Share

Bagian Kedua

Setelah itu aku mengubah posisi rebahanku yang awalnya miring, menjadi rebahan telentang. Sedangkan Reny tetap miring dengan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Kini aku bebas membelai rambutnya atau memeluknya. Semua benda yang ada di kamar itu seolah menatap kami, mereka seperti cemburu kepada kami.

Dengan terus membelai rambutnya, tanpa aku minta Reny mulai bercerita tentang dirinya, ibunya, dan ayahnya.

“Sayang, dulu pas aku mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an), aku pernah membuat guruku menangis”

“Oh ya? Kok bisa?” Seruku sambil menghentikan sejenak belaian di rambutnya. Saat dia melanjutkan cerita, baru aku teruskan lagi aktifitas yang dipuji Tuhan itu.

“Iyah, waktu itu ba’da maghrib kami berkumpul di rumah beliau. Nama beliau adalah Pak Ahmad Zainuri. Kami biasa memanggilnya Pak Zen. Beliau mengajari kami membaca Al Qur’an, menghafal do’a-do’a umum, dan juga menghafal surat-surat pendek. Pak Zen orangnya sangat sabar dalam menghadapi tawa canda kami, kepolosan kami, dan kenakalan kami. Beliau benar-benar guru yang bisa digugu dan ditiru.

“Hingga ba’da maghrib hari itu setelah kami didampingi belajar membaca Al Qur’an, beliau meminta kami menghafal do’a. Do’a ini sangat umum diketahui, yaitu do’a untuk orang tua: Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Yang secara Bahasa Indonesia terjemahannya kurang lebih seperti ini, ‘Ya Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil’. Pak Zen tak pernah meminta murid-muridnya menghafal do’a kecuali dihafal juga terjemahannya.

“Seperti biasa, murid-murid yang telah berhasil menghafalnya dipersilahkan pulang duluan. Tentu saja semua murid menghafalnya dan berusaha untuk menjadi yang pertama pulang. Satu per satu menunjukkan hafalannya kepada Pak Zen. Mereka pun pulang setelah dinyatakan hafalannya diterima. Hingga tinggal tersisa satu anak lagi. Dan anak itu adalah aku.

“Aku menghafalnya tak pernah sampai selesai. Rabbighfirlii.. Waliwaalidayya.. Warhamhuma.. Sampai di situ aku berhenti. Lalu mengulanginya lagi dari awal. Sampai Pak Zen mendapatiku seperti kesulitan, kemudian beliau menimpali hafalanku, ‘Kamaa rabbayaani shaghiiraa’. Tapi aku tak menghiraukan beliau. Aku tetap menghafal sampai Warhamhuma, lalu ditimpali lagi sama beliau. Itu berulang sampai tiga kali. Kemudian aku mengumpulkan segenap keberanianku lalu mengatakan, ‘Pak Zen, aku tak mau menghafal do’a ini’. Sayang, kamu tahu mengapa aku tak mau menghafalnya?”

Aku masih membelai rambut Reny. Sesekali mengecup kepalanya. Seketika bau wangi yang khas menyusuri rongga hidungku. Dan ternyata bukan hanya sidik jari saja yang berbeda diantara milyaran manusia. Tapi warna suara, juga bau tubuh, dan banyak hal lagi dalam tubuh manusia tak ada yang persis sama dengan manusia lainnya. Bahkan untuk orang-orang yang dikatakan kembar identik sekalipun!

“Sayang, kenapa kamu diam saja? Kamu mendengarkan ceritaku apa tidak?” Reny merajuk manja.

“Aku mendengarkan dengan seksama istriku. Emm mungkin ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?”

“Benar sekali. Setelah itu Pak Zen benar-benar heran, lalu bertanya kenapa aku tak mau menghafalnya”

“Iyah kenapa? Aku kok heran juga” Aku menyela antusias.

