Brak!!!
Suara pintu terdobrak paksa, membuat Candramaya kecil langsung loncat ke dalam pangkuan Ibunya. Wanita berusia 27 tahun yang duduk di sisi ranjang dengan perasaan was-was. Padmasari mendekap tubuh munyil putrinya yang menggigil ketakutan. Tangannya mengelus pucuk surai Candramaya menyalurkan rasa aman dan nyaman. Padmasari menatap suaminya dengan cemas. Dia sedang berdiri di depan pintu kamar, sambil memegang pedang yang masih di dalam sarungnya. Terdengar suara rintik hujan yang mulai terdengar deras begitu juga dengan suara gaduh pertaruangan. "Menyingkir! Kalian bukan tandinganku!" "Dasar pengacau! Serang!" Cuaca malam itu sangat buruk. Menciptakan suasana mencengkam, seiring dengan suara eraman dan teriakkan. Damarjati menoleh ke arah istrinya yang sedang memeluk putri semata wayangnya. Tatapannya dalam dan lekat, begitu juga perasaannya yang berkecambuk. Setelah menyaksikan para pengawalnya yang sedang bertarung dengan penyusup mulai terlihat kewalahan. Candramaya kecil sangat bingung dengan apa yang sedang dia alami, terlebih lagi saat melihat Ibunya memejamkan mata dengan tangan kanan menyentuh dada. Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba sebuah keris kecil keluar dari dada Padmasari. Mata Candramaya melebar, mulutnya membuka tanpa sadar. Dia merasa takjub. Bagaimana tidak? Sebuah benda keluar dari dada seseorang. Padmasari menatap benda kecil yang sekarang berada di dalam genggamannya dan berkata, "Pegang keris kecil ini, Nak! Dan jangan pernah kau lepaskan apapun yang terjadi. Ini sekarang menjadi milikmu dan hanya kamu yang bisa menyentuhnya," ucapnya. Padmasari tidak menyangka akan mewariskan pusaka turun temurun dengan cara seperti ini. Dia masih muda dan putrinya masih terlalu kecil. Padmasari memaksa putrinya untuk menerima benda asing itu. Dahi Candramaya mengerut, menatap bingung sebuah keris kecil. Candramaya menyentuh lengan Ibunya dengan suara lirih dan bergetar, "Ibu ...Maya takut!" Air mata Padmasari tumpah, hatinya terasa pilu. Putrinya masih sangat kecil, dengan berat hati Padmasari melepaskan tangan sang putri, lalu mencium wajah putrinya berkali-kali. Waktu mereka tidak banyak! Mungkin ini yang terakhir Padmasari melihat dan menyentuh putrinya. "Ingat, Nak! Keris ini sama seperti dengan nyawamu! Jangan kamu berikan kepada siapa pun! Cepat sembunyi, rapalkan mantra yang selalu ibu ajarkan!" ujar Padmasari. Suaranya terasa berat seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. "Untuk apa?" Tanya Candramaya. Gadis kecil itu tentu merasa bingung. "Turuti perintah Ibu, Nak! Sekarang sembunyi!" Padmasari sedikit memekik. Gadis berusia 6 tahun itu mengangguk dengan bibir mengerucut lalu turun dari ranjang dan menyembunyikan tubuh kecilnya di bawah kolong ranjang. Tangan Candramaya memegang keris kecil berwarna perak dengan ukiran aksara jawa bertatakan emas dengan gagang kepala naga. "Ibu, tolong jaga putriku, sekarang dia putrimu" batin Padmasari. Saat melihat gadis kecilnya bertelungkup di bawah kolong ranjang, hati Padmasari terasa teriris-iris. Kebisingan itu lenyap, suasana seketika menjadi sunyi hanya suara hujan dan petir yang terdengar. Namun terdengar suara derap langkah kaki dari luar kamar yang mulai mendekat. Padmasari berjalan mendekati suaminya yang berdiri tegap. Damarjati