“Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?” tanya wanita itu. Matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.
Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras, menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.
“Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu.” Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. “Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?”
Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.
“Sayang sekali,” ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, “Di balik keindahan itu ... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?”
Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Benar sekali,” ujarnya pelan, seolah menyetujui. “Dan mereka yang ingin membersihkannya ... tak lebih dari sekumpulan lalat. Benarkan Lady Claire.”
Ia berhenti sejenak, menatap Claire tanpa berkedip. “Lalat yang bahkan tak tahu di mana seharusnya hinggap.”
Sunyi.
Claire masih tersenyum, tapi matanya kehilangan cahaya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Lady Claire. Nikmati waktumu.”
Elena melangkah anggun melewati Claire. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum tipis penuh kemenangan. Gemerisik kain gaunnya yang lembut menjadi satu-satunya suara yang tersisa di antara mereka.
Claire hanya bisa menatap punggung Elena yang menjauh, matanya menyala tak rela. Tapi Elena tak menoleh. Ia tahu, ia menang.
Setelah keluar dari taman, langkah Elena menyusuri koridor belakang yang lebih sepi. Aroma tanah basah dan bunga mawar masih tertinggal samar di udara, namun suasana hati Elena mulai berubah. Ketika ia memasuki selasar dekat dapur utama, langkahnya melambat.
Ia merasakan tatapan.
Bukan satu. Bukan dua. Banyak.
Beberapa pelayan berdiri dalam kelompok kecil, berkerumun di balik bayangan lengkungan pilar. Mereka tidak tahu Elena sudah begitu dekat. Bisikan tajam keluar dari mulut mereka, menusuk seperti duri tersembunyi dalam sutra.
“Padahal dari keluarga bangkrut, bisa-bisanya dia angkuh seperti itu.”
“Duchees? Pantas? Aku malu harus melayaninya ...”
Elena berhenti. Ujung sepatunya berderit ringan menyentuh lantai batu. Para pelayan langsung menegang. Diam. Mata mereka membulat dalam keterkejutan, seolah baru sadar bahwa yang mereka hina sedang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka.
Dengan tenang, Elena memutar tubuh. Matanya menatap satu per satu wajah mereka yang mulai memucat. Langkahnya tenang saat ia mendekat. Suara sepatu haknya menggema pelan dan tegas.
“Aku tidak keberatan dengan bisikan,” ucapnya pelan, namun tegas, “Tapi aku keberatan kalau tikus-tikus dapur merasa lebih tinggi dari pemilik rumah.”
Tak ada yang berani menjawab. Namun satu pelayan muda, mungkin terlalu baru untuk tahu siapa yang sedang berdiri di hadapannya, memberanikan diri membuka mulut.
“Kami hanya ... tidak biasa ada yang sok memerintah, padahal dulu ....”
“Dulu?” Elena menyela, menatapnya tajam.
“Dulu aku diam. Bukan berarti aku tidak melihat.”
Suara Elena rendah, tapi mengandung kekuatan yang dingin dan tak terbantahkan. Ucapan itu menampar jauh lebih keras daripada teriakan.
Dari sisi lain, seorang pelayan wanita berjalan tergesa melewati mereka, membawa baki berisi linen bersih. Ia menunduk memberi hormat dengan sopan saat lewat di depan Elena tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa ikut mencibir atau melirik remeh seperti yang lain. Tenang dan hormat. Elena sempat meliriknya.
Lalu, ia menoleh kembali pada kerumunan pelayan yang barusan mencibirnya.
Tangannya terangkat, telunjuknya menunjuk empat orang. “Kalian berempat, berkemas. Hari ini adalah hari kerja terakhir kalian di Duchy ini.”
Sunyi. Seperti angin yang berhenti berhembus.
Beberapa pelayan lain yang mengintip dari balik pintu dapur tersentak. Seseorang bahkan menjatuhkan panci kecil dari tangannya. Benturan logam menggema keras.
“Tapi ... Anda tidak bisa semena-mena! Emangnya siapa Anda?” Salah satu pelayan berseru, suaranya bergetar antara panik dan marah.
Elena menoleh dengan ekspresi dingin, matanya seperti es musim dingin yang baru turun. “Aku?” Ia mengulang, “Duchess Carwyn.”
Diam. Tak ada lagi yang bersuara setelah itu.
Dan dalam keheningan itu, Elena berbalik, menatap kepala pelayan wanita senior yang berdiri mematung di ujung lorong.
“Kumpulkan semua pelayan. Sekarang! Mulai hari ini, tidak ada satu pun yang boleh menyentuh ruanganku, pakaianku, atau mendekatiku tanpa izin langsung dariku.”