“Karena sejak aku kecil, papa dan mama sibuk bekerja. Papaku seorang manajer di PT. Bangun Sarana Baja, sebuah perusahaan besi di Gresik. Sedang ibuku seorang guru agama di salah satu sekolah elit di Surabaya yaitu SMP Al Hikmah.

“Jadi sejak kecil aku diasuh oleh asisten rumah tangga, namanya Bibi Rita. Aku benar-benar memuji kebesaran hati Bibi Rita yang dengan sabar sanggup menghadapi aku. Hampir semua keperluanku diurus sama Bibi Rita. Menyiapkan aku untuk pergi ke sekolah. Tentu saja mengantar aku ke sekolah juga. Sepulang sekolah, teman bermainku juga Bibi Rita”

“Sebentar, itu saat kamu sekolah apa sayang?”

“Sejak TK, aku sudah diantar sama Bibi Rita”

“Emm, berarti tidak satu tempat antara tempat sekolahmu dan tempat mamamu mengajar?”

“Satu yayasan Al Hikmah, tapi beda tempat. Tempat mama mengajar juga full day school. Jadi seharian mama di sekolah”

“Terus hubungannya sama Pak Zen menangis tadi apa sayang?”

“Iyah, karena aku tau arti do’a itu. Jadi aku tidak mau menghafalnya secara penuh sayang. Coba deh perhatikan sekali lagi terjemahan pada bagian akhir do’a itu: Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Ya Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil”

“Oh, jadi kamu merasa masa kecilmu kurang rasa kasih sayang dari kedua orang tuamu? Sehingga kamu tidak mau Allah menyayangi orang tuamu sebagaimana orang tuamu menyayangimu di masa kecil?”

“Tepat sekali sayang..”

“Masya Allah, kamu cerdas sekali istriku. Jelas saja Pak Zen sampai menangis. Kamu masih kecil saja sudah berpikiran seperti itu”

“Tapi waktu itu yaa tidak kecil amat sih. Waktu kejadian itu aku sudah kelas 3 SD”

“Yaa, itu juga tidak terlalu besar kan? Aku jadi sangat kagum sama kamu istriku”

“Hehehe.. Akhirnya Pak Zen membolehkan aku pulang, walaupun aku hanya menghafal do’a sampai warhamhuma saja. Sayang, ternyata tanpa diduga Pak Zen menceritakan kejadian itu kepada mama. Lalu singkat cerita, mama memutuskan berhenti mengajar. Mama mau fokus membesarkan aku. Satu tahun setelah kejadian itu adikku Putra lahir. Dan dua tahun berikutnya adikku Reza juga lahir. Jadi sejak kecil mereka berdua sudah penuh diasuh oleh mama”

“Luar biasa. Keputusan mamamu saat itu tepat sekali. Kalau aku berpikir dari sudut pandang mamamu. Barangkali mamamu berpikir, tiap hari beliau kan mengajar anak-anak orang. Sedangkan anaknya sendiri? Bukankah madrasah pertama bagi seorang anak adalah ibunya? Lagipula papamu juga kan seorang manajer, mungkin sudah cukup pendapatannya untuk membiayai keluarga”

“Analisismu bagus sekali sayang. Tapi di awal yah mama harus adaptasi lagi. Karena mama mengajar itu kan sudah lama. Sebelum menikah sama papa malah. Bisa dibayangkan dong, aktifitas yang sudah lama dijalani, dan sudah menjadi passion. Terus harus distop lalu diganti dengan aktifitas lain. Itu kalau tidak karena buah hati mungkin akan terasa sulit.

“Dan aku salut sama mama. Entah dapat inspirasi dari mana, waktu mama bilang, ‘Aku memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja. Menitipkan barang berharga seperti emas ke asisten rumah tangga saja terkadang kurang yakin. Apalagi menitipkan seorang anak, sebuah anugerah Tuhan yang jauh lebih berharga dibanding harta’.