menoleh, pria itu tersenyum tipis dan menatap lamat istrinya lalu berkata, "Kamu yakin Padma? Aku akan menahan mereka. Pergi dan bawa putri kita." Padmasari tersenyum lembut, tangannya membelai dagu suaminya yang kokoh. "Kamu kira aku akan meninggalkanmu kang mas? Tidak akan! Putri kita tidak sendirian, ada kanjeng Ibu yang akan menjaganya," ucapnya. Damarjati meraih tubuh sang istri dan mendekapnya erat, menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Padmasari. Padmasari membalas pelukan suaminya, matanya memancarkan tekad yang kuat. Dia tidak menyesal sedikitpun atas keputusannya untuk tetap berada di sisi Damarjati apapun yang terjadi. lni malam berdarah yang tak terelakan. Malam yang akan merubah hidup putrinya. Candramaya menyaksikan kedua orang tuanya berpelukan, seolah mereka akan terpisah. Hati gadis kecil itu selalu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa kedua orang tuanya memakai pakaian serba putih? Pakaian yang biasa digunakan untuk acara pemakaman Lamunan Candramaya buyar saat dua orang berpakaian serba hitam dengan persenjataan yang lengkap sudah berada di ambang pintu kamar. Tubuhnya meringsut mundur seiring dengan rasa takut yang dia rasakan. "Sekarang giliranmu!" Ucap dari salah satu pria misterius bertubuh tinggi dan kekar, wajahnya tertutup kain yang telihat hanya bola mata seperti mata binatang liar. "Maaf Senopati Damarjati, kami hanya menunaikan tugas dari Sinuwun," ujar pria satunya yang tubuhnya lebih kurus dan pendek. Pria itu menundukan kepala lalu menyatukan kedua tangan untuk memberi hormat. "Tidak Paman, jabatan Paman lebih tinggi dariku," kata Damarjati merasa sungkan, masih bersikap baik dan tenang. Dia mengenali siapa dua orang yang ada di hadapannya. "Sebaiknya kamu menyerah, kami hanya butuh kepalamu. Kami berjanji akan melepaskan keluargamu," kata pria bertubuh tinggi dan kekar, terdengar angkuh dan sombong. Pria itu melirik sejenak ke arah wanita berparas ayu yang berada di sisi Damarjati. Padmasari menelan salivanya dengan kasar, seiring jantungnya yang bergemuruh hebat, amarahnya tersulut dengan penuturan salah satu penyusup itu. "Kami kesatria, bukan pengecut! Kalian atau kami yang akan mati!" Ucapnya. "Ketiga kepala rekanmu sudah kami dapatkan, tinggal kepalamu," sarkas pria bertubuh tinggi dan kekar. "Tunaikan tugas kalian!" Tantang Damarjati, dia benar-benar marah saat mengetahui ketiga sahabatnya telah tiada. Tanpa basa-basi, Damarjati mengeluarkan sebilah pedang dari sarungnya. Demikian pula dengan istrinya. Kedua penyusup itu saling bertatapan dan pria kurus dan agak pendek mengangguk lalu menyingkir. Ini pertarungan dua lawan satu! Pertarungan sengit berlangsung cukup lama. Jelas saja pria bertubuh tinggi dan kekar itu bukan pria sembarangan. Ilmunya cukup tinggi, Damarjati dan Padmasri pun kewalahan menghadapi pria itu. Sedangkan satunya lagi hanya menonton pertarungan sengit yang sedang berlangsung. Pria bertubuh tinggi dan kekar mengeluarkan sebuah ajian yang membuat telapak tangannya berwarna merah menyala. Lalu dia ayunkan ke arah dada Damarjati dengan cukup keras. Bug! Tubuh Damarjati tersungkur ke lantai dengan mengenaskan. Lalu memutahkan darah hitam pekat, saat terkena pukulan tepat di atas dada kirinya. "Akhh!"Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga