kecurigaan dari mata-mata yang mungkin saja mengintai.
Setelah beberapa lama melakukan perjalanan, sampailah mereka di salah satu tebing di dekat pantai. Dari sana mereka mencoba mengamati posisi-posisi penjaga yang patroli, serta susunan perkemahan dari prajurit musuh.
“Apa rencana kita, Mergo?” tanya Yasa.
“Kita tidak mungkin sekadar membuat keributan saja. Kalau tahu ini hanya keributan kecil, itu tidak akan mencegah mereka jika memang ingin menyerang besok,” jelasnya.“Yah, setidaknya kita akan pulang membawa kepala satu orang pimpinan mereka,” jawab Mergo.
“Untuk itu, kalian berlima alihkan perhatian mereka.”“Apa kau tahu di mana pimpinannya?” tanya Rangkahasa.
“Aku sudah mengintai mereka sore tadi,” jawab Mergo.
“Rangkahasa, kamu ikut saja dengan mereka. Biar aku lakukan ini sendiri.”“Tapi Mergo...” jawab Rangkahasa nampak keberatan jika harus berpisah dari pimpinannya tersebut.
Namun Mergo langsung menepuk bahu Rangkahasa, berusaha menghilangkan kekhawatirannya itu.
“Tidak apa-apa. Justru bagus kalau mereka datang lagi mengganggumu,” jelas Mergo dengan sedikit senyum.
Setelah itu, Mergo berpisah dari teman-temannya. Dia menuruni tebing itu sendirian mengendap-endap di kegelapan. Setelah dia memastikan tak ada siapa-siapa di sana, Mergo memberikan kode pada teman-temannya untuk ikut turun.
Namun setelah itu dia langsung pergi tanpa menunggu mereka menyusulnya. Mergo langsung bergerak ke arah kanan, sementara teman-temannya pergi ke arah kiri.
Dari semak-semak itu, Yasa menyiapkan satu panah yang ujungnya berapi, dan menembakkannya ke salah satu tenda. Anak panah itu menyulut kebakaran, serta menyulut kepanikan di antara prajurit yang berjaga.
“Sekarang saatnya, kalian keluarlah!” seru Yasa sang pemanah tersebut.
Baru setelah itu keempat orang lainnya keluar, berteriak keras-keras sengaja memancing keributan. Sementara Yasa si pemanah sedikit menjaga jarak dari mereka.
Tidak semua prajurit yang keluar karena tahu yang menyerang hanya lima orang. Sementara itu, sebagian dari prajurit yang berpatroli masih sibuk memadamkan api.
Setelah berhasil membunuh beberapa orang prajurit, kelima orang itu berlagak seperti terdesak mundur. Secara bertahap mereka memancing prajurit-prajurit musuh menjauhi perkemahan tersebut menuju tepi hutan.
Meski sudah berhasil memancing perhatian begitu banyak prajurit, mereka sadar bahwa ternyata masih terlalu banyak prajurit lain yang bersiaga di perkemahan.
“Yasa, apa rencana ini akan berhasil?” tanya Rangkahasa.
“Jangan pikirkan itu!” bentaknya.
“Jika kau sudah ikut, lakukan saja sesuai perintah Mergo,” jelas rekannya itu.Orang yang bernama Yasa itu kembali memilih menjauhi pertempuran. Hal itu cukup wajar karena dia adalah seorang ahli pemanah. Dia butuh ruang untuk tetap efektif melakukan serangan jarak jauh.
Di saat Yasa sibuk melepaskan anak panahnya, tiba-tiba sesuatu yang begitu asing melesat dari arah hutan di belakangnya. Seakan tahu apa yang sedang menghampiri mereka, Yasa langsung berteriak memperingatkan temannya.
“Rangkahasa, mereka datang,” teriaknya sembari berhamburan dari semak-semak itu.
Melihat beberapa roh jahat melayang ke arahnya, Rangkahasa mulai panik. Tak peduli sehebat apapun kemampuannya, dia tahu bahwa dirinya tak pernah bisa menyerang mereka.