“Tapi tentu tidak semua keluarga mempunyai keadaan yang sama. Benar katamu sayang. Mungkin karena papaku seorang manajer, jadi dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan beberapa keluarga lain yang karena keadaan mengharuskan seorang mama bekerja. Atau yang biasa disebut wanita karir. Itu juga tidak bisa disalahkan. Sebab faktor ekonomi yang mengharuskan ia membantu suaminya. Sehingga tidak memungkinkan sebagai ibu rumah tangga saja”

“Masya Allah.. Selain cerdas ternyata kamu juga bijak istriku. Aku jadi merasa sangat beruntung”

“Eh, kamu kan sudah bilang sayang. Kalau sudah menikah tidak ada yang lebih beruntung, keduanya sama-sama beruntung. Hayoo?”

“Hehe iyah.. Eh sayang, boleh aku bertanya sesuatu? Tapi tolong dijawab dengan jujur yaa”

“Iyah, apa sayang?”

“Emm, apa yang kamu lihat dalam diriku? Hingga kamu mau sama aku?”

Ternyata pertanyaanku itu merubah tatanan suasana yang sudah mencair sejak tadi. Reny beringsut dari sandaran di dadaku, lalu ia menatapku. Tiba-tiba rasa bersalah hinggap lagi di dadaku.

“Apa kamu mau membahas hal itu lagi sayang?” Kali ini Reny menatapku tajam. Ada sedikit guratan kekecewaan dari sorotan matanya.

“Istriku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Tidak, sungguh aku hanya ingin tahu”

“Benar yaa?”

Aku mengangguk.

“Sayang, aku beri tahu yaa. Kamu itu ganteng, rajin, pintar, puitis, ceria, populer, alim. Sudah lama loh aku mengamati kamu. Sejak kamu menjadi ketua dalam acara seminar Terapi Syukur waktu itu. Tapi mungkin semua itu hanya bisa membuatku kagum. Karena banyak juga aku temui sosok seperti kamu di kampus. Sekali lagi, semua alasan yang aku sebutkan barusan, hanya bisa membuatku kagum. Dan yang sebenarnya, aku mencintaimu sebab Allah memberi aku cinta yang ditujukan kepadamu. Simple”

Reny menjelaskan dengan pelan, namun mantap. Suasana hati jadi lebih enak. Hanya saja rasa bersalah masih tetap ada. Dan memang benar apa yang dikatakan Reny. Mencintai yang sebenar-benarnya bukanlah karena suatu alasan tertentu. Karena jika suatu alasan itu dihilangkan, apakah masih ada cinta setelah itu?

Itulah mengapa dalam pernikahan selalu dido’akan agar sakinah, mawaddah, rahmah. Padahal mawaddah dan mahabbah keduanya berarti cinta. Lalu mengapa dalam do’a itu tidak memakai mahabbah? Sehingga do’a itu menjadi sakinah, mahabbah, rahmah? Jawabannya karena mahabbah itu cinta yang pamrih. Sedang mawaddah adalah cinta yang tanpa pamrih.

Katakanlah sebelum menikah seorang istri itu cantik memikat. Suatu hari di waktu pagi, si istri memasak masakan favorit si suami. Tak disangka tabung gas yang dipakai untuk memasak itu meledak. Lalu membakar bagian tubuh dan wajah si istri. Alhasil, wajah si istri melepuh dan menjadikan ia kurang memikat.

Nah, jika cinta yang dimaksud itu mahabbah. Bisa jadi setelah mengetahui si istri tidak cantik lagi. Maka si suami akan berkurang atau bahkan hilang rasa cinta di hati.

Tetapi karena cinta yang dimaksud adalah mawaddah. Maka si suami tidak peduli lagi dengan keadaan fisik si istri. Walaupun keadaannya begitu, si suami tetap cinta. Inilah yang dimaksud cinta tanpa pamrih atau mawaddah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status