Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.
“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.
Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.
“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.
“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab Sang Panglima.
“Pengawal, segera temui Sabdo dan sampaikan kondisi ini padanya. Minta dia untuk mengirimkan utusan ke Kerajaan Cakradwipa malam ini juga,” perintahnya.Pengawal itu menunduk sesaat dan bergegas meninggalkan tempat tersebut.
“Sekarang keluarlah, Mergo!” perintah Sang Panglima.
“Persiapkan pasukanmu untuk pertempuran ini,” lanjutnya.Namun Mergo masih saja di sana, belum juga beranjak pergi dari ruangan tersebut. Hal itu memancing rasa penasaran dari Sang panglima.
“Apa masih ada yang lainnya?” tanya Sang Panglima.
“Maafkan hamba, Tuan. Tapi hamba punya usulan lain,” jawab Mergo.
“Sampaikanlah, Mergo!” perintah Sang Panglima.
“Hamba tahu Tuan tak mungkin memerintahkan prajurit untuk meninggalkan benteng ini. Musuh pun pasti akan berpikir hal yang sama. Jadi hamba pikir jika kita melakukan serangan dadakan malam ini, itu bisa mencegah mereka untuk menyerang kita esok pagi. Setidaknya ini bisa memberi kita waktu menjelang bantuan datang,” jelasnya.
Panglima itu mengangguk-angguk nampak kagum.
“Bisa berpikir sejauh itu, berarti kau pasti juga sudah tahu kalau musuh setidaknya masih mengintai pergerakan kita,” balas Sang Panglima.
“Benar Tuan, karena itu ijinkan hamba dan beberapa orang dari Panji Keris Bertuah yang membuat keributan di sana. Jika kami ke sana dalam jumlah yang sedikit, kami bisa bergerak tanpa sepengetahuan mereka,” jelas Mergo.
“Sebagai gantinya...”
Namun Mergo tak meneruskan kata-katanya, hanya menundukkan wajahnya dan membuat Sang Panglima sedikit bingung.
“Sebagai gantinya?” tanya Sang Panglima, masih menunggu Mergo meneruskan maksudnya.
Untuk sesaat Sang Panglima itu terdiam memperhatikan Mergo. Dia tahu menyerang musuh hanya dengan jumlah sedikit, walau niatnya hanya untuk membuat keributan, tetap saja beresiko. Namun sepertinya Mergo memiliki ambisi lain sampai-sampai membuatnya berani mengambil resiko tersebut.
Ekspresi Sang Panglima berubah seakan mulai tahu apa yang diinginkan oleh Mergo.
“Baiklah, jika kau berhasil dengan usaha ini, dan benteng ini bisa dipertahankan menjelang bantuan dari Kerajaan Cakradwipa tiba, sebagai gantinya aku akan menyampaikan pada Sang Raja untuk memberikanmu posisi penting di Kerajaan Cakradwipa,” jelas Sang Panglima menawarkan.
“Terima kasih, Tuan. Hamba mohon undur diri,” jawab Mergo sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
Malam itu, Mergo mengumpulkan lima orang anggota Panji Keris Bertuah yang paling dipercayainya. Sang Panglima terus memperhatikan mereka dari kejauhan di koridor lantai dua di depan ruangannya.
Sabdo, ajudan sang Panglima berjalan bergegas menghampiri Panglima tersebut dari ujung koridor lainnya.
“Sabdo, apa kau sudah mengirim utusan ke Kerajaan Cakradwipa?” tanya sang Panglima menyambut kedatangan ajudannya tersebut.
“Sudah hamba kirim dua orang utusan, Panglima,” jawab Sabdo, sedikit menundukkan pandangannya.
“Hamba lihat Mergo sedang mempersiapkan pasukannya. Apa Panglima yang memberikannya perintah?” tanyanya.“Benar, dia sendiri yang mengusulkan untuk membuat keributan, untuk mencegah musuh menyerang kita besok pagi,” jelas sang Panglima.
“Usulannya sendiri?” tanya Sabdo nampak sedikit terkejut.
“Sudah kukatakan, orang sepertinya tidak akan puas hanya menjadi prajurit bayaran seperti itu. Dia meminta agar dirinya diterima di Kerajaan Cakradwipa,” jelas sang Panglima.
“Melihat kemampuannya, hamba yakin dia akan sangat berguna bagi kerajaan kita,” jawab Ajudan tersebut.
“Tapi akan sangat merugikanku,” balas sang Panglima.
“Kau mungkin tak menyadarinya, Sabdo. Tapi jika dibiarkan terus seperti ini, cepat atau lambat, dia akan menjadi ancaman bagiku.”“Apa Panglima tidak berlebihan menilai Mergo?” tanya Sabdo nampak tak menyangka Panglimanya itu melihat Mergo memiliki potensi untuk menyaingi posisinya.
Namun Panglima tersebut diam saja, memperhatikan Mergo yang saat ini sedang menunggu rekan-rekannya di gerbang. Matanya nampak berbinar kemerahan oleh sedikit pantulan dari cahaya api obor yang menerangi tempat tersebut.
Tak sedikitpun ia berkedip, terus memandang rendah memperhatikan setiap pergerakan Mergo dan pasukannya dari posisinya yang lebih tinggi.
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.