Wanita itu langsung mengangguk. “Baik, Duchess.”
Beberapa jam kemudian, kamar pribadi Elena dipenuhi para pelayan yang berbaris. Suasananya panas, karena ketegangan yang menyesakkan. Wajah-wajah di hadapannya menunjukkan berbagai ekspresi gugup, takut, ada pula yang pura-pura tenang meski mata mereka menyimpan kebencian.
Elena berdiri di hadapan mereka, tegak dan tanpa ragu. Ia mengangkat tangannya perlahan. Lalu, satu per satu, ia menunjuk beberapa orang. Suaranya datar.
“Kalian semua ... dipecat!”
Sekejap, kamar itu meledak dalam protes.
“Apa?! Ini tidak adil!”
“Kami sudah bekerja selama bertahun-tahun!”
“Anda tidak bisa begini!”
Suara-suara bertumpuk, saling melawan. Namun Elena bergeming. Ia hanya menatap lurus ke depan, suara mereka seolah tak menyentuh telinganya.
Di ruang kerja, Mervyn yang mendengar laporan soal kegaduhan di kamar Elena, memejamkan mata. Wajah Elena dan kalimat-kalimat yang diucapkannya saat di ruang makan terlintas di pikirannya.
Dengan alis mengernyit, ia menekan bel kecil di mejanya. “Panggilkan kepala pelayan.” Suaranya tegas.
Sementara itu, Elena tetap berdiri kokoh di tengah riuh suara yang memekakkan telinga. Tapi matanya tidak memedulikan yang berteriak melainkan menatap mereka yang diam.
Hanya tiga pelayan yang tidak ia tunjuk. Mereka berdiri rapi, tanpa berani bicara. Dari ketiganya, pandangan Elena tertumbuk pada satu wajah.
Pelayan wanita itu berdiri dengan tenang, tidak menunduk, tapi juga tidak menantang. Ia hanya menatap lurus, sopan, seperti seseorang yang tahu batas dan tahu tempatnya.
“Kalau tidak salah ... dia,” batin Elena.
Kenangan samar berkelebat. Pelayan itu adalah gadis yang tadi berjalan melewatinya tanpa banyak bicara, namun tetap memberi hormat sopan. Elena mengingat wajahnya. Dalam ingatan masa lalunya, meskipun samar, gadis itu tidak pernah ikut mencemooh atau merendahkannya. Ia juga beberapa kali membantu dalam diam, meski tak menunjukkan kedekatan secara terang-terangan.
“Siapa namamu?” tanya Elena, tatapannya tajam namun penuh pertimbangan.
Gadis itu menjawab, suara lembut dan jelas, “Myra Elowen, Duchess.”
Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn? Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih. Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap. Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.” Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan
Elena tidak segera merespons. Ia hanya menatap Myra dalam-dalam, seakan sedang mempertimbangkan berbagai hal bukan hanya sekedar sebuah keputusan.Suara-suara pelayan lain yang masih merutuk di sudut ruangan mulai memudar di telinganya. Hanya satu yang menarik perhatiannya sekarang.“Mulai hari ini,” Elena akhirnya angkat suara, tenang namun memancarkan kekuasaan, “Kau akan menjadi pelayan pribadiku.”Myra tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepala dengan sopan. “Sesuai perintah Anda, Duchess.”Suara-suara protes di sudut kamar mendadak berubah menjadi bisik-bisik panik. Beberapa pelayan yang tersisa saling memandang, seolah bertanya-tanya apa istimewanya gadis bernama Myra itu, seorang pelayan yang selama ini nyaris tak terlihat.Elena menoleh ke arah pelayan wanita senior yang berdiri tak jauh dari pintu.“Beritahu kepala pelayan untuk mengurusi surat pemecatan mereka hari ini juga. Dan pastikan barang-barang mereka keluar dari rumah ini sebelum matahari tenggelam.”“Baik,
“Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?” tanya wanita itu. Matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras, menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.“Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu.” Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. “Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?”Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.“Sayang sekali,” ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, “Di balik keindahan itu ... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?”Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.“Benar sekali,” ujarnya pelan, seolah menyetujui. “Dan mereka yang ingin membersihkannya ... tak lebih dari sekumpulan lalat. Benarkan L
Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.Brakk!Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Elena terlihat kebingungan, bi
"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke." Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon. Begitulah ... Elena Ivor Carwyn .... Pesta di kediaman Marquess Bernard. "Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether.""Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan." "Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar." Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan pria. Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang, tertata … mengintimidasi. Dia … Mervyn Dieter Carwyn. Di sisi lain, para wanita bangsawan