Share

Kesesuaian Jiwa
Kesesuaian Jiwa
Penulis: Muhammad Aminuddin

Bagian Pertama

Malam itu dalam suasana hikmat yang penuh dengan kebahagiaan, Reny menarik tanganku ke dalam ruangan. Ruangan itu menghadap ke barat. Dengan panjang 6 meter dari timur ke barat. Dan lebar 4 meter dari utara ke selatan. Pada bagian pojok barat laut di dalam ruangan itu terdapat kamar mandi yang menghadap ke selatan. Lalu persis di samping kiri sebelah luar tembok kamar mandi, ada satu ranjang yang membujur dari utara ke selatan. Kemudian TV LED dengan ukuran 32 inci menghadap ke ranjang. Dan di sebelah kanan TV LED, almari yang besar dan berwarna cokelat ada di sana.

Lantai dan dinding ruangan itu berselimut keramik putih bersih. Kecuali dinding pada bagian timur yang berbeda, bukan terbuat dari keramik putih. Melainkan ianya terbuat dari kaca tebal yang bening. Pada bagian tengah dinding yang terbuat dari kaca tersebut bisa dibuka untuk sirkulasi udara. Atau yang biasa kita sebut jendela. Oleh karenanya, kesemua kaca pada bagian timur itu cukup diberi penutup korden besar.

Dan ketika penutup dibuka dengan menggesernya pada waktu pagi. Tentu saja tiap hari yang cerah, sinar matahari akan menyapa siapa saja yang berada dalam ruangan itu. Bau harum ruangan yang khas juga menari-nari di hidungku begitu aku memasukinya. Ruangan itu adalah kamar Reny.

Setelah berada di dalam kamar, Reny tidak melepas tanganku sampai kami berada di depan ranjang. Barulah Reny memberikan gesture seperti mempersilahkan aku untuk rebahan di sana. Karena ranjang itu membujur dari utara ke selatan. Otomatis tubuhku juga mengikuti alur ranjang. Kepalaku berada di bagian utara dengan posisi rebahan miring menghadap ke timur. Aku menyanggah kepalaku dengan sebelah tangan kiriku. Antara kepala, pundak, dan tanganku terlihat seperti membentuk segitiga tumpul.

Sementara itu Reny bergegas melepas jilbab lalu menggantungkannya di gantungan yang ada dalam almari. Aku hanya diam dan terus memandangnya. Namun ada rasa canggung menyusup begitu saja dalam dadaku. Keringat dingin juga mulai keluar dari dahiku.

Selesai melepas jilbab, kemudian Reny menyusulku rebahan di atas ranjang. Juga dengan posisi miring, namun dia menghadap ke barat. Wajahnya tepat berada di depan wajahku. Walaupun ada sepasang bantal di sana. Sama sepertiku, Reny juga memilih berbantal sebelah tangan kanannya. Jika dilihat dari atas, aku dan Reny bagaikan orang bercermin. Posisi sama persis tapi berkebalikan.

***

Sungguh baru kali ini aku melihat Reny tanpa berjilbab. Rambutnya lurus namun bergelombang dibagian ujung-ujungnya. Warna hitam mengkilat di bagian lurusnya, sedang pada bagian ujung-ujung yang bergelombang itu berwarna kecokelatan. Bau harum rambutnya yang khas langsung merasuk menyusuri rongga hidungku. Reny sengaja memilih model rambut seperti itu. Dan terlihat betul bahwa ia benar-benar merawat rambutnya.

Kemudian aku melihat matanya yang meneduhkan. Hidungnya yang mancung indah. Bibirnya yang berwarna merah merona. Dia begitu cantik jelita. Sejak dari tadi tak sedikitpun mataku berpaling dari dirinya. Iyah, Reny adalah istriku dan malam itu adalah malam pertama pernikahan kami.

“Ada apa suamiku? Kau sepertinya salah tingkah” Tanya Reny sambil mengusap keringat dingin yang mengucur begitu saja di dahiku.

