Share

07 - Ambisi Mergo

Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.

“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.

Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.

“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.

“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab Sang Panglima.

“Pengawal, segera temui Sabdo dan sampaikan kondisi ini padanya. Minta dia untuk mengirimkan utusan ke Kerajaan Cakradwipa malam ini juga,” perintahnya.

Pengawal itu menunduk sesaat dan bergegas meninggalkan tempat tersebut.

“Sekarang keluarlah, Mergo!” perintah Sang Panglima.

“Persiapkan pasukanmu untuk pertempuran ini,” lanjutnya.

Namun Mergo masih saja di sana, belum juga beranjak pergi dari ruangan tersebut. Hal itu memancing rasa penasaran dari Sang panglima.

“Apa masih ada yang lainnya?” tanya Sang Panglima.

“Maafkan hamba, Tuan. Tapi hamba punya usulan lain,” jawab Mergo.

“Sampaikanlah, Mergo!” perintah Sang Panglima.

“Hamba tahu Tuan tak mungkin memerintahkan prajurit untuk meninggalkan benteng ini. Musuh pun pasti akan berpikir hal yang sama. Jadi hamba pikir jika kita melakukan serangan dadakan malam ini, itu bisa mencegah mereka untuk menyerang kita esok pagi. Setidaknya ini bisa memberi kita waktu menjelang bantuan datang,” jelasnya.

Panglima itu mengangguk-angguk nampak kagum.

“Bisa berpikir sejauh itu, berarti kau pasti juga sudah tahu kalau musuh setidaknya masih mengintai pergerakan kita,” balas Sang Panglima.

“Benar Tuan, karena itu ijinkan hamba dan beberapa orang dari Panji Keris Bertuah yang membuat keributan di sana. Jika kami ke sana dalam jumlah yang sedikit, kami bisa bergerak tanpa sepengetahuan mereka,” jelas Mergo.

“Sebagai gantinya...”

Namun Mergo tak meneruskan kata-katanya, hanya menundukkan wajahnya dan membuat Sang Panglima sedikit bingung.

“Sebagai gantinya?” tanya Sang Panglima, masih menunggu Mergo meneruskan maksudnya.

Untuk sesaat Sang Panglima itu terdiam memperhatikan Mergo. Dia tahu menyerang musuh hanya dengan jumlah sedikit, walau niatnya hanya untuk membuat keributan, tetap saja beresiko. Namun sepertinya Mergo memiliki ambisi lain sampai-sampai membuatnya berani mengambil resiko tersebut.

Ekspresi Sang Panglima berubah seakan mulai tahu apa yang diinginkan oleh Mergo.

“Baiklah, jika kau berhasil dengan usaha ini, dan benteng ini bisa dipertahankan menjelang bantuan dari Kerajaan Cakradwipa tiba, sebagai gantinya aku akan menyampaikan pada Sang Raja untuk memberikanmu posisi penting di Kerajaan Cakradwipa,” jelas Sang Panglima menawarkan.

“Terima kasih, Tuan. Hamba mohon undur diri,” jawab Mergo sebelum meninggalkan ruangan tersebut.

Malam itu, Mergo mengumpulkan lima orang anggota Panji Keris Bertuah yang paling dipercayainya. Sang Panglima terus memperhatikan mereka dari kejauhan di koridor lantai dua di depan ruangannya.

Sabdo, ajudan sang Panglima berjalan bergegas menghampiri Panglima tersebut dari ujung koridor lainnya.

“Sabdo, apa kau sudah mengirim utusan ke Kerajaan Cakradwipa?” tanya sang Panglima menyambut kedatangan ajudannya tersebut.

“Sudah hamba kirim dua orang utusan, Panglima,” jawab Sabdo, sedikit menundukkan pandangannya.

“Hamba lihat Mergo sedang mempersiapkan pasukannya. Apa Panglima yang memberikannya perintah?” tanyanya.

“Benar, dia sendiri yang mengusulkan untuk membuat keributan, untuk mencegah musuh menyerang kita besok pagi,” jelas sang Panglima.

“Usulannya sendiri?” tanya Sabdo nampak sedikit terkejut.

“Sudah kukatakan, orang sepertinya tidak akan puas hanya menjadi prajurit bayaran seperti itu. Dia meminta agar dirinya diterima di Kerajaan Cakradwipa,” jelas sang Panglima.

“Melihat kemampuannya, hamba yakin dia akan sangat berguna bagi kerajaan kita,” jawab Ajudan tersebut.

“Tapi akan sangat merugikanku,” balas sang Panglima.

“Kau mungkin tak menyadarinya, Sabdo. Tapi jika dibiarkan terus seperti ini, cepat atau lambat, dia akan menjadi ancaman bagiku.”

“Apa Panglima tidak berlebihan menilai Mergo?” tanya Sabdo nampak tak menyangka Panglimanya itu melihat Mergo memiliki potensi untuk menyaingi posisinya.

Namun Panglima tersebut diam saja, memperhatikan Mergo yang saat ini sedang menunggu rekan-rekannya di gerbang. Matanya nampak berbinar kemerahan oleh sedikit pantulan dari cahaya api obor yang menerangi tempat tersebut.

Tak sedikitpun ia berkedip, terus memandang rendah memperhatikan setiap pergerakan Mergo dan pasukannya dari posisinya yang lebih tinggi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status