Rangkahasa pun berlarian diburu oleh roh-roh jahat tersebut. Sementara teman-temannya yang lain menyusul, memastikan prajurit-prajurit musuh tidak melukai Rangkahasa yang sedang ketakutan itu.
Meski tidak bisa ditebas dengan pedang, roh-roh jahat itu juga tidak bisa melukai mereka. Beberapa roh jahat itu berhasil mendekati Rangkahasa, melayang begitu cepat dan menembus tubuhnya. Rangkahasa langsung bertekuk lutut menahan rasa sakit di kepalanya. Meski tak melukai secara fisik, roh-roh jahat itu mampu melukainya secara mental, memakan sari pati hidupnya sedikit demi sedikit.
Yasa yang berjalan tepat di belakangnya sedikit penasaran setelah menyadari bahwa sepertinya Mergo sedang menjinjing sesuatu yang dibungkus dengan kain. Dia bergegas menyusul Mergo hendak bertanya. Namun setelah melihat darah menetes-netes dari kain itu, dia pun seperti mulai menyadari apa yang sedang dibawa oleh pemimpinnya tersebut. Mereka berenam baru sampai di Benteng Watukalis setelah larut malam. Tak ada sedikitpun dari mereka yang terlihat terluka. Hanya Rangkahasa seorang yang tak sadarkan diri, digendong oleh Yodha di punggungnya. Para prajurit yang membukakan gerbang untuk mereka nampak berbisik-bisik. Mereka meragukan Mergo dan rekan-rekannya setelah melihat orang-orang tersebut kembali tanpa sedikitpun luka. Prajurit itu menyangsikan, entah Mergo benar-benar berbuat sesuatu pada musuh, atau hanya akal-akalannya saja mencari simpati sang Panglima. “Kenapa dengan anak
Panglima Adipati Labdajaya serta pasukannya tidak ikut dalam pertempuran tersebut. Mereka semua berdiam diri menjaga benteng. Terutama Mergo dan rekan-rekannya yang memang dibayar hanya untuk membantu mempertahankan benteng tersebut dari serangan musuh.Meski kalah jumlah, 700 pasukan yang dipimpin oleh dua orang Panglima yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa nampak dominan menguasai pertempuran. Sebagian besar dari mereka adalah pasukan berkuda, sementara hampir dari 1000 pasukan musuh itu semuanya adalah infanteri kelas rendah. Tak banyak dari mereka yang berkuda karena datang dengan kapal lewat jalur laut.Menjelang senja, mereka akhirnya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Sebagian besar pasukan berkuda itu terus memburu mereka yang kabur hingga menuju bibir pantai. Banyak dari pasukan musuh yang melarikan diri itu dibantai selama di perjalanan.“Kejar terus, tanamkan ketakutkan pada para
Dalam satu hari, Mergo dan rekan-rekannya menjadi buah bibir di Benteng Watukalis. Cerita itu pun sampai ke telinga Panglima Abimana dan Panglima Kawiswara, dua orang panglima perang yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa.“Jadi benar Kangmas Adipati Labdajaya mempekerjakan pasukan prajurit bayaran?” tanya Panglima Kawiswara di saat jamuan makan bersama para petingi pasukan lainnya.“Aku tak menyangka seorang Kangmas Adipati Labdajaya sampai berbuat sejauh itu. Apa pasukan kita tidak cukup kuat?” tanyanya sedikit bernada menyindir.“Aku hanya tidak ingin pendekar-pendekar hebat seperti mereka justru membela pihak musuh,” jawab Adipati Labdajaya.“Aku yakin cerita soal reputasinya sudah sampai di telinga pejabat-pejabat yang ada sini,” jelasnya.“Tentu, tentu saja!” jawab Panglima Abimana, membalas penjelasa