Aku tersenyum dan mencoba mencairkan suasana.

“Iyah, karena ini baru pertama kalinya dalam hidupku” Aku mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi wajah semanis mungkin. Atau lebih tepatnya sok manis.

Reny tertawa lalu dengan segera menutupi mulut dengan tangan kirinya. Walaupun begitu, kapasitas tawa yang jauh lebih kecil masih terdengar. Dia tak menduga aku mejawab seperti itu. Karena tentu saja, ini juga baru pertama kali dalam hidup Reny.

Suasana jadi lebih cair. Kali ini Reny membelai rambutku dengan tangan kirinya. Aku biarkan saja. Aku terus memandang matanya. Aku tau, sebenarnya aku lah yang harus memulai. Tapi apa yang dia lakukan benar-benar menunjukkan begitu besar cintanya padaku.

Kenyataannya aku mengenal istriku tak lebih dari satu bulan yang lalu. Dan justru sudah sejak lama Reny yang menaruh hati padaku. Mungkin dia sudah lama mengamati aku. Sedangkan aku? Tiba-tiba rasa bersalah begitu saja muncul dalam hatiku. Nanti akan aku ceritakan bagaimana proses sebelum pernikahan kami.

“Suamiku, boleh kah aku memanggilmu sayang?” Reny mungkin juga merasa canggung. Tidak tau harus dimulai dari mana. Tapi dia lebih pintar menyembunyikan salah tingkahnya. Reny berkata seperti itu dengan tetap membelai rambutku. Rasa cintaku sedikit demi sedikit mulai meningkat. Namun, masih kalah besar dengan cinta Reny padaku.

“Tentu saja boleh. Kau kan istriku”

“Sayang, aku mau mengatakan. Sungguh beruntung sekali aku mempunyai suami sepertimu”

“Itu tidak benar” Jawabku dengan cepat sesaat setelah mendapat pernyataan dari Reny.

Sontak Reny kaget mendapat jawaban seperti itu dariku. Ekspresinya berubah dari senyum ke ekspresi serius, seperti ingin meminta penjelasan. Sulit sekali menggambarkan indahnya perubahan ekspresi itu. Sebelum dia bertanya, aku memberikan penjelasan.

“Iyah, itu tidak benar. Karena jika laki-laki dan perempuan sudah menikah, maka tidak ada yang lebih beruntung diantara keduanya. Bukankah wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji? Dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji pula. Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. Bagiku menikah itu seperti ukuran kepantasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tidak ada yang lebih beruntung diantara keduanya. Dan tidak pula ada yang lebih pantas diantara keduanya. Itu yang aku yakini”

Reny memperhatikan dengan seksama tiap detail yang aku katakan. Lihatlah, dari ekspresi ingin tahu berubah lagi menjadi ekspresi senyum merekah sempurna. Tatapan matanya yang berbinar seolah ingin segera menghamburkan pelukan kepadaku.

“Dan perempuan di depanku ini. Dia begitu cantik, baik, terus kabar gembiranya dia sangat mencintaiku. Lalu lebih beruntung mana? Bukankah aku yang lebih beruntung, sayang?”

Aku merayunya. Walaupun dari tadi dia yang terus membelai rambutku. Kali ini pipinya memancar sedikit warna merah di sana. Kemudian dengan sigap Reny langsung menimpali pertanyaanku.

“Itu tidak benar” Dia meniru perkataanku dengan mimik wajah melucu.

Kami berdua lantas tertawa. Saat tawa itu aku rasa agak keras hingga bisa saja terdengar sampai ke luar kamar. Aku langsung menghujaninya dengan ciuman.

Hatiku terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan yang haram. Bermesraan dengan yang halal, istri yang sah, adalah ibadah yang dipuji Tuhan. Sementara bermesraan dengan perempuan yang tidak halal adalah dosa yang dilaknat Tuhan.

Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan pahala, maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh lagi yang memilih pintu dosa dan neraka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status