Di sebuah padang rumput di tepi sebuah rimba, Rangkahasa bersama Yasa baru saja berhasil menangkap dua ekor rusa. Mereka menyeret masing-masing satu rusa hasil tangkapan itu menuju tepi hutan.Di pinggir hutan itu ada seorang lagi rekan mereka, Yodha, sedang berbaring di bawah sebuah pohon yang rindang. Yasa dan Rangkahasa langsung melemparkan kedua ekor rusa tersebut ke atas tubuh Yodha dan membuatnya terbangun.“Sudah, kita balik ke markas,” seru Yasa pada temannya tersebut.Yodha tersenyum hingga matanya nyaris tak kelihatan. Dia berdiri dan langsung memanggul kedua ekor rusa tersebut dan membawanya sendirian. Namun Yasa bergegas menghampiri Yodha, seperti terlupakan akan sesuatu.“Tunggu sebentar, Yodha,” serunya sebelum akhirnya memegang anak panah yang tertancap di leher rusa tersebut.Yasa meng
Orang yang selama ini membantunya bertahan hidup, dan menjadi alasan baginya untuk terus hidup, ternyata sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi tumbal. Sebagian dari dirinya ingin berteriak, memberontak ke arah Mergo. Namun kakinya malah membawanya keluar dari rumah tersebut. Karena sebagian besar dari dirinya masih ingin membuat Mergo bangga padanya.“Hey, kenapa denganmu?” tanya Yasa yang baru saja datang, menggoyang bahu Rangkahasa dan menyadarkan dia dari lamunannya.Rangkahasa terkejut, namun dia tak bisa bersuara. Mulutnya tersekat meski dia ingin berpura-pura menanggapi Yasa seperti biasanya.“Di mana Mergo? Ada hal penting yang ingin aku laporkan,” ujarnya sebelum memasuki rumah tersebut.Rangkahasa hanya diam saja, menoleh ke arah Yasa yang baru saja melewatinya masuk ke dalam rumah. Begitu dia melihat
Namun belum jauh dia berbelok, Rangkahasa melihat Yasa dari kejauhan berusaha menjaga jarak dari prajurit-prajurit Adipati Labdajaya. Sudah menjadi kebiasaan Yasa untuk selalu menjaga jarak sembari menembaki musuhnya satu persatu dengan panah. Namun prajurit yang mengejarnya terlalu banyak.Satu prajurit di tembaknya, puluhan prajurit lain datang mengejarnya. Dia terus mendaki bukit itu untuk menghindari mereka. Hingga akhirnya semua persediaan anak panahnya habis tak lagi tersisa setelah membunuh cukup banyak dari prajurit-prajurit tersebut.Yasa pun terpojok saat panik mencoba meraih anak panah di punggungnya yang sudah tak lagi tersisa.“Sialan, habis!” gumamnya mulai panik.Satu prajurit datang menghadang. Yasapun mengeluarkan belati dari pinggangnya, satu-satunya senjata yang tersisa. Meski dia masih bisa menusuk leher satu prajurit itu, namun tubuhnya yan
Diapun tak bisa menyangkal bahwa Mergo jugalah yang telah menyelamatkannya, dan sempat memberinya alasan untuk tetap hidup ketika dulu dia memilih untuk menyerah. Dia semakin kebingungan tak bisa menemukan jawaban atas apa yang harus dilakukannya. “Bu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya bergumam.“Mungkinkah saat ini aku dibutakan oleh keinginanku sendiri, meski aku sendiri tidak tahu apa yang aku inginkan?” Namun bayangan sahabat-sahabatnya itu akan tewas mengenaskan juga tak bisa hilang dari pikirannya. Meski bimbang, langkahnya tergerak untuk menuruni bukit tersebut. Ketika sampai di markas Panji Keris Bertuah, Rangkahasa melihat sudah begitu banyak prajurit yang bersimbah darah. Namun masih lebih banyak lagi prajurit-prajurit yang belum di kerahkan oleh Adipati Labdajaya. Sementara itu, beberapa rekannya sudah ada yang tewas terlihat olehnya. Rangkahasa melompat dari lereng bukit dan mendarat di salah satu atap rumah. Setelah itu dia kembali melompat, menebaskan parangnya me